UU KIA Benarkah Membuat Ibu dan Anak Sejahtera?




Oleh: Weni Putri
 (Pengelola Rumah Baca RP SNC Sei Rampah)

Pengesahan Undang-Undang (UU) Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA) oleh DPR dalam rapat paripurna Selasa, 4 Juni 2024 lalu mendapatkan respon positif dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 

Ketua Departemen Kajian Perempuan, Anak dan Keluarga BPKK DPP PKS Tuti Elfita mengatakan "Kesejahteraan Ibu dan Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keluarga, dan keterlibatan Ayah dalam memberikan perlindungan serta pendampingan adalah kunci untuk mencapai kesejahteraan yang optimal," (Liputan6.com 09 Juni 2024)

Terdapat poin penting dalam pengesahan RUU KIA yang menjadikan cuti melahirkan paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya, dengan ketentuan syarat jika terdapat kondisi khusus yang di buktikan dengan surat keterangan dokter. Ibu pekerja yang cuti melahirkan tidak boleh diberhentikan dan berhak mendapatkan upah secara penuh untuk empat bulan pertama dan 75 persen untuk bulan kelima dan ke-enam. Ayah juga berhak untuk cuti 2 hari dan tambahan 3 hari berikutnya sesuai kesepakatan pemberi kerja.

Sebagaimana paradigma kapitalisme bahwa Perempuan produktif adalah Perempuan yang bekerja. Pengesahan RUU KIA akan menjadi UU yang akan membawa angin segar bagi perempuan agar bisa tetap berkarir karna mendapatkan cuti sehingga bisa tenang bekerja.

Sejatinya cuti enam bulan tidaklah cukup untuk mendampingi anak. Karna anak membutuhkan pengasuhan terbaik dari ibu hingga mumayyiz.

Pertanyaannya, benarkah cuti tersebut cukup untuk menjamin kesejahteraan ibu dan anak? Karena faktanya negara sangat minim memfasilitasi para ibu. Negara tidak memberikan jaminan kesehatan gratis bagi ibu dan anak. Tidak ada jaminan tersedianya makanan bergizi seimbang bagi ibu dan anak. Begitu juga tidak ada jaminan bahwa ibu bisa memberikan ASI eksklusif hingga dua tahun.

Negara tidak memberikan jaminan pekerjaan kepada para laki-laki dengan membuka lapangan pekerjaan seluas luasnya agar para ayah bisa bekerja dan memenuhi seluruh kebutuhan hidup dengan layak. Justru sebaliknya banyaknya PHK yang terjadi justru menjadikan seorang ibu bekerja dan harus menanggung ekonomi keluarga. Betapa beratnya beban seorang ibu. Karna harus menjalankan fungsi secara ganda bahkan triple. Sungguh melelahkan, lantas dimanakah letak sejahteranya?

Pandangan Islam 

Dalam Islam boleh bagi perempuan untuk bekerja sesuai dengan ketentuan hukum syariat Islam, seperti menutup aurat dengan sempurna, tidak ikhtilat (bercampur baur laki-laki dan perempuan), tidak berkhalwat (berduaan laki-laki dan perempuan). Namun, bekerja bagi seorang ibu adalah pilihan semata, bukan tuntutan keadaan. Beban mencari nafkah tetap berada di pundak suami atau wali mereka. Sehingga fitrah perempuan sebagai ibu dan istri terjaga dalam naungan Islam.

Khilafah menjamin lapangan pekerjaan untuk setiap laki-laki yang telah baligh. Sehingga ia bisa menafkahi keluarganya dan para ibu bisa fokus untuk menjalankan perannya sebagai ummun wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga). Ia akan fokus untuk mengasuh dan mendidik nya di rumah dengan tenang tanpa terganggu tekanan ekonomi.

Khilafah akan menerapkan sistem ekonomi Islam. Dengan mengembalikan kepemilikan umum seperti hutan, laut, sungai, tambang dll. Rasulullah Saw bersabda, Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang dan api". (HR. Abu Daud). Negaralah yang akan mengelola kepemilikan umum tersebut, lalu hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pendidikan, layanan kesehatan, keamanan, infrastruktur secara gratis. Sehingga rakyat tidak terbebani.

Negara akan memfasilitasi para ibu agar perannya sebagai pendidik generasi dapat berjalan dengan optimal. Inilah solusi nyata sistem Islam dalam mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak. Tidak hanya seribu hari pertama, terapi sepanjang hidupnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak