Tapera Menjadi Solusi Rakyat Bisa Bangun Rumah, Benarkah?




Oleh: Fauziah Nabihah
Aktivis Mahasiswa



Moeldoko menyampaikan bahwa Tapera, kepanjangan dari Bapertarum, yang dulu dikhususkan untuk ASN, kini diperluas ke pekerja mandiri dan swasta (detik.com, 31/5/2024).

Ia mengatakan bahwa alasan dari pekerja mandiri dan swasta non ASN juga harus ikut program ini adalah sebagai upaya untuk menghadapi masalah kurang pasok rumah, yang mengakibatkan 9,9 juta masyarakat Indonesia tidak punya rumah. Maka dari itu, pemerintah berpikir dengan adanya Tapera masyarakat pada akhirnya bisa punya tabungan untuk bangun rumah.

Dalam aturan PP No 21 tahun 2024, dijelaskan bahwa yang wajib menjadi peserta Tapera adalah pekerja yang bergaji minimal UMR. Pekerja itu meliputi ASN, pekerja swasta, BUMN, BUMD hingga pekerja mandiri atau freelance (detik.com, 31/5/2024).

Dalam PP tersebut, gaji pekerja di Indonesia yang akan dipotong sebesar 3% untuk dimasukkan ke dalam rekening dana Tapera.

Selain itu, pada Pasal 5 PP No. 21/2024 menyebutkan, yang termasuk peserta Tapera adalah para pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, telah berusia paling rendah 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar.

Status kepesertaan Tapera ini akan berakhir jika telah memasuki masa pensiun bagi pekerja, telah mencapai usia 58 tahun bagi pekerja mandiri, peserta meninggal dunia, atau peserta tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama lima tahun berturut-turut. Apabila kepesertaannya berakhir, mereka berhak memperoleh pengembalian simpanan dan hasil pemupukannya, paling lambat tiga bulan setelah masa kepesertaannya dinyatakan berakhir.

Polemik Tapera sebenarnya sudah ada sejak penerbitan PP Tapera pada tahun 2020. Namun kembali ramai menjadi perbincangan setelah pemerintah mengubah PP No. 25/2020 menjadi PP No. 21/2024. Meskipun tidak banyak berubah, tapi kebijakan pemotongan 3% gaji pekerja untuk Tapera jelas makin menambah beban rakyat.

Bagi pekerja dengan gaji UMR, potongan 3% untuk Tapera makin memperkecil nominal gaji yang mereka terima. Tanpa potongan tersebut, gaji pekerja sudah dipotong dengan beragam program, seperti pajak penghasilan, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, BPJS kesehatan. Belum lagi kebutuhan pokok lainnya yang terus meningkat tiap tahunnya.

Selain menjadi beban tambahan, tabungan ini juga rawan menjadi lahan baru untuk korupsi. Dengan simpanan yang begitu panjang, siapa yang bisa menjamin dana simpanan Tapera itu tetap diam dan tenang di tempatnya?

Dengan adanya pemotongan ini pula, membuktikan bahwa kepedulian dan kepekaan penguasa sangat minim. Setiap iuran yang sifatnya menabung harusnya tidak dipaksakan untuk membayar. Namun, yang terjadi pemerintah main atur, main paksa, dan main sunat gaji tanpa permisi.

Badan Penyelenggara Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) menyatakan bahwa sistem tabungan pembiayaan perumahan diadaptasi dari kesuksesan sistem ini di negara lain. Sistem ini diperkenalkan pertama kali di Inggris (finance.detik.com, 08/06/2020).

Program Tabungan Perumahan Rakyat sudah lazim dilaksanakan di berbagai negara, seperti Singapura, Malaysia, Cina, Prancis, dan Jerman. Kalau dibandingkan dengan negara lain, Indonesia jauh tertinggal.

Namun, bagaimana bisa, program yang dijalankan di luar negeri tersebut dikatakan sukses, sedangkan bukti-bukti tentang hal itu menunjukkan sebaliknya. Hingga kini, negara-negara yang disebutkan itu realitanya tidak mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan perumahan bagi rakyatnya.

Di Inggris, ada sekitar 320.000 tunawisma, selain itu ada sejumlah tunawisma tersembunyi yang tidak diketahui pihak berwenang yang tidak tercakup dalam hitungan resmi. (bigissue.com, 9/05/2024).

