UU KIA Buahkan Sejahtera, Benarkah?

Oleh : Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)


Menyoal masalah perlindungan ibu dan anak, negara telah mengesahkan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak. Terkait hal tersebut, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merespons positif pengesahan Undang-Undang (UU) Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA) oleh DPR, 4 Juni 2024 lalu (liputan6.com, 4/6/2024).

Ketua Departemen Kajian Perempuan, Anak dan Keluarga BPKK DPP PKS Tuti Elfita, mengungkapkan partainya menekankan pengesahan UU KIA berkaitan dengan paradigma penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak adalah bagian integral dari keluarga.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Diah Pitaloka, menjamin Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA), yang sudah disahkan dalam rapat paripurna, tak akan mendiskriminasi perempuan. Pernyataan ini diungkapkan untuk merespons anggapan UU KIA dinilai mendiskriminasi posisi perempuan di tempat bekerja.


Kebijakan Kontra Produktif ala Kapitalisme

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memandang Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA) berisiko tidak mudah untuk diterapkan (kompas.com, 11/6/2024). Demikian disampaikan Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani.

Andy pun melanjutkan, semua ini terjadi karena beberapa undang-undang dan kebijakan pemerintah terkait kesejahteraan ibu dan anak akan tetap berlaku meski UU KIA sudah disahkan. Padahal, regulasi dan kebijakan lama tersebut bersifat ego sektoral dan tidak jarang mengganjal pelaksanaan kewajiban individual ibu dan ayah. Jelaslah, konsep ini menghadang optimasi fungsi keluarga dalam membina generasi.

Pengesahan RUU KIA menjadi UU digadang-gadang akan membawa angin segar dan menyajikan solusi bagi kaum perempuan untuk dapat tetap berkarir karena mendapat cuti dan tetap bisa tenang bekerja. Kebijakan ini pun diharapkan mampu menguatkan pemberdayaan ekonomi. Namun fakta yang terjadi jauh dari ekspektasi. Fungsi perempuan semakin dieksploitasi secara ekonomi. Alasan meningkatkan kesejahteraan terus diaruskan untuk menempatkan perempuan sebagai pelaku ekonomi. Sehingga perannya sebagai ummu wa rabbatul bait, ibu dan pengatur rumah tangga tergerus oleh arus kapitalisasi.

Perempuan dalam kacamata kapitalisme dianggap sebagai manusia produktif yang mampu dan harus bekerja. Sehingga negara berusaha keras menetapkan kebijakan cuti. Tidak lain, tujuannya hanya demi kepentingan ekonomi, yang menguntungkan pengusaha dan oligarki. Setelah masa cuti habis, perempuan kembali disibukkan oleh fokus pekerjaan yang menguras tenaga dan waktu. Alhasil, penjagaan dan pengasuhan anak menjadi teralihkan, bahkan terabaikan.

Di sisi lain, cuti 6 bulan tidak cukup untuk mendampingi anak karena anak membutuhkan pengasuhan terbaik dari ibu hingga mumayyiz, yakni masa pertumbuhan anak hingga pada tahapan mengerti konsep benar dan salah, serta konsep manfaat dan bahaya bagi dirinya.
Kebijakan-kebijakan ini mengindikasikan adanya kegagalan negara dalam mengurus urusan rakyat. Rakyat dipaksa mandiri untuk usaha menuju kehidupan sejahtera. Di tengah sulitnya keadaan ekonomi untuk bertahan hidup, rakyat mau tidak mau harus tetap bekerja. Negara angkat tangan terhadap setiap kebutuhan rakyat. Seolah kehilangan induk ayam, rakyat pun kebingungan dan makin kesusahan.


Islam, Sistem Penjaga

Islam-lah satu-satunya sistem yang tulus menjaga dan mencurahkan kekuatan demi kesejahteraan ibu dan anak. Agar setiap konsepnya mampu berjalan sesuai fungsi strategis dan politis.

Dalam hal ini, perempuan memiliki peran penting dalam membangun profil generasi cemerlang. Dan sistem Islam-lah yang mampu menjamin terwujudnya peran perempuan sesuai fitrah seoptimal mungkin. Karena negara memiliki kebijakan yang mengutamakan pencapaian kesejahteraan rakyat secara utuh baik secara politis, ekonomi maupun edukasi.

Rasulullah SAW. bersabda,
"Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Al Bukhori).

Perihal penjagaan kesejahteraan ibu dan anak, negara akan menetapkan kebijakan amanah yang menjaga kepentingan rakyat melalui mekanisme penerapan sistem ekonomi Islam yang terintegrasi dalam pengurusan rakyat.

Dalam hal ini, perempuan tidak diposisikan sebagai tulang punggung yang mencari nafkah. Namun, perempuan ditempatkan sebagai pengurus, penjaga sekaligus pendidik keluarga. Sebetulnya perempuan boleh saja bekerja untuk mengamalkan ilmunya, namun posisi sebagai penjaga keluarga lebih utama dari segalanya. Sebab hal ini terkait penjagaan generasi. Inilah konsep Islam yang memuliakan perempuan dan perlindungan generasi.

Sistem ekonomi Islam menjamin tercapainya kesejahteraan seluruh rakyat, termasuk perempuan dan anak. Mekanisme sistem ekonomi Islam akan menjamin setiap kebutuhan rakyat, melalui pengelolaan sumberdaya dan potensi kekayaan negara dengan amanah untuk kesejahteraan umat.

Inilah konsep Islam yang menjaga. Konsep yang hanya terwujud dalam wadah khilafah. Satu-satunya institusi yang melahirkan sejahtera karena pengaturan yang amanah dan bijaksana. Dengannya, kemuliaan umat niscaya terjaga.

Wallahu'alam bisshowwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak