Izin Tambang untuk Ormas Keagamaan, Tepatkah?




Oleh. Rus Ummu Nahla
 (Aktivis Dakwah)



Masih berpolemik tentang kebijakan Tapera, kini pemerintah kembali memberikan kebijakan yang lagi- lagi dihujani kritik, yakni tentang pemberian izin kepada ormas keagamaan untuk pengelolaan pertambangan. Peraturan tersebut tertuang dalam PP No.25 tahun 2024. PP tersebut telah ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 30 Mei 2024 dan berlaku efektif pada tanggal diundangkan. (CNBC, Jumat 31/5 2024)


Aturan baru yang isinya menyetujui pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan tersebut sebenarnya telah lama diwacanakan oleh Presiden Jokowi, hal ini pernah ia sampaikan saat pidato acara Muktamar ke-34 NU yang berlangsung di Lampung pada tahun 2021 lalu, lebih jauh menurut Ketua Umum PBNU, pemberian izin tambang tersebut merupakan janji Presiden Jokowi terhadap ormas tersebut . Kompas.com, Kamis ( 6/6/2024) . Hal ini juga sekaligus merupakan sinyalemen permintaan dukungan terhadap proses politik kedepannya.

Tidak berselang lama dari keputusan tersebut, Menteri Investasi /Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia sudah menetapkan ormas yang akan segera diberikan izin yakni kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Izin wilayah khusus juga akan diberikan ormas lain setelah itu terealisasi. ( tirto.id 07/06/2024)

Hujan Kritik 

Banyak pihak menilai pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan merupakan sebuah jebakan dan sebenarnya hanya akal-akalan pemerintah saja, yang ujung-ujungnya untuk mengakomodasi kepentingan penguasa. Pasalnya ormas keagamaan tidak memiliki kompetensi dalam tata kelola pertambangan. Sebagaimana yang dikatakan oleh pengamat ekonomi energi UGM, Dr.Fahmy Radhi, M.B.A, bahwa, kebijakan pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan sungguh tidak tepat, bahkan menurut saya cenderung ‘blunder’ ujarnya, di Kampus UGM, Selasa (4/6/2024) Dia juga mengatakan pada kesempatan lain, dalam diskusi polemik  secara daring di Trijaya, Sabtu (08-6-2024) bahwa, ormas keagamaan selama ini tidak pernah mengurusi pertambangan, sehingga tak punya kapabilitas, Fahmy khawatir lahan tambang yang diberikan hanya akan dimanfaatkan oleh pihak swasta yang menjalin kerjasama dengan ormas keagamaan penerima izin konsesi”. 

Sangat wajar apabila kebijakan ini menuai banyak kritik, pasalnya,  selain ungkapan tersebut, hal ini  juga akan menyebabkan terjadinya disorientasi dan disfungsi kelembagaan ormas keagamaan  dalam melakukan tugas utamanya yakni menjalankan amar makruf nahi mungkar. Kebijakan ini sekaligus menegaskan bahwa penguasa telah menjadikan ormas sebagai alat politik untuk mencapai kepentingannya. Terlebih ormas tersebut memiliki jumlah massa yang konon  merupakan ormas terbesar di Indonesia.


Muara Kapitalisme 

Pemberian tambang kepada pihak ormas keagamaan merupakan salah satu bentuk privatisasi sumber daya alam dan  ini merupakan buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalisme  memberikan kebebasan kepengelolaan tambang dan sejenisnya untuk dikelola oleh individu dan swasta yang ini dijamin oleh undang-undang. Dalam konteks pemberian kepada ormas keagamaan hal ini  merupakan bentuk bagi- bagi jatah kekuasaan. Melihat ormas yang tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas, tidak menutup kemungkinan akan ditemukan realitas yang berujung pada penyerahan konsesi kepada pihak yang memiliki kapasitas yakni para kapitalis. Alhasil tetap saja penguasaan tambang berujung pada kapitalisme.

Beda halnya dengan Islam, Islam melarang swasta mengelola tambang karena tambang adalah terkategori harta milik umum yang tidak boleh dikuasai oleh individu/ swasta, atau  negara. Adapun negara hanya memiliki kewajiban sebagai pengelola saja.
Sebagaimana  hadits Nabi saw. yang dituturkan oleh Abyadh bin Hammal ra. 

أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ

Sungguh dia (Abyadh bin Hammal) pernah datang kepada Rasulullah saw. Dia lalu meminta kepada beliau konsensi atas tambang garam. Beliau lalu memberikan konsesi tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, tatkala Abyadh telah berlalu, seseorang di majelis tersebut berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepada Abyadh? Sungguh Anda telah memberi dia harta yang (jumlahnya) seperti air mengalir (sangat berlimpah).” (Mendengar itu) Rasulullah saw. lalu menarik kembali pemberian konsesi atas tambang garam itu dari Abyadh (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Selain hadits tersebut, Rasulullah saw. Juga bersabda:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّار 

Kaum Muslim berserikat (dalam hal kepemilikan) atas tiga perkara: padang rumput, air dan api. (HR Abu Dawud dan Ahmad). 

Implementasi dari hadits tersebut hanya dapat diwujudkan dengan penerapan syariah secara kafah dalam bingkai khilafah. Sehingga kekayaan alam berupa tambang dan kekayaan alam lainnya mampu terkelola dengan benar dan hasilnya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat, bukan hanya oleh segelintir orang maupun kelembagaan.

Wallahu alam bishshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak