Oleh: Mustika Lestari
(Freelance Writer)
Pasca mendapat gelombang protes, ribuan buruh turun ke jalan guna meminta pemerintah membatalkan program tabungan perumahan rakyat (Tapera) yang dinilai menyusahkan, kini Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani akhirnya sepakat untuk menundanya. Beliau menyatakan jika ada usulan penundaan, maka akan ditunda. Menurutnya, penerapan program Tapera memang tidak perlu tergesa-gesa jika belum siap menjalankannya. Sehingga, setelah melakukan kembali pengecekan kredibilitas, maka diundur hingga tahun 2027 mendatang (tribunnews.com, 7/6/2024).
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi lantas menilai, kebijakan ini dasarnya bermasalah. Dari sisi proses maupun content of policy (isi kebijakan) perlu pengkajian ulang. Mestinya bukan penundaan, sebab tuntutan masyarakat adalah pembatalan Tapera. Sebab berkaitan dengan kewajiban iuran Tapera, beliau menjelaskan bahwa masyarakat menganggap subsidi untuk perumahan menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan masyarakat yang turut wajib menanggungnya (tempo.co, 11/6/2024).
Sekadar Mengulur Penderitaan Rakyat
Rasanya tindakan menunda penerapan kebijakan, selalu menjadi jurus "berlindung" pemerintah ketika mendapat reaksi penolakan keras dari publik. Bukan dalam rangka melakukan pembenahan, hingga pembatalan apabila terbukti tidak pro kepada rakyat, melainkan sekadar meredam kemarahan mereka dan perlahan-lahan tetap menerapkannya. Di sela-sela penundaan tersebut, terus mempengaruhi opini publik dengan berbagai iming-iming manis, agar pihak yang awalnya menentang menjadi melunak, dan selanjutnya mendukung kebijakan pemerintah.
Meski akhirnya menunda program Tapera, namun pada dasarnya tidak mengubah apapun. Kebijakan tersebut tetap akan berjalan. Artinya, tinggal menunggu masanya tiba, di tahun 2027 mendatang rakyat akan semakin menderita. Sebelum wajibnya iuran Tapera saja, rakyat sudah menjerit karena beban hidup mereka yang bersumber dari kebijakan zalim pemerintah seolah tidak pernah ada habisnya.
Rakyat luntang-lantung sendiri mencari pemasukan untuk bertahan hidup. Di tengah situasi terimpit ini, masih sempatnya pemerintah berfikir untuk menarik iuran wajib Tapera, di luar pungutan pajak yang sudah sangat memberatkan. Mengingat target iuran tersebut bukan hanya terhadap pegawai pemerintah, melainkan juga pekerja swasta ataupun pekerja mandiri yang penghasilannya tidak menentu. Jika mereka hanya mendapatkan gaji standar UMR, lalu 3 persennya dipangkas untuk Tapera, lantas bagaimana mencukupkan gaji yang sekadarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari?
Maka wajar jika ada anggapan bahwa keberadaan pejabat negara bukan untuk melayani rakyat, tetapi memalak rakyat demi kepentingan segelintir pihak, yang tentu saja bukan rakyat itu sendiri. Belum lagi pungutan semacam ini rentan penyelewengan layaknya pada program jaminan sosial di Asabri, Jiwasraya, dan Taspen. Akhirnya makin menguatkan dugaan publik jika rakyat bukanlah menjadi tujuan dari program ini.
Andai pemerintah serius ingin menyediakan rumah bagi rakyat, mestinya tidak perlu melalui Tapera yang kesannya "memaksa" para pekerja. Potensi SDA yang melimpah di negeri ini, idealnya cukup untuk mengadakan rumah subsidi dari pemerintah untuk rakyat, bahkan bisa jadi gratis. Sayangnya dengan realita banyaknya pungutan kepada rakyat, yang tidak pula dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan mereka menjadi lumrah di negara yang yang tidak ada prinsip amanah ini. Beragam kebijakan yang ditunda selama ini pun, hanya untuk mengulur penderitaan rakyat, selanjutnya tetap menerapkannya yang menambah penderitaan mereka tanpa henti.
Fakta di atas menjadi bukti bahwa pemerintah main-main dalam menjamin pemenuhan kebutuhan rumah rakyat. Karena tidak hadirnya mereka, para pekerja dianggap mampu mengadakan rumah dengan dananya sendiri yang susah payah mendapatkannya. Di sisi lain, pemerintah melihat celah dari uang tersebut akan memberi cipratan keuntungan bagi mereka.
Demikianlah wajah buruk rezim dalam naungan sistem kapitalisme-demokrasi. Penguasa yang lahir dan tumbuh dalam sistem ini kehilangan fungsinya sebagai pelayan rakyat, justru senantiasa zalim dan tidak memiliki empati sedikitpun kepada rakyatnya. Kehadirannya tidak lebih dari pedagang yang selalu menakar keuntungan dan kerugian ketika dihadapkan dengan rakyatnya. Dalam sistem rusak ini benar-benar berkuasa orang-orang yang enggan bekerja untuk membantu rakyat.
Islam Menjamin Kebutuhan Dasar Rakyat
Sangat berbeda situasinya dengan sistem Islam. Dimana representasi penguasa di dalamnya adalah raa’in (pengurus) terhadap urusan rakyat. Dalam arti seluruh kebutuhan rakyat, negara akan memenuhinya melalui kebijakan yang merujuk pada aturan Allah SWT. Bahwa kebijakan negara yang menyangkut kehidupan manusia haruslah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bagi siapa saja yang berada di bawah naungannya.
Oleh karenanya, penguasa tidak akan membuat kebijakan yang menzalimi rakyat, sekalipun hanya sedikit. Sebagaimana Rasulullah SAW pernah bersabda, “Imam (Khalifah) adalah ra’in (pengurus) bagi rakyat dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. Al-Bukhari).
Dengan ini, penguasa di dalam Islam akan menjalankan tugasnya sebaik mungkin, senantiasa mendengarkan aspirasi rakyatnya, dan membuat aturan terbaik demi menyejahterakan seluruh rakyatnya, termasuk menjamin kebutuhan rumah bagi mereka.
Tidak akan ditemui rakyat yang kesulitan memiliki rumah, sebab negara akan menciptakan iklim perekonomian rakyat yang sehat. Laki-laki yang kepadanya terdapat kewajiban bekerja guna mencari nafkah, negara memberi fasilitas berupa kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak. Dari penghasilannya tersebut, ia mampu memenuhi kebutuhan primer dirinya, dan keluarganya (jika ada). Baik itu kebutuhan makan sehari-hari, pakaian yang layak, termasuk tempat hunian yang nyaman.
Negara tidak akan mengambil pungutan seperti iuran Tapera hari ini dari rumah tersebut. Sebab, penguasa yang bertakwa kepada Allah SWT, akan memahami betul bahwa kebijakan semacam itu adalah bentuk kezaliman kepada rakyat.
Maka sungguh hanya dengan sistem kepemimpinan Islam, yang mana penguasa benar-benar menampakkan dirinya untuk melayani rakyat, memenuhi seluruh hak mereka. Dalam sistem kehidupan Islam, kita tidak akan menemukan potret rezim yang menukar tugasnya mengurusi rakyat, kepada rakyat itu sendiri, sementara ia sibuk berbisnis dengan para pemodal untuk kepentingan mereka sendiri. Hanya dengan Islam akan terwujud kehidupan yang berkah, di dalamnya terpancar kebaikan. Wallahu a'lam bi showwab.