Pendidikan Tinggi adalah Kebutuhan Tersier?



Oleh : Ummu Faruq



"Pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni dari SD, SMP hingga SMA’’, pernyataan mencengangkan ini diungkapkan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud Ristek Tjitjik Sri Tjahjandarie. Ia menyebut pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa gratis seperti di negara lain. Sebab, bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional.
Penetapan UKT dan biaya lain pada dasarnya mengacu pada satu aturan resmi yang dikeluarkan oleh Kemendikbudristek. Aturan tersebut tertera dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbud. Di dalamnya dijelaskan bila seluruh biaya yang ada di PTN merujuk pada Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT).

PTN-BH Bukti Nyata Komersialisasi Pendidikan

Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum atau PTN BH merupakan konsep penyelenggaraan perguruan tinggi dengan otonom yang lebih luas. Dengan otonom penuh, suatu Perguruan Tinggi Negeri diharapkan bisa secara mandiri mengelola rumah tangganya sendiri sesuai dengan tujuan kampus tersebut. Dengan begitu diharapkan perguruan tinggi bisa lebih cepat berkembang dan berinovasi. Misalnya, PTN yang berstatus PTN BH tersebut bisa membuka Progran Studi baru atau menutupnya ketika dianggap tidak lagi diperlukan. Begitupun dalam urusan keuangan, urusan kepegawaian juga diatur sendiri oleh PTN tersebut.

Namun sayangnya ternyata banyak kelemahan PTN-BH yang tentunya sangat berdampak kepada mahasiswa ataupun masyarakat. Diantaranya, pemerintah akan mengurangi dana subsidi PTN dan perguruan tinggi negeri berbadan hukum diberikan keleluasaan dalam mencari dana tambahan dari berbagai sumber guna menjalankan aktivitas kampus untuk pembangunan infrastruktur dan lainnya. Dana tambahan ini salah satunya dari UKT mahasiswa ataupun bisa juga dari pihak swasta.

Kabid Litbang P2G Feriansyah mengungkapkan, PTN-BH sendiri memiliki kewenangan otonom untuk mengelola anggaran, di mana UKT merupakan sumber paling besar. Kampus harus punya business plan yang baik agar dapat mengelola pemasukan dan pengeluarannya. Maka dari itu, kampus harus punya unit bisnis lain yang bisa men-support agar UKT bisa lebih ringan. "Apabila kampus memperoleh status sebagai PTN-BH, jangan hanya mengharapkan income dari UKT," ujar Feriansyah. Beliau tak menampik bahwa kampus mengalami dilema dalam hal penerapan UKT. 

Sedangkan dari sisi kerjasama dengan pihak swasta, PTN BH harus rela dimasuki oleh korporasi, misalnya mendirikan bangunan yang seharusnya tidak ada. Contohnya, bangunan restoran cepat saji, atau yang lain. Pihak swasta juga memberikan pengaruh keputusan yang dikeluarkan oleh pihak kampus. Dampaknya, tentu saja pihak swasta mempengaruhi kebijakan agar sesuai dengan motif ekonominya. Maka, sungguh tak heran jika pendidikan hari ini tidak lagi berorientasi untuk menghasilkan seorang ilmuwan, melainkan menghasilkan sumber daya manusia yang sesuai dengan keinginan pasar

WCU Pengaruhi Kondisi Perguruan Tinggi

World Class University (WCU) atau universitas kelas dunia adalah mekanisme perankingan perguruan tinggi dalam skala internasional, baik dari segi operasional, fasilitas, metode, maupun lulusan sebuah universitas. Hal ini menggiring kampus untuk memenuhi tolok ukur tersebut, seperti keunggulan penelitian, kebebasan akademik, fasilitas dan pendanaan yang cukup memadai, termasuk berkolaborasi dengan lembaga internasional. Segala upaya ini tentunya memerlukan pendanaan yang tidak sedikit. 

Sejak 2006, pemerintah Indonesia terus mendorong berbagai PT di dalam negeri untuk meraih status WCU. Bahkan, Kemendikbudristek menjadikannya arus utama dengan agenda “Peningkatan Reputasi Perguruan Tinggi Indonesia Menuju World Class University“. WCU juga menjadi indikator yang tersemat dalam Rencana Strategis Kemendikbudristek 2020—2024, yaitu dengan meletakkan key performance indicator (KPI) melalui target pencapaian lima PT Indonesia masuk ke dalam top 500 PT terbaik dunia. Akhirnya, semua PT berfokus menyusun kurikulum serta program-program kampus agar sejalan dengan target WCU.

Triple Helix Perguruan Tinggi

Belum puas dengan adanya PTN-BH dan WCU, masih ada lagi konsep yang membuat komersialisasi pendidikan makin nyata sempurna, yaitu dengan adanya konsep Triple Helix Perguruan Tinggi. Teori triple helix pertama kali diungkapkan oleh Henry Etzkowitz dan Loet Leydesdorff pada 1990-an. Teori ini membahas tentang kolaborasi yakni kolaborasi pemerintah, universitas, dan industri. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan, universitas sebagai pusat pengembangan penelitian, dan industri sebagai penyedia kebutuhan layanan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama.

Ketika Perguruan Tinggi diberikan otonomi untuk mengatur dapurnya sendiri, dan pemerintah mengurangi dana subsidi pendanaan kepada Perguruan Tinggi sehingga tak bisa dipungkiri banyak Perguruan Tinggi yang mengalami kekurangan pendanaan atau underfunded. Sementara itu, jumlah perguruan tinggi sekitar 3.900 an dan jumlah mahasiswa yang terus bertambah setiap tahunnya mencapai 8,9 juta. Tentu hal ini sangat berpengaruh pada sistem pendanaannya.

Disaat inilah maka korporasi datang menawarkan bantuan dana kepada pemerintah ataupun kepada Universitas untuk menyokong dana perguruan tinggi. Misal, memberikan bantuan berupa bangunan, alat penelitian, ataupun beasiswa kepada mahasiswa. Dan tentunya, tidak ada yang namanya makan siang gratis di sistem kapitalis hari ini, berbagai bantuan dana oleh korporasi tentunya memiliki konsekuensi tersendiri. Bisajadi dicampurinya berbagai kebijakan yang diambil oleh Perguruan Tinggi ataupun Pemerintah untuk kepentingan korporasi. Jika demikian, bukankah makin nampak jeals bahwa pendidikan Tinggi hari ini hanya sebatas menjadi Pablik penghasil pekerja untuk kepentingan korporasi?

Perbedaan Sudut Pandang Pendidikan Kapitalisme dan Islam

Sistem hari ini memandang bahwa Pendidikan Tinggi bukanlah suatu kebutuhan, melainkan sesuatu yang tersier. Sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmatinya. Berbeda dengan Islam, Islam memandang bahwa menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban. Rasulullah bersabda;

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Meraih ilmu itu wajib atas setiap Muslim (HR Ibnu Majah).

Dengan begitu pendidikan dalam Islam bukan pilihan apalagi kebutuhan tersier, tapi pokok bahkan fardhu. Islam menetapkan dua tujuan pendidikan; Pertama, mendidik setiap Muslim supaya menguasai ilmu-ilmu agama yang memang wajib untuk dirinya (fardhu ’ain), seperti ilmu akidah, fikih ibadah, dsb. Kedua, mencetak pakar dalam bidang tsaqâfah/ilmu-ilmu agama yang dibutuhkan umat, seperti ahli fikih, ahli tafsir, ahli hadis, dsb. Dalam hal ini hukumnya fardhu kifayah. 
Biaya Pendidikan

Sudah menjadi rahasia umum akan mahalnya biaya pendidikan di negeri ini, terutama untuk Perguruan Tinggi. Mahalnya biaya pendidikan karena kurangnya atau bahkan lepasnya peran negara dalam meriayah rakyatnya, menganggap pendidikan bukan sebuah kebutuhan, sehingga hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang.

Berbeda dengan Islam, Islam menganggap pendidikan merupakan kewajiban dan berpandangan bahwa pendidikan merupakan suatu kebutuhan. Sehingga pendidikan akan ditanggung oleh negara dengan memberikan kualitas terbaiknya. Negara Islam mampu memberikan pengaturan terbaik, dan mampu menanggung biaya pendidikan dari tingkat rendah hingga tinggi karena disupport oleh sistem-sistem lain dalam daulah Islam. Menggratiskan biaya pendidikan untuk seluruh warga negara tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya. Dana ini dapat dipenuhi dengan diterapkannya Sistem Ekonomi dalam Islam yang sangat tangguh.

Islam memiliki sistem ekonomi yang sangat tangguh sehingga mampu mencukupi berbagai kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Sumber pendapatan dalam Islam bukanlah pajak dan hutang. Syariat Islam menetapkan bahwa pajak bukanlah sumber penghasilan untuk negara, apalagi dijadikan urat nadi ekonomi negara. Islam sudah menetapkan sumber-sumber pendapatan negara, diantaranya dari harta kepemilikan umum (seperti pertambangan), zakat, dan sedekah, ganimah, kharaj, harta yang tidak ada ahli warisnya, dsb.

Ketika negara memberikan support yang demikian hebatnya, memenuhi segala kebutuhan rakyatnya, mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Maka sungguh, iklim yang terbentuk tidaklah mungkin seperti hari ini, umat akan mencari materi seperlunya dengan cara halal dan sesuai ridhaNya, bukan menghalalkan segala cara atau bahkan menjadikan materi sebagai Tuhannya. 

Manusia-manusia yang terbentuk dari pendidikan Islam jelas akan sangat berbeda dengan didikan Kapitalis. Wajar jika output dari pendidikan kapitalis adalah mereka yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan materi sebanyak banyaknya, karena memang modal yang mereka keluarkan untuk biaya hidup dan pendidikan tidak sedikit jumlahnya. Dalam sistem Islam, akan melahirkan para pemuda yang memiliki visi keilmuwan besar, menjadi ilmuwan handal pemakmur bumi penjaga peradaban Islam. Mereka akan melahirkan penemuan-penemuan hebat yang mensupport kegemilangan Islam, dan tetap memperhatikan rambu-rambu hukum syara. Mereka tidak akan menerobos hukum-hukum Islam, menjalankan sesuatu yang haram, atau bahkan merusak ruang lingkup kehidupan. Maka sungguh, tiada pendidikan yang melahirkan generasi cemerlang melainkan sistem pendidikan Islam. Wallahu’alam bish-shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak