Oleh: Desta Humairoh
(Aktivis Muslimah)
Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) mencuat hangat di kalangan masyarakat Indonesia menimbulkan pro dan kontra. Pasalnya TAPERA digadang-gadang sebagai tabungan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer, berupa perumahan justru dinilai memberatkan rakyat. Menurut PP nomor 21 tahun 2024, TAPERA akan memangkas gaji peserta sebanyak 3% bagi pekerja mandiri, sementara untuk para pekerja maka 2,5% iuran di tanggung peserta, sedangkan 0,5% merupakan tanggungjawab perusahaan pemberi kerja (Detik.com,2024).
Kepesertaan iuran TAPERA ini bersifat wajib. Menurut PP Nomor 25 Tahun 2020, akan ada sanksi untuk peserta yang tidak membayar iuran. Pada pasal 55 aturan tersebut, bagi peserta mandiri (freelancer atau pekerja informal) yang sudah menjadi peserta TAPERA namun tidak membayar iurannya dapat dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis. Ketika tidak menghiraukan peringatan tersebut, maka akan dikenakan sanksi lain hingga penetapan denda 0,1% setiap bulan dari simpanan yang harusnya dibayarkan terhitung sejak peringatan tertulis kedua berakhir. Selain itu, denda harus dibayar dengan iuran bulan berikutnya.
TAPERA Membuat Rakyat Menjerit
TAPERA masih menjadi polemik pelik di kalangan rakyat Indonesia. Presiden partai buruh, Said Iqbal menyoroti hitungan iuran 3% gaji buruh dinilai tidak masuk akal secara hitungan matematis maupun logika karena dirasa iuran ini tidak menjamin kepemilikan rumah kepada rakyat sampai pensiun. Pasalnya iuran TAPERA termasuk tabungan sosial, jangka waktu iurannya 10-20 tahun. Jika rata-rata gaji buruh yang tiap bulannya hanya Rp 3,5 juta, Iuran Tapera yang perlu dikumpulkan setiap bulan kurang lebih Rp105.000. Artinya, setiap tahun terkumpul Rp1.260.000,00 maka tidak akan ada harga rumah 20 tahun ke depan seharga Rp 25 juta (kompas.com,2024).
Di samping itu, gaji rakyat sudah banyak terpotong berbagai program seperti pajak penghasilan (5—35%), jaminan hari tua (2%+3,7% perusahaan), jaminan pensiun (1%+2% perusahaan), jaminan kematian (0,3%), BPJS kesehatan (1%+4% perusahaan), dan yang terbaru Iuran Tapera (2,5% dan 0,5% oleh pemberi kerja). Potongan iuran TAPERA tentu akan menambah beban rakyat dan sangat menyulitkan rakyat untuk bertahan hidup. Pasalnya banyaknya variasi potongan dari pemerintah membuat rakyat hidup terhimpit, karena pemasukan tidak sebanding dengan pengeluaran. Gaji standart UMR rata-rata di setiap daerah mencapai Rp 3,5 juta tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena kenaikan harga kebutuhan pokok yang kian tak mendapatkan solusi.
Di sisi lain, mahalnya biaya pendidikan di Indonesia menambah daftar penderitaan rakyat. Padahal permasalahan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) belum terselesaikan, sudah muncul masalah baru mengenai kebijakan TAPERA. Seakan permasalahan UKT ikut tenggelam bersama arus air. Padahal Pendidikan sangat di butuhkan rakyat. Setidaknya dengan adanya Pendidikan, rakyat dapat merasakan manisnya bekerja.
Di tengah suasana memanas pro-kontra iuran TAPERA, kondisi ini justru berbanding terbalik dengan Komite TAPERA. Mereka dapat mengantongi gaji hingga Rp 43 juta setiap bulan. Hal ini yang nampak bising di telinga. Gaji komite TAPERA seakan membuat kesenjangan baru dengan rakyat biasa. Hal ini tentunya akan melukai hati rakyat karena terbebani dengan berbagai persoalan yang berkedok kesejahteraan bersama.
Persoalan iuran TAPERA juga dapat menambah daftar draf korupsi di negeri ini. Pengelolaan dengan ruh sekuler (pemisahan agama dan kehidupan) tidak dapat menjamin iuran TAPERA akan aman dan sampai ke tangan rakyat dalam bentuk perumahan. Berkaca dari permasalahan yang sudah berlalu seperti iuran BPJS, pada 19 Januari 2021 Kejagung melaksanakan penyidikan di kantor BPJS Ketenagakerjaan, karena terdapat indikasi korupsi dengan kerugian mencapai 20 triliun. Tetapi kasus ini tenggelam sampai sekarang.
Inilah cerminan dari Negara dengan Sistem Kapitalisme. Sistem yang berlandaskan pemisahan agama dengan kehidupan (sekulerisme) menjadikan aturan yang mengatur kehidupan manusia hanya berlandaskan hawa nafsu semata. Dalam hal ini, tata aturan Negara Kapitalis sangat abai terhadap kesejahteraan rakyat dengan kedok berbagai proyek yang hanya menguntungkan kalangan tertentu.
Korupsi masih banyak terjadi dan sampai kapanpun akan selalu terjadi karena baik manusia (pelaku tata kelola kenegaraan) maupun negara tidak memiliki ruh yaitu kesadaran akan hubunganya dengan Allah SWT, Sang Khaliq. Walhasil, mereka tidak memiliki ketakutan untuk berbuat kerusakan dengan membuat berbagai kebijakan yang dzalim.
Paradigma pembangunan ala Kapitalis yang juga tidak akan pernah berada dipihak rakyat menjadikan negara hanya berfungsi sebagai fasilitator, menjual pelayanan publik dan rakyat sebagai konsumennya. Negara juga hanya berfungsi sebagai pemalak dengan berbagai kebijakan iuran yang menyesakkan rakyat. Rakyat di paksa untuk melakukan berbagai hal sambil terus bertahan hidup dengan segala keterbatasan ekonomi. Dalam hal ini Negara kapitalis tidak bisa menyolusi permasalahan hingga tuntas, dan hal yang sama akan selalu terulang namun dengan proyek yang berbeda.
Solusi Sistem Islam
Islam memandang bahwa negara memiliki fungsi pelayanan kepada rakyat bukan fasilitator. Negara mengemban amanah untuk menyejahterakan rakyat lewat berbagai metode yang sesuai dengan syariat islam. Karena islam selalu mengatur dan menyolusi permasalahan rakyat hingga tuntas. Karena negara sebagai ra’yyin (pengembala). Seperti dalam hadis, “Imam (Khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya.” (HR Bukhari). Masyarakat islam tidak hanya seperti masyarakat madani yang maju hanya pada peradaban. Namun masyarakat atau negara Islam yang menerapkan sistem khilafah dapat menjadi negara maju, pengemban risalah umat, dan menyatukan kaum muslim dalam satu naungan. Korupsipun tidak akan terjadi, karena dapat dikenai sanksi yang membuat jera dan tidak akan mengulamgi kesalahan yang sama.
Selain itu, untuk menyolusi permasalahan umat, negara menciptakan lapangan pekerjaan banyak dengan gaji yang sesuai dan tanpa potongan sehingga rakyat dapat memenuhi kebutuhan hidup. Negara juga membuat kebijakan yang menjamin ketersediaan bahan pangan untuk dapat dibeli oleh rakyat dengan harga terjangkau. Negara juga bisa memberikan kemudahan pembelian tanah dan bangunan. Serta bisa membangun perumahan rakyat dengan harga yang sangat terjangkau atau murah.
Pemimpin negara memiliki tugas untuk memberikan kenyamanan bagi rakyatnya, termasuk dalam perkara kebutuhan rumah. Jangan sampai kebijakannya justru menyusahkan rakyat sebagaimana sabda Nabi ﷺ dalam riwayat Muslim. Dari ‘Aisyah berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Ya Allah, barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas ia membuat susah mereka, maka susahkanlah ia. Dan barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas ia mengasihi mereka, maka kasihilah ia.” Dalam hal ini, hanya dengan Islam dibawah naungan Khilafah, rakyat sejahtera tanpa pemotongan hak untuk perumahan. Wallahu’alam bish-shawab.
Tags
Opini