Solusi Islam dalam Menanggulangi Maraknya PGOT di Lubuk Linggau



Oleh : Luky Anja Kusuma Dewi, S.Si.
 (Aktivis Dakwah Lubuklinggau)



Jika kita perhatikan hampir di setiap lampu merah dapat dijumpai pengemis, manusia silver, badut, anak punk dll. Menurut informasi yang didapat oleh Satpol PP di berita linggaupos.co.id pengemis anak di Lubuklinggau ternyata setor ke seseorang. 
Kasi Ops Sat Pol PP Kota Lubuklinggau Taat menjelaskan, mereka disuruh mengemis oleh orang lain. Kemudian orang tersebut datang mengambil setoran setiap hari, mereka menyetor masing-masing Rp 25 ribu setiap hari.

"Pengemis, gepeng, pengamen, manusia silver maupun anak pank sering ditertibkan, namun mereka tidak kapok, kembali lagi meminta-minta di jalan," ujarnya.

Selama ini Dinas Sosial tidak dapat melakukan penampungan terhadap anak jalanan dan pengemis yang terjaring penertiban, karena keterbatasan anggaran. Mereka yang terjaring razia hanya dilakukan pendataan dan selanjutnya dipulangkan ke tempat asal masing-masing.

Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang klasik dan telah melekat pada kehidupan masyarakat, selain faktor minimnya jumlah lapangan pekerjaan, faktor pendidikan juga berpengaruh cukup besar.

Menurut Jurnal Kusmiyati, (2017) Mengemis Sebagai Sumber Penghasilan Utama (Studi Kasus pada Pengemis di Komplek Makam Sunan Gunung Jati Cirebon). Faktor yang melatar belakangi mengemis dijadikan sumber penghasilan utama dapat diklasifikasikan menjadi empat faktor yaitu

1. Persepsi, bahwa mereka berpersepsi mengemis adalah pekerjaan yang menyenangkan dan tidak membutuhkan modal banyak. 

2. Motivasi, motivasi mereka agar mendapatkan suatu hal seperti kebutuhan hidup sehari-hari hingga kebutuhan tersier namun mereka mendapatkan uang dengan cara mengemis dan meminta belas kasihan orang lain. 

3. Emosi, para pengemis sudah terbentuk sebuah emosi bahwa mengemis bukanlah pekerjaan yang memalukan dibandingkan dengan pekerjaa lain yang hanya lelahnya saja dan tidak mendapatkan uang banyak meski sudah bekerja seharian 

4. Belajar, faktor yang terakhir yaitu belajar. Disini para pengemis memang sudah dicontohkan oleh orang tuanya untuk mengemis juga yang sejak kecil dibawa mengemis dan akhirnya seorang anak akan melihat kebiasaan yang dilakukan orang tua atau lingkungannya. Kebanyakan dari mereka hanya memikirkan ganjaran (reward) yang mereka peroleh dari hasil mengemis tersebut namun tidak memikirkan hal buruk yang ditimbulkan dan mengesampingkan sanksi sosial yang akan melekat pada mereka.
Sebenarnya, bagaimana hukum Islam tentang mengemis atau meminta-minta ini?

Pandangan Islam

Mengemis atau meminta-minta dalam bahasa Arab disebut “tasawwul ”. Dalam Al-Mu’jam al-Wasith disebutkan, “Tasawwala (bentuk fi’il madhi dari tasawwul) artinya meminta-minta atau meminta pemberian.” 

Sebagian ulama mendefinisikan “tasawwul” (mengemis) dengan ‘upaya meminta harta orang lain bukan untuk kemaslahatan agama, melainkan untuk kepentingan pribadi’. 

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Perkataan Al-Bukhari (Bab ‘Menjaga Diri dari Meminta-minta’) maksudnya adalah meminta-minta sesuatu selain untuk kemaslahatan agama.” 
Jadi, berdasarkan pendapat para ulama, batasan tasawwul adalah meminta untuk kepentingan diri sendiri, bukan untuk kemaslahatan agama atau kepentingan kaum muslim.

Meminta-minta atau mengemis pada dasarnya tidak dianjurkan Islam. Terlebih, apabila melakukannya dengan cara menipu atau berdusta dengan menampakkan dirinya seakan-akan orang yang sedang sangat kesulitan ekonomi atau membutuhkan biaya untuk kebutuhan tertentu, maka hukumnya haram. 

Di antara dalil syara' yang menunjukkan haramnya mengemis dan meminta-minta adalah hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,

مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya.”

Keutamaan Tidak Meminta-minta dan Anjuran untuk Berusaha

Dalam hadisnya, Nabi saw. menganjurkan kita untuk berusaha dan mencari nafkah, apa pun bentuknya, selama halal dan baik, tidak ada syubhat, tidak ada keharaman, dan tidak dengan meminta-minta. 

Kita juga disunnahkan untuk ta’affuf (memelihara diri dari minta-minta), sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya, “(Apa yang kamu infakkan adalah) untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga ia tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari minta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak minta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 273)

Fenomena PGOT adalah akibat dari belum tersentuhnya pelayanan sosial atau pengurusan kebutuhan dasar warga. “Padahal sejatinya, Pasal 34 UUD’45 menyatakan ‘Fakir Miskin dan Anak-Anak terlantar dipelihara oleh Negara’. Selanjutnya Pasal 27 Ayat (2) menyatakan, ‘Bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan'.
Amanah konstitusi tersebut, seharusnya menjadi landasan hukum bagi pemerintah Indonesia untuk menjamin kebutuhan dasar warga negara termasuk menyediakan akses pekerjaan yang lebih luas bagi warga negara guna mencegah fenomena PGOT.

