Oleh : Bunda Twins
PanturaPost.com, BREBES - Desa Buaran, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes ditunjuk sebagai rintisan Desa Anti Korupsi di Kabupaten Brebes.
Hal itu, terungkap saat Komisi I DPRD saat menggelar sosialisasi didampingi Inspektorat, Dinpermasdes dan Dinkominfotik, Kamis, 16 Mei 2024.
Bertempat di Pendopo Balai Desa Buaran, kegiatan pembentukan rintisan desa anti korupsi menghadirkan Ketua Komisi 1 DPRD Heri Fitriansyah dan Anggotanya Pamor Wicaksono.
Menurut dia, pemerintah desa merupakan garda terdepan dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.
"Dalam rintisan pembentukan desa anti korupsi, semua perangkat desa harus menguatkan kepercayaan publik. Caranya, dengan transparansi tata kelola pemerintahan desa dari semua lini termasuk penggunaan anggaran yang akuntabel," kata Heri Fitriansyah.
Tahap sosialisasi dan bimbingan teknis program Desa Anti Korupsi, lanjut Heri, tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Brebes Nomor Nomor 356/ 13 Tahun 2024 tentang Penetapan Desa Sebagai Wilayah Pembangunan Desa Anti Korupsi Tahun 2024.
Bahkan, rintisan desa anti korupsi akan tersebar di 17 kecamatan dengan percontohan satu kecamatan satu desa.
Anggota Komisi 1 DPRD Brebes Pamor Wicaksono mengatakan, jika budaya korupsi sudah mengakar di seluruh sistem birokrasi.
Sehingga, pihaknya tidak bisa menyuruh perangkat desa untuk tidak korupsi, tapi hanya bisa memberikan himbauan agar tidak melakukan korupsi dalam pengelolaan keuangan desa.
Sebab, lanjut dia, sejak rezim kepemimpinan era orde baru hingga era reformasi hingga kini korupsi selalu ada.
_ _
Kasus Korupsi Makin Menjadi.
_ _
Bagi masyarakat istilah korupsi sudah tidak asing lagi dikarenakan kasus korupsi dikabarkan terjadi di berbagai bidang dan pelakunya dari perorangan, swasta sampai pada instansi negara.
Dari sisi pelaku korupsi, data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2004—2023 menyebutkan, sebanyak 344 kasus korupsi melibatkan anggota DPR dan DPRD. Jumlah ini terbanyak ketiga di bawah kasus korupsi yang menjerat kalangan swasta (399 kasus) dan pejabat eselon I—IV (349 kasus) (Kpk[dot]go[dot]id, 8-10-2023).
Korupsi juga melibatkan para kepala daerah. Menurut KPK, jumlah tindak pidana korupsi oleh walikota/bupati naik menjadi 19 orang pada 2021 dari 10 orang pada tahun sebelumnya (Katadata, 15-8-2022).
Korupsi juga kini banyak dilakukan oleh kepala desa dan aparatnya. Menurut Indonesia Corruption Watch, sejak Pemerintah menggelontorkan dana desa pada 2015, tren kasus korupsi di pemerintahan desa meningkat. Pada 2016, jumlah kasus korupsi di desa “hanya” sebanyak 17 kasus dengan 22 tersangka. Namun, enam tahun kemudian, jumlah kasusnya melonjak drastis 155 kasus dengan 252 tersangka (Kpk[dot]go[dot]id, 21-8-2023).
Aktor/pelaku korupsi, bahkan melibatkan para penegak hukum. Berdasarkan data KPK ada 34 koruptor yang merupakan aparat penegak hukum yang terjerat kasus korupsi. Mereka adalah 21 orang hakim, 10 orang jaksa, dan tiga orang dari kepolisian (Katadata, 23-9-2022).
Yang lebih memprihatinkan, korupsi bahkan melibatkan pimpinan KPK. Ketua KPK Firli Bahuri telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya dalam kasus pemerasan terhadap tersangka korupsi di Kementerian Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. Di sisi lain sebanyak 78 orang pegawai KPK juga terlibat kasus pungli di rumah tahanan KPK (BBC News Indonesia, 15-1-2024).
--
Faktor Penyebab adalah Ideologi Kapitalis
--
Faktor utama penyebab korupsi saat ini sebenarnya berpangkal dari ideologi yang diterapkan di negeri ini, yaitu sekuler kapitalisme. Faktor ideologis tersebut terwujud dalam nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat kini yang berkiblat pada Barat, seperti nilai kebebasan dan hedonisme. Korupsi merupakan salah satu kerusakan akibat paham kebebasan dan hedonisme ini.
Tentu tidak boleh diabaikan adanya faktor lainnya. Setidaknya ada tiga faktor lain.
Pertama, faktor lemahnya karakter individu (misalnya, individu yang tidak tahan godaan uang suap).
Kedua, faktor lingkungan/masyarakat, seperti adanya budaya suap atau gratifikasi yang berawal dari inisiatif masyarakat. Ketiga, faktor penegakan hukum yang lemah, misalnya adanya sikap tebang pilih terhadap pelaku korupsi, serta sanksi bagi koruptor yang tidak menimbulkan efek jera.
--
Ideologi Islam Solusi dari Kasus Korupsi
--
Dalam pandangan syariat Islam, korupsi termasuk perbuatan khianat. Orangnya disebut khâ’in. Korupsi adalah tindakan pengkhianatan yang dilakukan oleh seseorang, yaitu menggelapkan harta, yang memang diamanatkan kepada dirinya (Lihat: Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 31).
Pada dasarnya, faktor utama penyebab korupsi adalah faktor ideologi. Ini berarti, langkah paling utama dan paling penting yang paling wajib dilakukan adalah menghapuskan pemberlakuan ideologi demokrasi kapitalisme. Selanjutnya, diterapkan syariat Islam sebagai satu-satunya sistem hukum yang semestinya berlaku di negeri ini. Penerapan syariat Islam akan sangat efektif untuk membasmi korupsi, baik terkait pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).
Secara preventif, paling tidak ada enam langkah untuk mencegah korupsi. Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib yang amanah, serta berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Tentang sikap amanah, Allah Swt. telah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian, padahal kalian tahu.” (TQS Al-Anfal [8]: 27).
Di antara sekian banyak amanah, yang paling penting adalah amanah kekuasaan. Rasulullah saw. bersabda,
فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ
“Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR Bukhari).
Lalu terkait profesionalitas dan integritas, Rasulullah antara lain pernah bersabda, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat.” (HR Bukhari).
Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Rasul saw. mencontohkan hal itu. Tidak ada yang meragukan ketakwaan Sahabat Muadz bin Jabal ra. Namun, tatkala Rasul saw. mengutus Muadz ke Yaman menjadi ‘âmil (kepala daerah setingkat bupati) dan ia sudah dalam perjalanan, Rasul saw. memerintahkan seseorang untuk memanggil Muadz agar kembali. Lalu Rasul saw. bersabda kepada Muadz, “Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulûl (khianat). Siapa saja yang berkhianat, pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu (TQS Ali Imran [3]: 161). Karena inilah aku memanggilmu. Sekarang, pergilah untuk melakukan tugasmu.” (HR At-Tirmidzi dan Ath-Thabarani).
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Nabi saw. bersabda, ”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tetapi tidak punya rumah, hendaklah ia mengambil rumah. Jika tidak punya istri, hendaklah ia menikah. Jika tidak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad).
Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Rasul saw. bersabda,
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
“Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuknya, maka apa yang ia ambil setelah itu adalah harta ghulûl.” (HR Abu Dawud dan Al-Hakim).
Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi saw. berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR Ahmad).
Berdasarkan ini, harta yang diperoleh aparat, pejabat, dan penguasa, selain pendapatan (gaji) yang telah ditentukan, apa pun namanya (hadiah, fee, pungutan, suap, dsb.), merupakan harta ghulûl dan hukumnya haram.
Kelima, Islam memerintahkan untuk melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab ra. biasa menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Jika Umar ra. mendapati kekayaan seorang wali atau ‘âmil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tidak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke baitulmal. Hal ini pernah beliau lakukan terhadap Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan, juga Amr bin al-‘Ash (Ibnu ’Abd Rabbih, Al-’Iqd al-Farîd, I/46—47).
Keenam, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Pemberantasan korupsi tentu akan menjadi lebih sempurna jika disertai dengan kontrol dari masyarakat, khususnya para ulama.
Adapun secara kuratif, maka membasmi korupsi dilakukan dengan cara penerapan sanksi hukum yang tegas dan tanpa tebang pilih. Dalam Islam, hukuman untuk koruptor masuk kategori takzîr, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim/penguasa. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti teguran dari hakim; bisa berupa penjara, pengenaan denda, atau pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhîr); bisa hukuman cambuk; hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman takzîr ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 78—89).
Jelas, pemberantasan korupsi hanya akan berhasil dalam sistem Islam. Sebaliknya, sulit sekali, bahkan mungkin mustahil terwujud dalam sistem sekuler seperti sekarang ini. Alhasil, upaya penerapan dan penegakan syariat Islam di negeri ini secara menyeluruh dan total harus segera diwujudkan. WalLâh a’lam bi shawâb.
Tags
Opini