UU KIA, Benarkah Membuat Ibu dan Anak Sejahtera?





Oleh: Iven Cahayati Putri
(Pemerhati Sosial)

Pada Selasa (4/6/2024), DPR menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (RUU KIA) menjadi UU. Pengesahan UU KIA dilakukan dalam rapat paripurna DPR di kompleks parlemen Senayan, Jakarta. Diungkapkan oleh Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker Indah Anggoro Putri, Pengesahan RUU KIA menjadi undang-undang merupakan wujud konkret dari komitmen DPR dan pemerintah untuk mensejahterakan ibu dan anak menuju Indonesia Emas (detik.news.com, 7-6-2024).

Berkaitan dengan pengesahan UU KIA yang dianggap demi mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak agar Indonesia memiliki SDM yang unggul, nyatanya tidak sepenuhnya bisa dibenarkan. Misi terselubung untuk menjadikan perempuan bukan hanya sebagai pengurus rumah tangga, melainkan melihat adanya peluang penghasilan darinya, rasanya lekat dengan regulasi tersebut.

Seperti yang dilontarkan oleh Presiden Dewan Pusat (DPP) Konfederasi Sarbumusi Irham Ali Saifuddin, bahwa pengesahan UU KIA membuktikan bahwa negara terus bergerak membangun dunia kerja yang inklusif dan produktif bagi perempuan. Menurutnya, UU ini akan meningkatkan partisipasi perempuan di dunia kerja dan kontribusinya terhadap peningkatan produktivitas nasional. Sebab, selama ini kendala-kendala maternitas dan reproduksi menjadi alasan utama yang menghambat kaum perempuan untuk berpartisipasi di dunia kerja.

Lagi-lagi sekadar target ekonomi, sementara embel-embel "kesejahteraan ibu dan anak" hanya dijadikan pemikat agar perempuan tetap bekerja tanpa menjadikan masa melahirkan sebagai pertimbangan mereka. Harapannya para ibu masih bisa bekerja tanpa khawatir kepada kondisi dirinya dan anaknya, karena ada cuti yang cukup panjang. 

Pasalnya, para ibu pekerja yang melakukan persalinan berhak menerima cuti paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya jika memiliki kondisi khusus dengan bukti surat keterangan dokter. Selain itu, suami juga berhak mendapatkan cuti kerja selama 2 hari atau 3 hari berikutnya tergantung izin pemberi kerja. Lantas, apa cukup cuti 6 bulan mampu memberikan kesejahteraan pada ibu dan anak? Di mana anak masih sangat membutuhkan peran total sang ibu, membutuhkan ASI eksklusif, dan ibu pun masih membutuhkan pemulihan? Tentu saja tidak cukup. 

Dimasa pasca persalinan, sang ibu sangat membutuhkan dukungan secara fisik, emosional, dan materil. Kemudian membutuhkan waktu untuk melakukan pemulihannya pula. Apalagi di zaman kehidupan yang serba semrawut, banyak hal yang mengganggu psikis mereka. Seperti biaya persalinan yang mahal, harga kebutuhan pokok yang naik, sementara pemasukan rumah tangga minim. Belum lagi jika suami pengangguran dan banyak main. Di tengah kebutuhan keluarga meningkat setelah melahirkan, bukannya hidup tenang para ibu justru pusing bahkan tidak sedikit yang mengalami baby blues syndrome. 

Apabila kondisinya demikian, sungguh membebani perempuan jika harus keluar bekerja pasca beberapa bulan melahirkan. Kebutuhan gizi sang bayi tidak mendapat perhatian penuh, masa pertumbuhan anak terlewatkan begitu saja, urusan rumah tangga pun luput dari perhatian. Sesungguhnya tidak ada kesejahteraan di dalamnya, sebaliknya muncul masalah yang lebih serius dalam bangunan rumah tangga. 

Begitulah imbas apabila negara menganut sistem kapitalisme yang berbasis untung rugi. Sistem ini memandang jika seluruh lini dihitung berdasarkan materi. Seluruh elemen harus diberdayakan secara ekonomi termasuk perempuan. Mereka pun dituntut harus menghasilkan pundi-pundi rupiah. Apalagi bagi pebisnis, ada keuntungan jika melibatkan perempuan dalam dunia kerja. Selain karena perempuan multi peran, upah kerja perempuan tidak sebanyak upah pekerja laki-laki. 

Ditambah lagi dengan menguatnya sudut pandang kapitalistik bahwa perempuan itu hebat ketika menghasilkan uang, bukan menjadi ibu yang baik. Maka tak heran jika perempuan berlomba-lomba untuk bekerja. 

Bahayanya perempuan tidak lagi fokus menjalankan perannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Alih-alih melahirkan generasi unggul, malah menghasilkan generasi tumpul. Bertabur fakta generasi yang lahir dan besar dalam pola asuh kapitalisme menjadi penjahat. Jika demikian, maka cita-cita mewujudkan generasi emas hanyalah mimpi belaka. 

Sejatinya untuk mewujudkan kesejahteraan para ibu dan membentuk generasi unggul bukanlah hal yang sulit jika negara memahami akal persoalan yang selanjutnya mengambil solusi yang tepat. Hal tersebut adalah membuang sejauh mungkin sistem kapitalisme, dan menggantinya dengan sistem kehidupan yang mampu menyejahterakan seluruh umat manusia. Sebab menginginkan kesejahteraan dalam sistem nista tidak akan pernah terwujud. 

Sebenarnya, ada sistem kehidupan yang terbukti memberikan kesejahteraan bagi perempuan. Sistem tersebut adalah sistem Islam yang penerapannya diwajibkan oleh Sang Pencipta, yaitu Allah SWT. Sistem ini telah terbukti mampu mencetak ibu tangguh yang menghasilkan generasi cemerlang. Seperti ibu Imam Ahmad, ibu Imam Syaf’i, Khansa yang dikenal ibu para mujahid, dan lain-lain.

Sistem Islam dalam menyejahterakan ibu dan anak memiliki pola yang khas. Pertama, negara berfungsi sebagai periayah, bukan beban bagi rakyat. Para pejabat pun memiliki kesadaran bahwa kelak amanah mereka akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.

Kedua, pengaturan sistem ekonomi yang tepat dan fungsional. Sehingga ibu tidak khawatir dengan biaya persalinan dan perawatan, serta kebutuhan setelah persalinan. Biayanya ditanggung oleh negara. Dananya pun tersedia di Baitul mal karena keteraturan pengelolaan yang tepat guna.

Ketiga, tuntutan kepada kepala rumah tangga atau laki-laki mampu untuk wajib bekerja. Mereka akan mendapatkan upah yang layak, sehingga mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan keluarganya. Jika tidak mampu, maka negara mengupayakan agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi.

Keempat, meletakan peran ibu sebagai pendidik generasi bukan penghasil materi. Mulai dari memperhatikan pra kehamilan, kehamilan, melahirkan, pengasuhan, hingga fase-fase berikutnya. Bukan hanya ibu, sistem Islam pun meletakan peran ayah dalam mendidikan generasi merupakan hal yang penting serta mendampingi ibu saat melewati fase-fase tersebut.

Insyaallah, jika hak dan kewajiban ini dijalankan sesuai pada porsinya, niscaya mampu mewujudkan generasi unggul dan ibu yang hebat. Dengan catatan bahwa kesejahteraan tersebut hanya akan terwujud dalam negara yang menerapkan sistem Islam. 

Wallahu'alam bisshowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak