Oleh: Tati Rahmayanti
Salah satu kasus korupsi terbesar di negara ini selama satu dekade terakhir adalah korupsi pertambangan timah, yang jumlahnya mencapai Rp 271 triliun. Kasus dugaan mega korupsi PT Timah senilai Rp 271 triliun hanyalah puncak gunung es dari rumitnya tata kelola pertambangan di Indonesia, seperti halnya PT Pertamina, PT Antam, dan PT PLN juga pernah menjadi korban kasus korupsi sebelumnya. Pelakunya mulai dari perusahaan swasta hingga perorangan; mengangkat pejabat senior kementerian hingga eselon tertinggi menteri pertambangan, politisi, dan kepala daerah.
Terkait tata kelola pertambangan yang kisruh, Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan 3.772 dari sekitar 11.000 izin pertambangan di seluruh Indonesia bermasalah dan diduga korupsi yang melibatkan kepala daerah penerbit izin. Akibatnya negara merugi ratusan miliar rupiah (Kompas.id, 31 Maret 2024).
Bahkan, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud mengutip mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad yang mengatakan bahwa jika korupsi di industri pertambangan bisa diatasi, setiap warga negara Indonesia bisa mendapatkan penghasilan 20 juta rupiah. per bulan. Abraham menilai pernyataannya mengacu pada analisis yang dilakukan KPK 10 tahun lalu (News.detik.com, 21/3/2023).
Akar penyebab: Kerusakan sistem
Salah satu akar permasalahan korupsi di industri pertambangan adalah adanya aturan/sistem yang korup (rusak) baik dalam bentuk kebijakan liberalisasi baik dalam bentuk privatisasi atau bahkan atas nama investasi. Untuk menarik investasi, pemerintah Indonesia secara aktif memberikan insentif untuk mendorong investasi swasta/asing. Salah satunya adalah pemberian konsesi hak guna lahan kepada investor di berbagai sektor seperti kehutanan, perkebunan, dan pertambangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-pokok Pertanahan, jangka waktu HGU bisa sampai dengan 35 tahun, dapat diperpanjang sampai dengan 25 tahun, dan dapat diperbaharui sampai dengan 35 tahun.
Di industri pertambangan, pemerintah memberikan berbagai insentif investasi kepada investor. Pada tahun 1967, pemerintah Indonesia mengundangkan UU No. 1967. Keputusan Nomor 11 Tahun 1967 tentang Peraturan Dasar Pertambangan mengatur tentang pemberian kuasa pertambangan kepada pihak swasta. Undang-undang tersebut diluncurkan dalam kekosongan hukum ketika Freeport-McMoRan ingin berinvestasi di pertambangan emas dan tembaga di Papua. Freeport kemudian diberikan konsesi selama 30 tahun, yang kemudian diperpanjang menjadi 50 tahun. Kemudian pada tahun 2020, pemerintah dan HDP sepakat untuk melakukan amandemen UU Pertambangan dan Batubara untuk memberikan perluasan usaha kepada beberapa perusahaan batubara swasta besar yang masa konsesinya akan segera berakhir.
Pemerintah Indonesia juga mendorong investasi di industri migas dengan memberikan konsesi pengelolaan migas kepada perusahaan swasta/asing. Menurut undang-undang no. Efektif sejak tanggal 22 Desember 2001, jangka waktu kontrak kerja sama minyak dan gas bumi paling lama adalah 30 tahun dan dapat diperpanjang sampai dengan 20 tahun.
Dampak negatif
Investasi swasta dan asing memberikan dampak negatif melalui hadirnya berbagai insentif, termasuk dalam bentuk konsesi yang diberikan. Diantaranya: pertama, menciptakan kesenjangan ekonomi yang meluas. Misalnya, total tanah yang diberikan pemerintah dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) berjumlah 36,8 juta hektar. Sebanyak 92% lahan dialokasikan untuk dunia usaha, sementara hanya 3,1 juta hektar (atau sekitar 8%) yang dialokasikan untuk masyarakat (Walhi dan Auriga, 2022).
Kedua, mengakibatkan penguasaan sektor ekonomi, termasuk pertambangan, hanya terbatas pada beberapa perusahaan saja. Peran masyarakat terpinggirkan. Faktanya, peran BUMN dan BUMD di berbagai sektor seperti pertambangan dan perkebunan cenderung minim dibandingkan swasta/asing.
Ketiga, keuntungan pengelolaan sumber daya alam, khususnya pertambangan, lebih banyak mengalir ke pihak swasta/asing dibandingkan ke negara.
Keempat, mendorong kerusakan lingkungan yang lebih besar. Sebab, perusahaan swasta/asing hanya mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Mereka cenderung tidak peduli terhadap pencemaran air, udara, dan tanah yang berdampak negatif terhadap masyarakat. Perusahaan pertambangan batu bara dan timah di Indonesia, misalnya, meninggalkan tambangnya tanpa melakukan rehabilitasi.
Dalam pandangan Islam , tambang apapun yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup org banyak terkategori kan sebagai harta milik umum (milkiyyah 'ammah). Haram dimiliki oleh pribadi/swasta, apalagi pihak asing. Termasuk haram diklaim sebagai milik negara. Negara hanya memiliki kewajiban dalam pengelolaannya. Lalu hasilnya diberikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Karena itu penerapan syariah Islam dalam pengaturan negara ini di segala bidang kehidupan, khususnya di bidang ekonomi, khususnya lagi dalam pengelolaan sumber daya alam milik umum, harus segera diwujudkan , sebabnya jelas, Allah SWT telah memerintahkan semua Muslim tanpa kecuali untuk mengamalkan syariah Islam secara menyeluruh (kaffah).
Wallahu alam bi ash-shawab
Tags
Opini