Sejatinya, yang terjadi di Indonesia adalah kemiskinan struktural, yakni kemiskinan yang dialami oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat yang tidak bisa ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka (Selo Soemardjan, 1980). Alhasil, kemiskinan terjadi karena salah urus oleh negara, yakni sistem yang diterapkan negara gagal mewujudkan kesejahteraan.

Penerapan sistem ekonomi kapitalisme telah menjadikan sumber daya alam dikuasai para kapitalis sehingga kekayaan berputar pada segelintir orang saja. Sementara itu, mayoritas rakyat tetap miskin. Rakyat tidak mampu mengakses sumber daya alam yang melimpah.
Meski sudah bekerja keras, rakyat tetap saja miskin. 

Ini terjadi pada masyarakat secara umum. Adapun pada golongan lemah, seperti perempuan, lansia, penyandang disabilitas, dan warga pelosok, kemiskinan terjadi dalam level yang ekstrem.
Oleh karenanya, selama sistem kapitalisme masih diterapkan di Indonesia, kemiskinan tidak akan terselesaikan. Kebijakan bantuan sosial dengan pemberian uang ataupun modal usaha tidak efektif menghapus kemiskinan ekstrem karena hanya merupakan kebijakan tambal sulam. Sedangkan masalah utamanya, yaitu ketimpangan ekonomi, tidak terselesaikan. Kondisi ini berkebalikan dengan sistem Islam.

Jaminan Islam Menyeluruh

Kemiskinan, pada hakikatnya, adalah tidak terpenuhinya kebutuhan primer manusia. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer dalam Islam sangat berbeda dengan kebijakan tambal sulam pada sistem kapitalisme. Politik ekonomi Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan primer pada tiap-tiap individu secara menyeluruh dan membantu tiap-tiap individu di antara mereka dalam memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuannya. Dengan demikian, jaminan pemenuhan kebutuhan primer merupakan dasar politik ekonomi Islam. (Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam).

Di samping kewajiban bekerja bagi laki-laki yang mampu, Syara' mewajibkan pemberian nafkah sebagai berikut, yakni suami kepada istri, ayah kepada anak-anaknya, anak kepada orang tuanya, dan keluarga dekat kepada keluarga dekat yang menjadi tanggungannya.

Dengan menjamin pemberian nafkah kepada istri, anak, orang tua, dan keluarga dekat, pemenuhan kebutuhan primer tiap-tiap individu benar-benar terjamin, kecuali orang yang tidak punya keluarga dekat dan yang tidak mampu mencari nafkah. Jika pada dua pihak ini tidak ada seorang pun yang menafkahinya, Syara' mewajibkan baitulmal (negara) untuk menafkahinya.

Yang termasuk bagian dari jaminan pemenuhan kebutuhan primer jenis pangan adalah apa-apa yang dibutuhkan untuk pangan, seperti peralatan dapur, bahan untuk memasak, lemari, dan sebagainya. Adapun yang termasuk tempat tinggal (papan) adalah apa-apa yang diperlukan untuk tempat tinggal, seperti tempat tidur, perabotan, dan sebagainya. Yang termasuk sandang adalah pakaian, peralatan berhias, cermin, lemari, dan sebagainya.

Untuk jaminan pemenuhan kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan (pendidikan, kesehatan, dan keamanan), syarak telah menetapkan pemenuhannya kepada negara secara langsung. Terkait jaminan keamanan terealisasi dalam hukum-hukum terkait jihad untuk melindungi negara dari serangan eksternal dan penerapan sistem sanksi di dalam negeri. 

Adapun pendidikan, Rasulullah saw. telah mencontohkan, beliau saw. menentukan tebusan tawanan Perang Badar berupa keharusan mengajar sepuluh anak-anak kaum muslim. Umar bin Khaththab memberi gaji kepada guru yang ada di Madinah sebesar 15 dinar setiap bulan. Terkait kesehatan, Rasulullah saw. pernah dihadiahi dokter, lalu beliau menjadikannya untuk kaum muslim.
Semua ini membuktikan bahwa pemenuhan kebutuhan primer, berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan, merupakan kewajiban negara. Ketiga hal tersebut (pendidikan, kesehatan, dan keamanan) disediakan oleh negara secara gratis untuk semua rakyat, tanpa diskriminasi.

Sumber Pendanaan

Lantas dari mana sumber dana baitulmal untuk membiayai jaminan pemenuhan kebutuhan primer tersebut? Syekh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Muqaddimah ad-Dustur Pasal 149 menyatakan, “Sumber pemasukan tetap baitulmal adalah fai, jizyah, kharaj, seperlima harta rikaz, dan zakat. Harta-harta ini diambil secara kontinu (tetap), sama saja apakah ada keperluan atau tidak.”
Dengan pengaturan yang integral tersebut, Khilafah akan mampu menjamin setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan primernya dan penghapusan kemiskinan ekstrem bukan lagi ilusi. 

Semua kondisi ini, bahkan yang lebih luas lagi, tidak semestinya kita biarkan terus terjadi. Bagaimanapun, dunia butuh perubahan hakiki sebagaimana Allah Ta’ala perintahkan kepada manusia untuk mengelola sesuai perintah dan larangan-Nya.

Allah berfirman, “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’” (QS Al-Baqarah [2]: 29—30).
Ayat di atas adalah legalitas bahwa pengaturan dunia dan seluruh isinya hanya layak dengan aturan Islam. Wallahualam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak