Oleh: Hasriyana, S.Pd
(Pemerhati Sosial Asal Konawe)
Di tahun ini pemerintah mengadang-ngadang harga beras naik lagi. Padahal sebelum masuk bulan ramadan lalu saja harga beras naik sampai dikisaran 1 juta per 50 kg sudah sangat memberatkan masyarakat. Apalagi jika bulan ini terealisasi harga eceran tertinggi yang baru ditetapkan pemerintah akan semakin membebani rakyat dalam memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.
Sebagaimana yang dikutip dari Kompas, 11-06-2024, Badan Pangan Nasional atau Bapanas memperkirakan harga beras akan naik dalam dua hingga tiga bulan ke depan. Hal ini terjadi lantaran produksi beras nasional pada tahun ini turun signifikan dibandingkan tahun lalu. Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi, Senin (10/6/2024), mengatakan, produksi beras nasional pada pada tahun ini turun signifikan dibandingkan tahun lalu. Hal itu menyebabkan surplus neraca produksi-konsumsi beras tahun ini jauh lebih rendah dibandingkan tahun lalu.
Merujuk Neraca Produksi-Konsumsi Beras 2023-2024, total produksi beras nasional pada Januari-Juli 2024 diperkirakan sebesar 18,64 juta ton. Volume produksi beras itu turun 2,47 juta ton dibandingkan Januari-Juli 2023 yang sebanyak 21,11 juta ton. Dengan total konsumsi beras nasional sebanyak 18 juta ton pada Januari-Juli 2024, surplus beras pada periode tersebut hanya sebanyak 0,65 juta ton. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu surplus beras nasional sebesar 3,29 juta ton.
Penyesuaian harga eceran tertinggi beras tidak terpisahkan dari upaya stabilisasi pasokan dan harga beras. Namun benarkah dengan mematok HET beras semakin naik akan menguntungkan masyarakat, baik yang ada di hulu maupun di hilir. Karena faktanya masyarakat selalu saja dikalahkan dengan para tengkulak bermodal besar yang punya kendali besar pula.
Pun jika dilihat selama ini pada sektor hulu, para petani masih banyak kesulitan mendapatkan bibit yang baik lagi murah. Pupuk yang bisa dijangkau harganya hingga peralatan produksi yang memadai. Karena seolah pemerintah berlepas tangan untuk membantu. Jikapun ada bantuan dari pemerintah, itu pun masih minim didapatkan oleh petani.
Di sisi lain distribusi, kebanyakan yang mengambil peran di dalamnya adalah para pengusaha besar yang mana mereka punya modal yang besar pula. Sehingga harga beras yang ada di masyarakat ditentukan oleh para penguasa besar tersebut, karena mereka juga yang menguasai sektor produksi. Sehingga ketika HET itu akan naik, justru yang banyak diuntungkan adalah para pemodal besar.
Hal ini berbeda jauh dari sistem Islam, di mana semua sektor baik hulu maupun hilir negara hadir dalam mengaturnya. Dalam sektor hulu negara akan membantu petani menyediakan bibit padi unggul yang baik, memberikan pupuk yang baik jikapun tidak gratis diberikan, namun harganya bisa dijangkau oleh petani.
Pada peralatan produksi pemerintah pun akan turut membantu petani sehingga menghasilkan beras yang berkualitas.
Selain itu, pada sektor hilir pemerintah akan mengatur dalam mendistribusikan beras dengan baik dan merata sehingga semua masyarakat bisa mendapatkan beras dengan mudah.
Negara dalam sistem Islam tidak memberikan peluang pada pengusaha besar untuk menguasai semua sektor produksi dan distribusi. Sehingga tidak akan kita temukan pihak-pihak yang menimbun beras untuk kepentingan pribadi demi mendapatkan keuntungan yang besar.
Oleh karena itu, kita tidak bisa berharap pada sistem saat ini yang peluang menguasai dari hulu hingga hilir oleh pengusaha begitu besar dan terbuka lebar, sehingga wajar yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Dari itu, sungguh umat ini mendamba sistem yang aturannya mampu menyejahterakan semua rakyat. Sistem tersebut adalah sistem islam yang diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan yang jelas akan mendatangkan rahmat bagi seluruh alam. Wallahualam.