UKT Naik, Generasi Emas Kian Cemas



Oleh: Jumiran, S.H.
 (Pegiat Literasi Sabulakoa)

Dilansir dari kompas.com (8/6), sekitar 50 calon mahasiswa baru di Universitas Riau (Unri) memutuskan untuk memundurkan diri karena merasa tak mampu membayar uang kuliah tunggal (UKT). Hal ini diungkapkan oleh presiden mahasiswa Muhamad Ravi dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama dengan komisi X DPR.

Bahkan diketahui, ada beberapa universitas terkemuka di indonesia mencatatkan pendapatan Besar pada 2023 yang sebagian besarnya berasal dari UKT. Dalam rinciannya beberapa universitas di Indonesia dalam laporan keuangannya mencatat bahwa UI adalah kampus dengan total pendapatan tertinggi pada 2023, yakni dengan total pendapatan Rp. 3,3 triliun. Pendapatan tersebut meliputi Rp.449 miliar dari dana DIPA/APBN/BPPTN dan Rp.2,5 triliun berasal dari biaya operasional. Besarnya nilai pendapatan operasional ini, mengindikasikan bahwa UI banyak bergantung dengan UKT sebagai sumber pendapatannya.

Bukan Hal Baru
Naiknya biaya UKT sebenarnya bukanlah hal baru. Sudah terjadi kesekian kalinya dan terjadi di seluruh penjuru negeri. Hal ini terjadi akibat dari kapitalisasi pendidikan. Kapitalisasi pendidikan sebagai buah dari penerapan Sistem demokrasi sekuler.

Sistem pendidikan hari ini dijadikan sebagai komoditas bisnis yang menguntungkan. Jika ditelisik lebih dalam lagi, mahalnya biaya UKT tidak terlepas dari kebijakan globalisasi yang dimotori oleh WTO melalu General Agreement on Trade in Services (GATS) dengan memasukan pendidikan sebagai sektor jasa yang di perdagangkan. Olehnya itu, dengan didukung penerapan Sistem demokrasi sekuler telah melegalkan paradigma kapitalisme global (liberalisasi pendidikan) dengan meratifikasi perjanjian GATS. 

Disaat itulah Indonesia dengan penerapan demokrasinya membuat berbagai macam payung hukum yang melegalkan liberalisasi pendidikan dengan tetap menjamin pendidikan sebagai komoditas bisnis, yang pro pasar industri dan mengebiri negara sebagai penanggung jawab pendidikan.

Disisi lain, konsep triple helix yang menggabungkan unsur akademik, bisnis dan pemerintah menjadikan prinsip penyelenggaraan pendidikan. Oleh karenanya, sejatinya penerapan kebijakan tersebut menjadikan pendidikan sebagai sumber dagangan  mahal yang diperjualbelikan sehingga tidak semua orang menikmatinya.

Alhasil, hubungan yang dibangun penguasa dan rakyat yang nampak adalah hubungan antara pedagang dan pembeli. Sedangkan, posisi penguasa hanyalah sebagai regulator, sebagai perpanjangan tangan kepentingan para kapitalis. Sejatinya, inilah wajah buruk penerapan pendidikan kapitalisme.

Solusi
Berbeda dengan islam. Pendidikan dalam islam merupakan kebutuhan dasar setiap rakyat. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab atas tersedianya fasilitas pendidikan terbaik. Pendidikan dalam islam bersifat merata dan tidak mahal sehingga masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar dan masyarakat bisa menikmati berbagai fasilitas pendidikan yang disediakan Oleh negara.

Untuk membiayai pendidikan, negara islam punya alokasi dana tersendiri. Yang tersimpan di baitul mal yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam, pembayaran jizyah, kharaj, ghanimah dan lainnya. 

Jika baitul mal sedang tidak mampu mencukupi kebutuhan pendidikan, maka khalifah akan mendorong seluruh kaum muslim untuk menginfakkan hartanya Untuk pendidikan. Jika belum cukup, maka pembiayaan akan dialihkan kepada para aghniyah (orang kaya/mampu). Islam melarang keras campur tangan atau pengalihan pendidikan pada para korporasi.

Islam benar-benar akan menerapkan aturan sesuai dengan perintahNYa. Karena sejatinya, hanya dengan penerapan sistem pendidikan islam yang mampu memberikan jaminan pendidikan terbaik kepada seluruh masyarakat. Alhasil, para generasi  islam benar-benar  akan menjadi emas yang berkilauan. Wallahu a'lam bisshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak