Akankah UU KAI Menjadi Solusi Pekerja Perempuan ?




Oleh : Sri Setyowati
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)



Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan, telah disahkan menjadi undang-undang. Kebijakan ini diputuskan dalam rapat paripurna DPR RI Ke-19 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024, Selasa (4/6/2024). Kebijakan ini turut mengatur tentang kewajiban pemerintah memberikan bantuan hukum untuk ibu yang tidak mendapatkan haknya yaitu upah atau gaji oleh perusahaan tempat bekerja selama cuti melahirkan.

Dalam pasal 3 ayat 5 disebutkan "Dalam hal Ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberhentikan dari pekerjaannya dan atau tidak memperoleh haknya, Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah memberikan bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." Kemudian dalam pasal 5 Ayat 1 dijelaskan setiap ibu yang melaksanakan cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Selanjutnya, pada ayat 2 diatur juga setiap ibu yang melakukan cuti melahirkan berhak mendapatkan upah secara penuh untuk tiga bulan pertama dan secara penuh untuk bulan keempat. Kemudian, pada 75% dari upah untuk bulan kelima dan bulan keenam. (tirto.id, 07/06/2024)

Pengesahan RUU KIA menjadi UU dianggap akan membawa harapan baik bagi perempuan untuk dapat tetap berkarir karena mendapat cuti dan tetap bisa tenang bekerja, sehingga menguatkan pemberdayaan ekonomi perempuan sebagaimana paradigma kapitalisme bahwa perempuan produktif adalah perempuan yang bekerja. Namun, cuti 6 bulan tidaklah cukup untuk mendampingi anak karena anak membutuhkan pengasuhan terbaik dari ibu hingga mumayyiz.

Disisi lain, seorang pekerja yang cuti tentu tidak bisa memberikan kontribusi pada pekerjaannya, tetapi tetap digaji. Tentu saja pemilik usaha merasa keberatan karena dianggap merugikan pemilik usaha. Terjadilah dilema, satu pihak diuntungkan, pihak yang lain merasa dirugikan. Itulah yang terjadi, bila manusia yang membuat aturan.

Bila kita telaah lebih dalam, permasalahannya adalah diterapkannya sistem sekuler kapitalisme yang mengakibatkan berbagai kesulitan. Negara tidak berperan  sebagai penanggung jawab rakyatnya. Kewajiban negara dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya seperti kebutuhan pendidikan, kesehatan dan lainnya tidak dijalankan, sehingga beban tersebut menjadi beban individu dan keluarga. Ditambah lagi asumsi dalam masyarakat bahwa kesetaraan dan keterlibatan perempuan dalam sektor ekonomi akan meningkatkan kesejahteraan. Namun kesetaraan yang digadang-gadang itu justru akan menyesatkan dan memalingkan peran perempuan dari fungsi utamanya sebagai ibu dan pendidik generasi.

Islam sangat memperhatikan kesejahteraan ibu dan anak demi berjalannya fungsi strategis dan politis peran keibuan dan membangun profil generasi cemerlang. Sistem ekonomi Islam menjamin tercapainya kesejahteraan rakyat termasuk perempuan tanpa meletakkan kewajiban mencari nafkah pada perempuan. Islam memuliakan perempuan dengan semua peran fitrahnya, bukan dari berapa banyak uang yang dihasilkan.

Keberlangsungan pemenuhan hak-hak mendasarnya memang dijamin oleh negara, baik kebutuhan ekonominya, pendidikan, kesehatan maupun keselamatan diri dan jiwanya. Jaminan ini terus berlangsung hingga anak tumbuh dewasa.

Terkait pemenuhan kesejahteraan dalam konteks keluarga bahwa Islam telah membebankannya kepada ayah untuk mencari nafkah. Allah SWT telah berfirman yang artinya, "Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli waris pun seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Baqarah[2] : 233)

Ketika ayah tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya, kewajiban akan jatuh pada ahli waris dan kerabat terdekatnya. Jika diantara mereka tidak ada yang mampu, maka negara yang akan menanggungnya. Apabila ada yang mengabaikan kewajiban nafkah sementara ia mampu, maka negara berhak memaksanya. Dengan demikian, menjadi ibu tidak lagi dipusingkan dengan segala kesempitan ekonomi, beban ganda, tindak kekerasan dan pengaruh buruk lingkungan yang akan merusak keimanan dan akhlak diri dan anak-anaknya karena telah dijamin pemenuhannya oleh negara melalui penerapan seluruh hukum Islam yang satu sama lain saling mengukuhkan.

Hanya dengan sistem Islam kemuliaan perempuan dapat terjaga, karena aturannya datang dari sang Maha Pencipta 

Wallahu a'lam bi ash-shawab 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak