Politik Balas Budi, Cerminan Demokrasi

Oleh : Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)


Bagi-bagi kue kekuasaan BUMN tengah menjadi sorotan. Pasalnya, para politisi pendukung presiden terpilih, kini ramai-ramai menduduki jabatan strategis di beberapa BUMN di negeri ini. Kontan, fenomena ini menuai kritik pedas publik karena kebijakan yang ditetapkan kental dengan muatan politis. Banyak juga yang mengatakan, kebijakan bancakan ini sebagai politik balas budi pemerintah pada para pendukung dan relawannya (kompas.com, 20/6/2024).

Salah satunya Grace Natalie, Mantan Wakil Ketua Dewan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) diangkat menjadi Komisaris Mining Industry Indonesia (MIND ID). Tak hanya Grace, seorang politikus Partai Gerindra, Fuad Bawazier, juga menduduki jabatan komisaris utama (voaindonesia.com, 16/6/2024).

Penunjukan sejumlah politisi pendukung presiden terpilih Prabowo Subianto sebagai komisaris di beberapa perusahaan pelat merah dianggap sebagai bentuk konflik kepentingan. Penempatan jabatan di sejumlah badan usaha milik negra (BUMN), diketahui ditetapkan tidak sesuai prosedural. Namun hanya didasarkan pada kepentingan politik segelintir orang yang memiliki kewenangan dan kekuatan politis.

Secara terang-terangan, penetapan ini tidak berdasarkan pada keahlian dan daya kompetensi yang memadai. Keputusan ini secara alamiah akan berdampak pada buruknya mekanisme pengelolaan perusahaan. Dan secara tidak langsung akan merusak budaya profesionalitas, dan menimbulkan spekulasi bisnis yang negatif. Demikian disampaikan Wawan Heru Suyatmiko, Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) (voaindonesia.com, 16/6/2024). Wawan melanjutkan, konflik kepentingannya sangat tampak, pemilihan pejabat pun difokuskan pada faktor kedekatan, bukan kompetensi dan profesionalitas.


Politik Transaksional, Mustahil Dihindari dalam Demokrasi

Nasib buntung terus menimpa BUMN negeri. Kas dan tenaga BUMN habis diperas demi memenuhi proyek ambisius pemerintah. Parahnya lagi, pengelolaannya pun kini dalam cengkeraman para elite politik. Bagi-bagi kursi kekuasaan BUMN ke tangan para kader partai pendukung presiden menjadi bukti buruknya eksploitasi BUMN bagi sekelompok orang yang jauh dari kepentingan publik.

Bancakan jabatan ala sistem demokrasi tidak akan pernah berhenti selama konsep batil ini terus diterapkan dengan berbagai kesepakatan. Kompetensi dan profesionalisme tidak lagi dipandang sebagai esensi utama dalam pemilihan pejabat di BUMN. Tidak salah lagi, obral jabatan yang kini dilakukan rezim merupakan bentuk upaya balas budi karena dukungan dan usaha pemenangan pada kontestasi yang beberapa waktu lalu terselenggara. Alhasil, BUMN pun tidak akan mampu mencurahkan potensi terbaiknya untuk mengurusi kepentingan rakyat. Tidak hanya itu, politik bancakan ala demokrasi ini pun rentan tindak korupsi. Karena pejabat yang diangkat selalu mengedepankan kepentingan kelompok atau pribadi karena merasa berutang budi.

Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Bagus Pradana mengungkapkan fenomena bagi-bagi jatah komisaris BUMN untuk sejumlah politikus akan berakibat buruk pada tubuh BUMN. Inilah fenomena revolving door, saat politikus memasuki ke dunia bisnis atau sebaliknya (kbr.id, 17/6/2024). Konflik kepentingan dan korupsi pasti selalu menghantui pengurusan BUMN. Tentu saja, konsep ini akan menimbulkan penyakit kronis dalam tubuh BUMN. Hingga akhirnya BUMN keok dan malfungsi.

Inilah politik transaksional yang selalu "melekat" dalam tubuh demokrasi. Hal ini pun menjadi suatu keniscayaan dalam demokrasi. Semua dinilai dari manfaat dan materi yang diperoleh. Kerjasama dilakukan karena asas manfaat atau keuntungan yang akan didapatkan.
Standar kapabilitas dan profesionalisme akhirnya dipinggirkan demi memenuhi hawa nafsu yang telah lama diimpikan. Politik kepentingan, balas budi, dan korupsi adalah konsep batil yang pasti terjadi dalam sistem demokrasi. Kepentingan rakyat tidak pernah dianggap sebagai prioritas layanan yang harus diutamakan. Karena semua konsepnya berpijak pada paradigma yang keliru, yakni siapa kuat, dia dapat. Siapa berkuasa dialah pengendali segalanya. Betapa rusak sistem demokrasi. Wajar saja, saat kehidupan rakyat terus tertekan di tengah kemelut koyaknya pengurusan.


Kekuasaan dalam Islam

Islam menetapkan bahwa kekuasaan adalah amanat yang akan diminta pertanggungjawaban di hari hisab kelak. Sehingga terdapat dimensi ruhiyah yang benar-benar dijadikan sebagai konsep pengendali. Segala bentuk kekuasaan hanya diperuntukkan untuk melayani rakyat. Bukan untuk kepentingan pribadi ataupun golongan.

Rasulullah SAW. bersabda,
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Ada ungkapan yang menyatakan bahwa kekuasaan dan agama bak dua sisi mata uang yang tidak bisa terpisahkan sama sekali. Kekuasaan membutuhkan agama sebagai penjaga dan pengendali, sementara agama juga membutuhkan kekuasaan agar mampu diterapkan secara optimal dan menyeluruh di setiap bidang kehidupan.

Dalam Islam, kekuasaan harus ditetapkan dan diterapkan berdasarkan hukum syara'. Karena dengannya, kekuasaan akan mampu menempatkan setiap kewajibannya di atas konsep yang benar. Yakni menjadikan setiap urusan rakyat sebagai urusan utama yang harus dilayani oleh negara.

Islam pun mengatur perihal pengangkatan penguasa harus berdasarkan keahlian dan kompetensinya. Hal ini bertujuan untuk menjaga optimasi profesionalismenya dalam menjalankan tugas-tugasnya dalam melayani kepentingan rakyat.

Kekuasaan yang amanah hanya mampu diwujudkan pada sistem yang mampu menerapkan aturan benar. Yakni sistem yang mengintegrasikan aturan agama dalam kehidupan. Karena aturan agama adalah satu-satunya pengendali setiap jalannya kekuasaan. Dan hanya dengan metode inilah kepentingan rakyat mampu dijadikan prioritas utama.

Hanya dalam sistem Islam-lah konsep kekuasaan dan kepemimpinan mampu diterapkan dengan konsep yang benar sebagai bentuk ketundukan seorang muslim pada setiap hukum syara' yang Allah SWT. tetapkan atas seluruh kaum muslim.

Kekuasaan tidak akan berfungsi sebagai pengatur tanpa ada sistem Islam. Dan sistem Islam tidak akan mampu diterapkan kecuali dalam wadah yang tepat, yakni khilafah. Satu-satunya metode penerapan kekuasaan yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Wallahu 'alam bisshowwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak