Si Manis Berujung Tragis, Mampukah Kebijakan Cukai Menjadi Solusi?

Oleh : Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)


Menjamurnya penjualan minuman dengan pemanis, dilirik sebagai kesempatan bisnis yang memberikan keuntungan menggiurkan. Kebijakan cukai pun diwacanakan akan ditetapkan. Demi mengerem jumlah produk minuman berpemanis yang beresiko menimbulkan diabetes. Lantas, betulkah solusi tersebut efektif?


Kebijakan Cukai Minuman Berpemanis

Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) diharapkan dapat diterapkan pada tahun 2024. Kebijakan cukai sebetulnya sudah ditetapkan sejak 2016 (cnbcindonesia.com, 24/2/2024). Pada tahun 2020, bulan Februari, Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyatakan kepada Komisi XI DPR RI bahwa potensi penerimaan dari cukai MBDK (Minuman Berpemanis dalam Kemasan) dapat mencapai Rp 6,25 triliun. Pendapatan negara dari penetapan kebijakan cukai menjadi salah satu harapan untuk mendongkrak pendapatan negara dari dalam negeri.

Salah satu tujuan utama penerapan cukai atau pajak pada minuman berpemanis, baik pemanis gula ataupun pemanis sintetis adalah demi menjaga kesehatan masyarakat. Demikian diungkapkan Direktur Promosi Kesehatan WHO saat itu soal minuman berpemanis yang kena cukai (CNNIndonesia.com, 2/8/2024). Tidak hanya itu, cukai minuman berpemanis pun menjadi senjata ampuh untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Alasannya sebagai sarana untuk mencegah penyakit degeneratif yang mulai marak saat ini. Salah satunya diabetes yang kini tidak pandang bulu. Tua ataupun muda rentan terkena diabetes karena pola makan dan minum yang tidak sehat. Tujuan lain penerapan cukai yakni demi memajukan pemerataan kesehatan dan memobilisasi pendapatan bagi negara-negara yang dapat mewujudkan kesehatan secara global.

Dalam dua puluh tahun terakhir, tercatat konsumsi MDBK masyarakat Indonesia meningkat signifikan. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menunjukkan adanya peningkatan konsumsi MBDK dari sekitar 51 juta liter pada 1996 menjadi 780 juta liter di 2014 (tirto.id, 5/2/2024). Sementara, Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara dengan konsumsi MDBK tertinggi di Asia Tenggara.

Berdasarkan hal tersebut, Indonesia pun akan segera menetapkan kebijakan cukai MBDK. Dengan harapan, penerapan cukai 20 persen pada minuman berpemanis mampu mengurangi pembelian dan konsumsi produk MBDK hingga 10 persen. Sehingga, secara tidak langsung dapat mengurangi kasus diabetes.

Rencana kebijakan penetapan cukai minuman berpemanis digadang-gadang mampu mengurangi laju penyakit diabetes yang kini kian marak.

Sebetulnya, solusi pencegahan penyakit diabetes tidak hanya sebatas pembatasan minuman berpemanis. Namun, membutuhkan solusi komprehensif terkait pola hidup sehat di tengah masyarakat. Dan jelas-jelas, penetapan bea cukai tidak mampu serta merta mengurangi konsumsi minuman berpemanis. Apalagi keadaan masyarakat yang kini serba kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Karena bahan makanan segar dan bergizi mahal harganya. Tidak ada pilihan lain, demi menyegarkan tubuh, dipilihlah minuman berpemanis dan berperisa untuk memenuhi kebutuhan pangan harian.

Namun sayang, masyarakat yang rendah edukasi dan literasi ini tidak mampu mengindera "pahitnya" dampak minuman berpemanis. Dan celah tersebut dijadikan kesempatan emas bagi para pebisnis kapitalis untuk menjajakan "kesegaran" palsu di tengah masyarakat.

Menyoal penetapan pajak cukai, konsep tersebut merupakan strategi negara kapitalisme untuk meningkatkan sumber pendapatan negara. Dan dianggap sebagai sesuatu yang menjanjikan. Walaupun faktanya tidak semulus harapan. Begitu banyak masalah besarnya penyelewengan pajak di negara-negara kapitalisme. Bahkan kepatuhan pajaknya pun dipertanyakan. Wajar saja, penetapan cukai pun menjadi sebuah solusi yang melahirkan banyak keraguan akan keberhasilannya.


Islam Menjaga Umat

Dalam sistem Islam, negara adalah satu-satunya institusi yang wajib menjaga rakyatnya secara utuh. Salah satunya menjaga kesehatan rakyat dengan menyeluruh. Karena negara, yakni khilafah bertindak sebagai ra'in (pemelihara) bagi setiap urusan rakyatnya. Demikian disabdakan Baginda Rasulullah SAW. dalam hadits Al Bukhori.

Khilafah selaku satu-satunya institusi pengurus umat, akan berupaya melayani dan menjaga kesehatan umat dengan berbagai strategi. Baik melalui pembuatan kebijakan dan aturan dalam industri, penyediaan sarana prasarana kesehatan yang memadai. Khilafah pun akan meningkatkan proses edukasi masyarakat dengan berkesinambungan mengenai kriteria pangan halal, thoyyib yang aman bagi kesehatan.

Mengenai kebijakan pajak, negara dengan basis sistem Islam, tidak akan menjadikan pajak sebagai sarana untuk mengatur distribusi barang. Namun, khilafah akan menetapkan kebijakan dengan melakukan pengawasan langsung terkait bahan makanan berbahaya di lapang. Negara akan menetapkan kebijakan pelarangan bagi industri-industri makanan dan minuman yang berpotensi mengancam kesehatan umat.

Demikianlah, khilafah mampu sempurna menjaga kesehatan umat secara menyeluruh.

Wallahu a'lam bisshowwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak