Oleh : Bunda Twins
Di tengah mahalnya harga beras hingga membuat warga harus antri panjang ketika ada pasar murah sembako, kini tarif listrik dikabarkan akan mengalami kenaikan.
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah menetapkan tarif listrik untuk Maret 2024. Tarif listrik Maret ditetapkan bersamaan dengan pengumuman tarif listrik triwulan I pada Januari-Maret 2024.
Hal ini disampaikam Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Jisman P Hutajulu. Dia mengatakan, pemerintah punya pertimbangan dalam penetapan tarif listrik Januari-Maret 2024.
"Tarif listrik Januari sampai Maret 2024 diputuskan tetap untuk menjaga daya saing pelaku usaha, menjaga daya beli masyarakat dan menjaga tingkat inflasi di tahun yang baru," ujar Jisman pada Desember 2023.
Kebijakan untuk tidak mengubah tarif listrik pada Januari-Maret 2024 berlaku bagi 13 pelanggan nonsubsidi dan 25 golongan pelanggan bersubsidi. Penetapan tarif listrik Januari-Maret 2024 sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 8.
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam penetapan tarif listrik, seperti nilai tukar mata uang dollar AS terhadap mata uang rupiah (kurs), Indonesian Crude Price, inflasi dan/atau harga batu bara acuan.
Merujuk beberapa faktor tersebut, parameter ekonomi makro yang digunakan pada triwulan I 2024 adalah realisasi pada bulan Agustus, September, dan Oktober Tahun 2023. Parameter yang digunakan terdiri dari kurs sebesar Rp 15.446,85/dollar AS, ICP sebesar 86,49 dollar AS/barrel, inflasi sebesar 0,11 persen, dan HBA sebesar 70 dollar AS/ton sesuai kebijakan DMO batu bara.
_ _
Kapitalisasi dan Privatisasi SDA Sumber Masalahnya.
_ _
Mengacu pada Peraturan Menteri ESDM yang menyebutkan setiap tiga bulan selalu ada penyesuaian TDL, maka rakyat jangan senang dahulu jika TDL tidak naik. Apalagi pemerintah tidak menjamin setelah Juni 2024 akan melanjutkan kebijakan menaikkan TDL atau tidak.
Selama ini, jika ada kenaikan TDL, belum ada ceritanya setelah naik, tarif listrik mengalami penurunan harga. Apalagi jika dikaitkan dengan defisit APBN yang disinggung Menko Perekonomian. Pernyataan itu seolah menyiratkan, jika tidak menaikkan TDL, APBN akan terbebani sehingga masyarakat harus mengerti andai kata pemerintah memutuskan menaikkan TDL—yang katanya demi mengurangi defisit APBN.
Inilah di antara dampak sumber energi listrik, seperti batu bara diprivatisasi dan dikapitalisasi. Akibatnya, perusahaan negara—yang dalam hal ini PLN—harus ngoyoh membeli bahan bakar listrik tersebut kepada swasta. Si “emas hitam” yang dikeruk dari perut bumi Indonesia ini merupakan bahan bakar sumber daya listrik yang sangat penting. Pada 2023 saja, kebutuhan batu bara mencapai 161,2 juta ton, terdiri dari 83 juta ton untuk kebutuhan PLTU milik PLN dan 78,2 juta ton untuk PLTU milik swasta (independent power producer/IPP) di seluruh Indonesia.
Kondisi ini membuat PLN harus memutar otak untuk mendapatkan pasokan batu bara dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Di sisi lain, banyak perusahaan swasta yang menguasai emas hitam ini. Coba bayangkan, seandainya tambang batu bara yang sangat besar potensinya ini dikelola oleh negara, lalu disalurkan melalui PLN, bukankah tarif listrik yang sampai kepada masyarakat tidak perlu mengalami kenaikan signifikan dari tahun ke tahun?
Kita punya sumber energi listrik, tetapi malah dikuasai swasta. Pada akhirnya, negara harus membeli batu bara yang sudah menjadi milik swasta untuk memenuhi pasokan listrik dalam negeri. Jika seperti ini, mustahil tarif listrik bisa murah.
Dalam sistem kapitalisme, SDA yang melimpah bisa dimiliki satu individu asalkan memiliki modal. Kekayaan milik rakyat diperjualbelikan, rakyat pun terkena imbasnya. Listrik harus bayar, BBM juga berbayar. Kalaupun ada subsidi, malah disangka membebani APBN.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Beginilah nasib rakyat, tidak kunjung mujur akibat negara tidak ada gereget melindungi SDA, malah membiarkannya dieksploitasi dan diswastanisasi atas nama liberalisasi. Inilah sebab segala hal yang menyangkut kemaslahatan publik sering kali tidak gratis, bahkan tarifnya cenderung naik signifikan.
Jika tarif listrik, BBM, dan bahan pangan harganya murah, serta kesehatan dan pendidikan terjamin secara gratis, rakyat tidak perlu capek ke sana kemari mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan pokok tersebut. Sayangnya, dalam sistem kapitalisme, hal itu tidak terjadi. Semua kebutuhan vital mengalami kenaikan, sedangkan pendapatan tetap. Inilah yang akan memicu kenaikan angka kemiskinan, pengangguran, masalah sosial, bahkan kriminalitas. Lantas, bagaimana Islam memandang fakta ini?
_ _
Pandangan Islam Dalam Mengelola SDA
_ _
Dalam sistem kapitalisme liberal, negara dengan keberlimpahan SDA lebih terlihat merana dibandingkan bahagia. Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM, cadangan batu bara di Indonesia masih terhitung cukup besar, yakni sekitar 99,19 miliar ton dan cadangan sebesar 35,02 miliar ton. Jika produksi batu bara Indonesia diasumsikan 700 juta ton per tahun, cadangan batu bara baru Indonesia diproyeksi masih bisa dipakai hingga 47—50 tahun ke depan. Bahkan jika batu bara RI dipakai sendiri untuk kebutuhan dalam negeri, yakni dengan estimasi 200 jutaan ton per tahun, plus kalkulasi tren peningkatan kendaraan listrik (electric vehicle/EV), maka umur cadangan batu bara Indonesia bisa sampai 150 tahun.
Selain batu bara, terdapat banyak sumber energi lainnya yang bisa dimanfaatkan, seperti energi nuklir, angin, dan laut. Indonesia memiliki potensi sekitar 90 ribu ton uranium dan 140 ribu ton torium. Melansir dari Outlook Energi Indonesia 2022 yang dirilis Dewan Energi Nasional (DEN), Indonesia memiliki potensi energi angin atau bayu mencapai 154,9 gigawatt (GW). Potensi energi panas laut di seluruh perairan Indonesia secara total diprediksi menghasilkan daya sekitar 240 gigawatt (GW).
Dengan keberlimpahan ini sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik setiap warga. Kecukupan ini akan terwujud manakala kekayaan alam yang menguasai hajat publik ini terkelola dengan pandangan syariat Islam, termasuk jika penggunaan listrik beralih ke energi ramah lingkungan.
Asal tidak diswastanisasi, mau sumber energi batu bara atau lainnya, pasti berbiaya murah. Sayangnya, liberalisasi sumber energi dan layanan listrik menihilkan peran negara sebagai penanggung jawab utama.
Dalam Islam, listrik merupakan harta kepemilikan umum. Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yakni padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Listrik menghasilkan aliran energi panas (api) yang dapat menyalakan barang elektronik. Dalam hal ini, listrik termasuk kategori “api” yang disebutkan dalam hadis tersebut.
Batu bara yang merupakan bahan pembangkit listrik, termasuk dalam barang tambang yang jumlahnya sangat besar. Atas barang tambang yang depositnya banyak, haram hukumnya dikelola oleh individu atau swasta.
Rasulullah ﷺ bersabda, diriwayatkan Abyadh bin Hammal al-Mazaniy, “Sesungguhnya ia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka, beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majelis, ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir.’ Akhirnya beliau bersabda, ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya.’” (HR Tirmidzi).
Tindakan Rasulullah ﷺ yang meminta kembali (tambang) garam setelah mengetahui jumlahnya sangat banyak dan tidak terbatas adalah dalil larangan individu memiliki barang tambang. Larangan tersebut tidak terbatas pada (tambang) garam, tetapi meliputi setiap barang tambang apa pun jenisnya dengan syarat jumlahnya banyak laksana air mengalir.
Pengelolaan sumber pembangkit listrik, yaitu batu bara, serta layanan listrik—dalam hal ini PLN—haruslah berada di tangan negara. Individu atau swasta tidak boleh mengelolanya dengan alasan apa pun.
Untuk memenuhi kebutuhan listrik, negara dengan sistem Islam kafah (Khilafah) bisa menempuh beberapa kebijakan, yakni :
1) Membangun sarana dan fasilitas pembangkit listrik yang memadai.
2) Melakukan eksplorasi bahan bakar listrik secara mandiri.
3) Mendistribusikan pasokan listrik kepada rakyat dengan harga murah.
4) Mengambil keuntungan pengelolaan sumber energi listrik atau lainnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, sandang, pangan, dan papan.
Demikianlah, dengan pengelolaan listrik berdasarkan syariat Islam, rakyat dapat merasakan kekayaan alam yang mereka miliki untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam kehidupan sehari-hari. Listrik murah bukan sesuatu yang mustahil terwujud.
Wallohu'alam Bishowab
Tags
Opini