UU KIA Disahkan, Cukupkah menjamin Kesejahteraan ?



Oleh : Rina Setiawati
(Pemerhati Remaja)



Kesejahteraan ibu dan anak adalah bagian yang tak terpisahkan dari kesejahteraan masyarakat. Pemerintah melalui Rapat Pembahasan Tingkat II Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Selasa (4/6) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU).

Pengesahan ini sekaligus menandai transformasi dari UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) yang awalnya berfokus pada pengaturan tentang kesejahteraan ibu dan anak secara umum berubah menjadi fase 1000 Hari Pertama kehidupan (1000 HPK). 
“Hadirnya UU ini merupakan wujud kehadiran negara dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak sebagai sumber daya manusia dan generasi penerus bangsa yang unggul di masa depan,” tutur I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). 

UU KIA yang difokuskan pada fase 1000 HPK secara substansial untuk menjamin hak-hak anak pada fase tersebut sekaligus menetapkan kewajiban ibu dan ayah dalam keluarga. Ketua Departemen Kajian Perempuan, Anak dan Keluarga BPKK DPP PKS, Tuti Elfita mengapresiasi peran aktif ayah dalam hal perlindungan, pendampingan serta dukungan kepada keluarga untuk mencapai kesejahteraan yang optimal.
Dalam UU KIA terdapat beberapa poin yang berkaitan dengan ibu dan ayah, diantaranya adalah cuti ibu, upah dan cuti suami atau ayah. Cuti melahirkan bagi ibu pekerja yaitu minimal 3 bulan dan tambahan 3 bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Selama masa cuti tersebut mereka berhak atas upah yang dibayar penuh untuk empat bulan pertama kemudian 75% dari upah untuk bulan kelima dan bulan keenam. Selain ibu yang melahirkan, UU KIA juga mengatur hak suami untuk cuti pendampingan istri pada masa persalinan, yaitu selama 2 hari dan dapat diberikan paling lama 3 hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan. 

Pengesahan UU KIA dianggap membawa angin segar bagi perempuan terutama perempuan yang bekerja. Pasalnya, ibu yang bekerja mendapatkan cuti untuk pemulihan pasca melahirkan tanpa adanya potongan upah dan khawatir kehilangan pekerjaan. Presiden Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Sarbumusi Irham Ali Saifuddin menjelaskan bahwa pengesahan UU KIA membuktikan bahwa negara terus bergerak membangun dunia kerja yang inklusif dan produktif bagi perempuan sehingga akan meningkatkan kontribusinya terhadap peningkatan produktivitas nasional. 

Apabila ditelisik lebih jauh, tampak jelas bahwa UU KIA ini didasari oleh pemberdayaan ekonomi perempuan melalui produktivitas kerjanya dibandingkan kesejahteraan ibu dan anak. Kesejahteraan ibu dan anak tidak terjamin hanya dengan upah maupun cuti yang diberikan dalam jangka waktu yang pendek. Apabila masa cuti telah habis, ibu didorong untuk produktivitas di dunia kerja sekaligus fokus merawat anaknya. 

Bukanlah kesejahteraan yang didapatkan, hal tersebut justru menjadi beban terutama bagi ibu. 
Kesejahteraan yang menjadi tolak ukur saat ini hanya dilihat berdasarkan capaian materi semata. Perempuan yang bekerja dan produktif di luar rumah dinilai lebih berhasil dibandingkan dengan ibu rumah tangga. Cara pandang seperti ini menjadi penyebab perempuan menjauh dari fitrahnya sebagai seorang ibu yaitu Al-Umm Wa Rabbatul Bait. Beginilah yang terjadi apabila sistem kapitalisme yang diterapkan negeri ini. 

Hal ini tentu berbeda apabila sistem Islam yang diterapkan. Kesejahteraan tidak dipandang dari ukuran materi, tetapi sangat memperhatikan aspek ruhiyah. Kesejahteraan ibu dan anak dapat terwujud apabila mengembalikan peran ibu sesuai fitrahnya. Fitrah utama seorang perempuan adalah sebagai al-Umm wa Rabbatul Bait, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya". Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang perempuan memimpin rumah suaminya dan anak-anaknya. Ia akan ditanya tentang kepemimpinannya (HR. Bukhari).

Peran perempuan sebagai al-Umm wa Rabbatul Bait memang bukanlah peran yang mudah. Hal tersebut memerlukan kesabaran, keikhlasan, keluasan ilmu dan dukungan. Dalam sistem Islam, Islam mempunyai aturan tersendiri dalam mendukung peran tersebut agar berjalan secara maksimal. Dalam sistem ekonomi Islam, negara mewajibkan laki-laki bekerja sekaligus menyediakan lapangan pekerjaan serta memberikan gaji yang layak. Hal tersebut dapat menjamin bahwa pemenuhan kebutuhan dasar terpenuhi sehingga ibu tidak khawatir dengan masalah finansial. Selain nafkah keluarga terjamin, negara juga menjamin pemenuhan kebutuhan dasar publik yang meliputi pendidikan, kesehatan dan keamanan secara gratis.

 Apabila kebutuhan telah terjamin terpenuhi, maka seorang ibu fokus dalam menjalankan perannya sebagai al-Umm wa Rabbatul Bait.
Dalam islam, tidak ada larangan untuk ibu bekerja. Bekerja merupakan pilihan bagi perempuan dengan tujuan memanfaatkan ilmu dan kemampuannya untuk kemaslahatan umat. Hal tersebut didukung oleh peraturan dari negara mengenai waktu kerja dan fasilitas yang memadai sehingga tidak melalaikan peran utamanya. Begitulah sistem Islam mengatur dan memuliakan perempuan sesuai dengan fitrahnya. Hanya dengan penerapan sistem Islam-lah, kesehatan ibu dan anak terjamin secara pasti sehingga melahirkan generasi yang berkualitas.

Wallahu alam bish-shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak