Oleh : Nurhayani
(Pegiat Literasi, Ciparay - Kab. Bandung)
Dunia tidak akan pernah bernapas lega dengan krisis Israel dan Palestina puncak Duka Palestina telah kembali memantik keprihatinan masyarakat dunia. Arogansi tentara Israel yang kembali menyerang Ghaza dan Rafah bikin sewot umat Islam. Tak ayal korban pun berjatuhan. Ratusan warga Palestina syahid. Anak-anak Palestina kehilangan masa kecilnya. Gelak tawa mereka tergantikan dentuman suara rudal diiringi tangis pilu.
Solidaritas umat Islam sedunia untuk Palestina menggema di setiap tempat. Di dunia nyata, bantuan kemanusiaan terus mengalir tiada henti. Tak terkecuali dari Indonesia. Bantuan donasi untuk Gaza digalang oleh semua kalangan. Semua bergerak untuk pembebasan Palestina
Di dunia maya, info seputar duka Palestina juga bersahut-sahutan di semua kanal sosial media."All Eyes on Rafah" menjadi perbincangan hangat di media sosial.
Unggahan tersebut telah dibagikan lebih dari 47 juta kali oleh pengguna Instagram termasuk selebritas seperti Dua Lipa, Lewis Hamilton, serta Gigi dan Bella Hadid.
Gambar dan slogan tersebut menjadi viral setelah serangan udara Israel dan kebakaran yang terjadi di sebuah kamp pengungsi Palestina di Kota Rafah, Gaza selatan, awal pekan ini.Tatkala para Penjajah itu merampas tanah dan menghancurkan rumah-rumah mereka. Tatkala tak ada senyum ceria yang tersirat yang mereka rasakan. Tatkala kebebasan mereka terenggut. Mereka berteriak, berikan kebebasan masa kecil kami! Tidak heran jika banyak orang sejenak untuk memikirkan saudara kita di Palestina, terutama di Gaza dan Rafah
Riwayat negeri Palestina sangat erat kaitannya dengan perjalanan sejarah Islam dan kaum Muslimin. Didalamnya terdapat Masjid al-Aqsha yang merupakan kiblat pertama umat Islam sebelum Allah Swt., memerintahkan hambaNya untuk menghadap kiblat kedua (Ka’bah al-Musyarrafah), 16 bulan setelah peristiwa hijrah. Masjid al-Aqsha juga menjadi tempat ‘transit’ Nabi Muhammad saw. menuju Sidratul Muntaha dalam peristiwa Isra Mi’raj.
Palestina berada di bawah kekuasaan Islam saat Umar bin Khathab ra berhasil menaklukkannya pada tahun 15 H dan menerima (kunci)-nya dari Uskup Agung Saphranius. Mereka menyepakati perjanjian masyhur, yaitu perjanjian Umariyah, yang di antara isinya (atas permintaan orang Nasrani yang tinggal di sana) adalah : “Tidak boleh satu orang Yahudi pun untuk tinggal di daerah Palestina”.
Pada masa pemerintahan khilafah Abdul Hamid, kaum Yahudi yang tidak punya tempat tinggal dan berusaha menjadikan Palestina sebagai tempat mukimnya.
Dengan bantuan Inggris, mereka berupaya memicu timbulnya krisis keuangan di Negara Khilafah Ustmaniyah. Lalu Hertzl, pemimpin senior Yahudi saat itu (1901 M), menawarkan sejumlah uang kepada Khalifah untuk memulihkan ekonomi Daulah Khilafah. Tapi dengan syarat, kaum Yahudi dibolehkan tinggal di Palestina.
Namun, Khalifah Abdul Hamid dengan tegas menolak tawaran Hertz. Beliau menjawab: “Sungguh aku tidak bisa melepaskan bumi Palestina walau hanya sejengkal. Bumi itu bukan milikku, melainkan milik umat Islam. Bangsaku telah berjihad dalam mempertahankan bumi tersebut dan telah menyiraminya dengan darah-darah mereka. Lalu Yahudi itu meminta untuk orang-orang mereka, dan jika negara Khilafah suatu hari hancur, maka sungguh mereka pada saat itu akan dapat mengambil Palestina secara cuma-cuma. Namun, selama aku masih hidup, tertanamnya pisau bedah pada tubuhku lebih ringan bagiku daripada menyaksikan Palestina terlepas dari Negara Khilafah, dan hal itu tidak akan pernah terjadi. Sungguh aku tidak akan setuju untuk mencabik-cabik tubuh kita sendiri, padahal kita masih hidup.”
Pada tahun 1917 (menjelang runtuhnya Khilafah Utsmaniyah) dalam perang dunia I, Inggris berhasil menduduki Palestina. Lalu Inggris menetapkan sebuah Perjanjian Balfour. Isinya, Inggris menjanjikan kepada Yahudi untuk dapat menduduki Palestina dan mendirikan negara bagi mereka di sana.
Usai perang dunia II, PBB seolah mengamini rencana Inggris dengan mengeluarkan resolusi No. 181 tanggal 29/10/1947. Isi resolusi itu, menetapkan pembagian daerah Palestina menjadi dua, antara penduduknya dan kaum pendatang yang merampasnya. Lalu Inggris merekayasa perang antara para penguasa Arab yang menjadi bonekanya, dengan Yahudi sebagai bentuk penolakan pendirian negara Yahudi di Palestina. Padahal hasil akhirnya sudah ditentukan oleh Inggris. Yahudi sebagai pemenang sehingga bisa mendeklarasikan negaranya pada tanggal 05 Mei 1948 dengan menguasai sebagian besar Palestina.
Aksi brutal dari agresi militer Zionis yang membabi buta melakukan serangan udara pada Ahad (26-5-2024), mengakibatkan kebakaran 14 tenda pengungsi di distrik Tel Al-Sultan, Kota Rafah. Akibat serangan tersebut, 45 orang tewas dan 249 lainnya terluka. Dua hari setelahnya, mereka menembaki kamp pengungsi Al Mawasi, di sebelah barat Rafah, menewaskan sedikitnya 21 orang, termasuk 12 perempuan.yang dilakukan militer Israel di jalur Gaza Palestina memancing kebencian umat Islam sedunia.
Perang antara Israel dan dua kelompok utama Palestina di Jalur Gaza ini telah mengakibatkan ratusan jiwa tewas, ribuan rumah hancur, dan meluluhlantahkan infrastruktur utama di kawasan tersebut.
Siapa yang nggak terusik dengan duka nestapa yang menimpa saudara sesama muslim di Gaza. Aksi turun ke jalan pun digelar diberbagai tempat. Bantuan logistik seperti makanan, pakaian, obat-obatan, hingga tim medis mengucur deras menuju tempat kejadian.
Apa yang tengah terjadi di jalur Gaza udah seharusnya membukakan mata kita tentang kondisi umat Islam sekarang. Sekat-sekat nasionalisme telah mengoyak ukhuwah islamiyah. Para penguasa muslim cuman bisa mengutuk atau mengecam. Padahal Allah swt mengingatkan:
Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam urusan agama, maka kalian wajib menolong mereka. (QS al-Anfal [8]: 72).
Selain dengan bantuan dana, logistik, atau tenaga medis yang melengkapi gempita All Eyes on Rafah, mesti ada juga kekuatan seimbang untuk mengusir penjajah Israel dari bumi yang diberkahi itu. Tahu sendiri kan, selama ini militer Israel itu belagu banget mempertontonkan kebrutalannya.
Untuk itu, umat perlu pemimpin yang bisa menyatukan kaum muslimin seluruh dunia. Biar satu komando untuk menggalang bantuan jika ada umat Islam yang teraniaya. Terlebih lagi, keberadaan seorang pemimpin dalam Islam bukan sekedar pemersatu. Tapi juga menjadi pelindung alias perisai.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya al-Imam (pemimpin negara) itu (laksana) perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).
Makna ungkapan kalimat “al-imamu junnah (Imam itu laksana perisai)” adalah perumpamaan sebagai bentuk pujian terhadap imam yang memiliki tugas mulia untuk melindungi orang-orang yang ada di bawah kekuasaannya sebagaimana dijelaskan al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim,
“(Imam itu perisai) yakni seperti as-sitr (pelindung), karena imam (khalifah) menghalangi/mencegah musuh dari mencelakai kaum muslimin, dan mencegah antara manusia satu dengan yang lain untuk saling mencelakai, memelihara kemurnian ajaran Islam, dan manusia berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.”
Jadi, selain menggalang solidaritas untuk Palestina dalam bentuk bantuan uang dan obat-obatan, jangan lupakan juga untuk menyadarkan umat. Biar semua tahu jika masalah Palestina dan negeri-negeri Islam lainnya adalah urusan kita juga dan hanya keberadaan pemimpin Islam sedunia solusinya.
Wallahu a'lam bish shawab.
Tags
Opini