Di Singapura, laporan dari Nationwide Street Count memperkirakan ada 921 hingga 1.050 tunawisma (lkyspp.nus.edu.sg, 08/11/2019).

Menurut Institut Statistik dan Studi Ekonomi Nasional Prancis (INSEE), lebih dari 12.000 orang tidur di jalanan Prancis (euronews.com, 13/04/2019).

Perumahan bagi rakyat miskin memang masih menjadi masalah di berbagai negara. Berbagai negara sudah berupaya mengatasinya dengan berbagai program seperti Tapera. Namun mirisnya, hingga kini kebutuhan pokok rakyat miskin -berupa tempat tinggal- belum terjamin dan masalah tersebut masih menggurita.

PP ini kembali mempertegas kezaliman rezim neoliberal, khususnya dalam menjamin pemenuhan kebutuhan pokok berupa perumahan layak huni. Kezaliman yang akut itu di antaranya terlihat pada berbagai skema berbasis liberalisasi dan ribawi pengadaan rumah bagi MBR. 

Beginilah jika aturan dibuat sesuai kebutuhan dan kepentingan. Atas nama kesejahteraan rakyat, justru mereka yang dikorbankan. Sudahlah harus membayar pajak A-Z, ditambah Tapera yang belum ada kepastiannya menguntungkan rakyat.

Hal tersebut terjadi akibat sistem yang dijalankan di negara ini tegak di atas landasan paradigma yang rusak, yaitu sekularisme. Sekularisme yang mendasari sistem kehidupan hari ini benar-benar menafikan halal-haram, bahkan mengagungkan nilai-nilai materiel dan kemanfaatan.

Maka, tidak heran apabila sampai saat ini masih banyak rakyat di Indonesia yang tidak memiliki rumah, bahkan mengontrak rumah pun mereka tidak mampu. 

Padahal, semestinya penyelenggara perumahan rakyat sepenuhnya menjadi tanggungan negara. Tanpa kompensasi, tanpa iuran wajib. Semua ditanggung negara. Negara bukan pengumpul dana rakyat. Negara bertugas memenuhi kebutuhan rakyat. 

Sangat berbeda dengan Islam. Islam menjadikan kepemimpinan sebagai pengurus urusan rakyat. Amanah harus dijalankan karena tanggungannya dunia dan akhirat. Seorang pemimpin yang bertakwa tidak akan menyalahi tugasnya, bahkan tak akan berani membebani rakyat dengan beban sekecil apa pun.

Dalam upayanya, negara bisa memberikan kemudahan pembelian tanah dan bangunan, bisa juga membangun perumahan rakyat dengan harga terjangkau atau murah. Negara pun memenuhi kebutuhan pokok lainnya, seperti sandang dan pangan dengan menetapkan kebijakan pangan yang murah. Para pencari nafkah juga akan mudah dalam mengakses dan mencari pekerjaan sebab negara berkewajiban menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat.

Sistem Islam menempatkan penguasa (imam) sebagai peri’ayah (pelayan) urusan rakyat dengan landasan hukum syariat. Penguasa tidak dibolehkan menyimpang dari hukum syariat karena alasan kemaslahatan tertentu. Penguasa tidak boleh mewajibkan sesuatu yang mubah, seperti mewajibkan menabung, yang jika tidak, maka akan dikenai sanksi.

Negara tidak dibenarkan mengalihkan tanggung jawabnya kepada operator, baik kepada badan usaha, bank-bank, maupun pengembang perumahan. Hal ini karena akan menghilangkan kewenangan negara yang amat penting, yaitu terkait fungsinya sebagai pelayan rakyat.

Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, “Imam adalah pelayan dan ia bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya.” (HR Al Bukhari).

Oleh karena itu, negara –yang diwakili penguasa– dalam sistem Islam akan berupaya dengan optimal dalam melayani rakyatnya.

Bahkan, pemerintah dibolehkan memberikan tanah miliknya kepada rakyat miskin secara cuma-cuma untuk dibangun rumah. Demikian juga lahan-lahan yang dimiliki negara, bisa langsung dibangunkan rumah untuk rakyat miskin. Hal ini dibenarkan selama bertujuan untuk kemaslahatan kaum muslim.

Hanya Islam satu-satunya harapan. Dengan penerapan syariat Islam, fungsi negara bisa kembali normal di tengah keabnormalan kehidupan yang berasas sekuler-kapitalis.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak