Penulis: Ilmi Mumtahanah
Data tahun 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa hampir 10 juta penduduk Indonesia generasi Z berusia 15-24 tahun menganggur atau tanpa kegiatan (not in employment, education, and training/NEET). Bila dirinci lebih lanjut, anak muda yang paling banyak masuk dalam ketegori NEET justru ada di daerah perkotaan yakni sebanyak 5,2 juta orang dan 4,6 juta di pedesaan. (Kompas.com, 24-5-2024).
Fenomena maraknya pengangguran di kalangan Gen Z menjadi ancaman serius bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045. Lantas, status NEET ini disebabkan oleh gen Z yang tidak siap bergelut di dunia kerja atau memang kurangnya lapangan pekerjaan yang disiapkan negara?
Etos Kerja Gen Z
Generasi muda dengan status NEET tersebut adalah Gen Z, yaitu generasi yang lahir pada rentang 1997—2012. Kini mereka berusia 12—27 tahun. Persentase generasi muda Indonesia usia 15—24 tahun yang berstatus NEET mencapai 22,25% dari total penduduk usia 15—24 tahun secara nasional.
Artinya, dari 100 orang penduduk muda, ada 22 orang yang tanpa kegiatan. Generasi muda ini merasa putus asa karena berbagai penolakan yang mereka terima. Lantas mereka tidak percaya diri untuk lanjut melamar kerja sehingga tergolong NEET. (CNBC Indonesia, 21-5-2024).
Menurut survei yang dilakukan ResumeBuilder , 74% manajer menggambarkan Gen Z sebagai “generasi yang paling menantang untuk diajak bekerja sama.” Mereka menunjukkan kurangnya usaha, motivasi, dan, yang mengejutkan, keterampilan teknologi, yang menyebabkan tingkat pemecatan lebih tinggi.
Namun, para pemimpin yang berpartisipasi dalam survei ini juga menilai mereka sangat inovatif dan mudah beradaptasi.
Perihal etos kerja sendiri, sepertinya ada kekeliruan dalam penilaian terhadap Gen Z. Hingga saat ini rata-rata tongkat komando kekuasaan baik di sektor swasta ataupun institusi negara dipegang oleh kalangan baby boomer dan milenial. Alhasil, nilai yang dipegang, pandangan, dan cara penilaian terhadap etos kerja jauh berbeda.
Jadi, sebenarnya, gen Z ini bisa berdaya dengan caranya sendiri. Tinggal bagaimana negara memfasilitasi proses penyelenggaraan potensi kerja mereka.
Ketersediaan Lapangan Kerja
Terjadinya pengangguran disebabkan oleh ketimpangan antara penawaran tenaga kerja dan kebutuhan, kebijakan pemerintah yang cenderung tidak berpihak kepada rakyat, dan pengembangan sektor ekonomi nonriil.
Belum lagi, sistem pendidikan Indonesia yang tidak fokus pada persoalan praktis yang dibutuhkan dalam kehidupan dan dunia kerja, sehingga pada akhirnya lahirlah pengangguran-pengangguran intelek.
Perekrutan PNS 2018 lalu memperlihatkan ketimpangan ini. Bagaimana tidak, besarnya jumlah pelamar tidak berbanding lurus dengan kuota yang ada. Badan Kepegawaian Negara (BKN) mencatat 2,5 juta orang telah mendaftar sebagai calon pegawai negeri sipil, sementara kursi yang tersedia hanya ratusan ribu. Lain lagi pada 2020 lalu, kuota kursinya memang banyak, tetapi syaratnya terlalu berat. Apalagi bagi mereka yang mengadu nasib lewat jalur PPPK.
Selain itu, banyak kebijakan pemerintah yang cenderung tidak memihak rakyat. Kenaikan bahan pokok, kelangkaan minyak goreng, atau tingginya aktivitas impor, semua itu secara tidak langsung memicu tingkat kenaikan pengangguran.
Kebijakan pemerintah yang lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi bukan pemerataan juga mengakibatkan ketimpangan dan pengangguran. Banyaknya pembukaan industri tanpa memperhatikan dampak lingkungan telah mengakibatkan pencemaran dan mematikan lapangan kerja yang sudah ada.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, transaksi yang terjadi memang menjadikan uang sebagai komoditas yang disebut sektor nonriil, seperti bursa efek dan saham perbankan sistem riba maupun asuransi. Sektor ini tumbuh pesat. Nilai transaksinya bisa mencapai 10 kali lipat daripada sektor riil.
Pertumbuhan uang beredar yang jauh lebih cepat daripada sektor riil mendorong inflasi dan penggelembungan harga aset sehingga menyebabkan turunnya produksi dan investasi di sektor riil. Akibatnya, hal itu mendorong kebangkrutan perusahaan dan PHK, serta pengangguran.
Perlu digarisbawahi, banyaknya pengangguran menunjukkan adanya keterbatasan lapangan kerja. Apalagi adanya kebijakan negara memudahkan investor asing dan pekerjanya berusaha di Indonesia, termasuk dalam mengelola SDA, merupakan tindakan yang makin menyulitkan warga pribumi mendapatkan pekerjaan.
Penganggaran secara mandiri oleh pemerintah daerah (pemda) dalam hal penyediaan lapangan kerja juga turut mengambil peran tingginya tingkat pengangguran. Sebenarnya, seberapa genting pemda merekrut perusahaan asing sebagai partner kerja? Pemda dan pemerintah pusat terkesan lepas tangan dalam mengurusi urusan rakyat. Mengapa harus melibatkan perusahaan asing dalam penyediaan lapangan kerja bagi warga lokal? Bukankah itu makin memberi ruang bagi pihak luar untuk mendikte urusan “dapur” negara?
Toh, diakui atau tidak, investasi memang rawan terhadap intervensi. Diakui atau tidak, perekonomian keluarga yang sulit saat ini tidak lepas dari membludaknya investasi dan utang yang melanda negeri. Meski ekonomi kita disebut masih aman, bahkan terjadi peningkatan, tetapi faktanya adalah kehidupan justru makin sempit. Pendapatan cenderung stagnan, sedangkan pengeluaran terus meningkat.
Solusi Islam
Bekerja merupakan salah satu wasilah guna memenuhi kebutuhan hidup sehingga Islam telah memberikan rambu-rambu terkait hal tersebut. Islam mewajibkan dan mendorong kepada setiap laki-laki untuk bekerja memenuhi kebutuhan serta orang-orang yang menjadi tanggungannya. Tentunya dengan pekerjaaan yang halal.
Dalam mekanisme ini, negara secara langsung memberikan pemahaman kepada individu, terutama melalui sistem pendidikan, tentang wajibnya bekerja dan kedudukan orang-orang yang bekerja di hadapan Allah Swt. Tidak lupa, memberikan keterampilan dan modal bagi mereka yang membutuhkan.
Banyak nash Al-Qur'an maupun sunah yang memberikan dorongan kepada individu untuk bekerja. Misalnya, firman Allah Swt. dalam QS Al-Mulk ayat 15, “Berjalanlah kalian di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekinya.”
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, IV/478, menyatakan, “Maksudnya, bepergianlah kalian semua ke daerah di bumi manapun yang kalian kehendaki, dan bertebaranlah di berbagai bagiannya untuk melakukan beraneka ragam pekerjaan dan perdagangan.”
Pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan serapan tenaga kerja tanpa melupakan tujuan mencetak generasi yang berilmu tinggi sebagai pembangun peradaban yang mulia.
Generasi muda dalam Khilafah bisa memilih, apakah setelah lulus pendidikan dasar (ibtidaiah, mutawasithah, dan sanawiah) memutuskan bekerja sesuai kompetensinya karena sistem pendidikan sudah mendidik mereka menjadi orang yang memiliki kompetensi tertentu, atau mereka kuliah di perguruan tinggi karena negara menggratiskannya hingga level pendidikan tertinggi, yaitu doktoral (S3) yang mencetak para pakar. Itulah jaminan negara agar generasi mudanya tidak mengganggur.
Tidak hanya itu, negara pun bertanggung jawab untuk membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi masyarakat. Memastikan orang yang mampu secara fisik untuk bekerja. Rasulullah saw. telah mengingatkan kepada setiap peminpin untuk tidak lalai dari tanggung jawab ini. “Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Ahmad)
Dalam iklim investasi dan usaha, Khalifah akan menciptakn iklim yang merangsang untuk membuka usaha melalui birokrasi yang sederhana dan penghapusan pajak serta melindungi industri dari persaingan yang tidak sehat. Sungguh, akan menjadi solusi bagi permasalahan di negeri ini jika saja penguasa mau mengadopsi aturan Islam dalam mengelola sistem kehidupan. Wallahualam.