Oleh: Sarah Fauziah
Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan gugatan Partai Garuda terkait batas usia kepala daerah. Kini, calon gubernur dan wakil gubernur tidak harus berusia 30 tahun untuk mendaftar. Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa Pasal 4 Ayat 1 huruf d dalam Peraturan KPU RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang pencalonan pemilihan gubernur, wakil gubernur, bupati, dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2006.
Atas putusan tersebut, aturan KPU diubah menjadi usia minimal 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota, terhitung sejak pelantikan pasangan calon.
Dalam sistem politik demokrasi, perubahan aturan hukum seperti ini adalah hal yang biasa dan niscaya terjadi. Kedaulatan hukum berada di tangan manusia, yang berarti hukum dapat diubah sesuai dengan kepentingan politik tertentu. Hal ini menegaskan bahwa sistem demokrasi menempatkan manusia sebagai pembuat hukum, mengabaikan keberadaan Allah sebagai satu-satunya zat yang berhak membuat hukum. Akibatnya, sistem politik demokrasi sering kali menghasilkan mekanisme politik yang korup, di mana kekuasaan digunakan untuk mengalahkan supremasi hukum.
Contoh nyata dari masalah ini adalah dugaan bahwa putusan MA terkait perubahan batas usia calon pejabat digunakan untuk memuluskan jalan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, maju di Pilkada 2024. Jika benar, ini berarti rakyat kembali harus menelan pil pahit dari keculasan para pejabat negeri, dan harapan memiliki pemimpin yang pro-rakyat semakin pupus.
Umat akan terus menghadapi kekuasaan yang korup selama sistem demokrasi masih digunakan. Sebenarnya, kekuasaan tidak harus menjadi hal yang kotor seperti saat ini. Harapan memiliki pemimpin yang adil bukanlah hal yang sulit diwujudkan jika sistem politik yang diterapkan adalah sistem yang benar, yaitu sistem yang hanya ada dalam Islam. Kekuasaan dalam Islam adalah amanah besar yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sangat mewanti-wanti terkait amanah kekuasaan ini, karena jabatan dan kekuasaan bisa menjadi penyesalan dan azab dari Allah. Mindset kekuasaan seperti ini membuat Khalifah Umar bin Khattab menangis karena dibaiat oleh para sahabat untuk memimpin negara Khilafah. Mindset ini pula yang membuat para penguasa negara Khilafah berusaha seoptimal mungkin mengerahkan kemampuan mereka dalam mengurus rakyatnya.
Terkait pemilihan kepala daerah, Islam sudah memiliki mekanismenya. Dalam kitab "Ajahizah Fi Daulah Khilafah," Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa kepala daerah dalam Khilafah disebut wali. Seorang wali menjadi wakil khalifah untuk memerintah dan mengurus suatu daerah atau negeri, dan bertanggung jawab di depan khalifah serta majelis syura. Majelis syura adalah perwakilan umat di sebuah wilayah, dan mereka dapat mengadukan wali kepada khalifah jika terjadi ketidakadilan.
Pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dalam sistem Khilafah sangat efektif, efisien, dan hampir tanpa biaya. Akuntabilitas pejabat juga terjamin, karena mereka bisa diberhentikan segera jika melakukan kezaliman. Kontrol masyarakat juga berjalan karena mereka bisa memberikan masukan terkait sosok pemimpin daerah yang mereka inginkan.
Islam juga memiliki syarat tertentu bagi siapa yang layak menjadi kepala daerah. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya "Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah" menyebutkan tiga indikator kriteria penting yang harus dimiliki seorang pejabat, yaitu kekuatan (quwwah), ketakwaan (taqwa), dan sikap lembut terhadap rakyat (rahmah). Kriteria ini menjadikan kepala daerah terpilih mampu melayani umat dengan baik.
Inilah perbandingan makna kekuasaan, pemilihan, serta kriteria pejabat dalam sistem demokrasi dan sistem Khilafah. Pertanyaannya, mengapa umat masih tetap mempertahankan sistem demokrasi yang cacat dan korup? Islam menawarkan solusi politik yang jauh lebih adil dan efisien, yang mampu membawa keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat.
Tags
Opini