Oleh Arini Faiza
Pegiat Literasi
Massa Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) melakukan sujud syukur di depan gerbang gedung DPR RI. Hal Ini mereka lakukan sebagai bentuk rasa syukur karena demonstrasi yang mereka lakukan menuntut revisi Undang-Undang Desa akhirnya disetujui dan disahkan DPR. Dalam revisi tersebut ditetapkan masa jabatan Kades menjadi delapan tahun dan diperbolehkan dua periode. (kejakimpolnews.com, 06/02/2023)
Sebelumnya Undang-Undang Desa menetapkan masa jabatan Kades adalah enam tahun dan dapat dipilih tiga kali periode. Tuntutan revisi UU Desa dilakukan karena masa jabatan enam tahun dinilai terlalu singkat, kurang efektif dan boros anggaran. Sebab, konflik sosial di awal kemenangan menyebabkan masa jabatan efektif kades hanya sekitar dua hingga tiga tahun, sehingga pembangunan desa terhambat dan belum selesai, tetapi sudah harus ganti pemimpin.
Revisi UU Desa disinyalir sarat dengan kepentingan politik dan melanggengkan oligarki. Sebenarnya, indikator pembangunan desa tidak dinilai dari lamanya masa jabatan, tetapi diukur dari kinerja aparat desa. Unjuk rasa yang dilakukan oleh para Kades yang berujung pada disahkan revisi UU Desa mengindikasikan ada kepentingan politik pribadi, sebab sejauh ini tidak ada warga desa yang meminta perpanjangan masa jabatan Kades.
Banyak pihak mengkhawatirkan perpanjangan masa jabatan ini justru akan berpotensi terjadinya penyelewengan dan korupsi semakin besar, dan membenarkan rumor bahwa jabatan Kades merupakan lahan basah untuk meraup cuan. Data Indonesian Corruption Watch (ICW) dalam laporan hasil pemantauan penindakan korupsi semester I/2022, menunjukkan 134 dari 252 kasus yang terungkap adalah kasus penyalahgunaan anggaran, 62 dari 192 kasus menyasar pada desa. Pada 2021, angka korupsi desa meningkat secara konsisten dengan total tersangka 245 orang dari tahun sebelumnya (172 orang). (antaranews.com, 01/12/2022)
Bahkan desentralisasi yang tujuan awalnya untuk percepatan pembangunan desa, nyatanya hanya akan menghasilkan diktator daerah. Bayangkan jika kekuasaan daerah berkolaborasi dengan pusat, oligarki jelas makin menguat. Jika oligarki menguat, kebijakan zalim pun makin besar lantaran mereka bebas melakukan apa pun tanpa kontrol.
Sepintas, tuntutan masa jabatan ini terlihat sangat logis karena singkatnya masa jabatan bisa saja mementahkan program Kades sebelumnya. Begitu pula alasan pemborosan, jelas pilkades enam tahun sekali lebih boros daripada delapan tahun sekali. Akan tetapi, permasalahannya bukan terletak pada masa jabatan ataupun ada dan tidaknya pilkades, melainkan pada buruknya pengurusan pejabat desa pada warganya. Keburukan ini berpangkal pada sistem yang menaunginya yakni demokrasi sekuler. Dalam sistem ini mustahil lahir pemimpin yang amanah dan berpihak kepada rakyat, pasalnya para kandidat tidak dapat dipisahkan dari oligarki dan para pemilik modal. Kontestasi politik yang mahal mengharuskan keterlibatan pemilik harta dan oligarki. Usaha memperpanjang masa jabatan bukanlah untuk kepentingan rakyat tetapi untuk memperkaya diri sendiri dan memberikan fasilitas kepada para penyokongnya.
Ada beberapa alasan yang membuktikan bahwa sistem politik demokrasi menyebabkan para Kades gagal mengurusi umat. Antara lain, sistem demokrasi hanya akan menghasilkan para pejabat yang miskin visi. Mereka sekedar menetapkan kebijakan sesuai kepentingan diri dan partainya. Seluruh program kerja berjalan berdasarkan kepentingan pejabat, partai, dan penyumbang dana. Wajar jika pembangunannya tidak terfokus pada kepentingan rakyat. Pemilu yang lahir dari rahim sistem demokrasi sekuler menyebabkan para politisi tidak boleh membawa-bawa agama dalam berpolitik. Gratifikasi, suap, dan jenis korupsi lainnya juga tumbuh subur dan terpelihara. Kehidupan dunia menjadi satu-satunya tujuan, inilah yang menghilangkan empati dan nurani, tega menuntut kenaikan gaji dan fasilitas fantastis saat ada rakyatnya kesulitan memenuhi kebutuhan hidup yang serba mahal. Selain itu, ketimpangan pun kerap terjadi, daerah yang kaya SDA tentu lebih berpeluang maju daripada desa yang miskin SDA.
Lamanya masa jabatan tidak akan menjadi persoalan selama kekuasaan ditempatkan sebagai amanah dalam mengurus rakyat. Dan dilandasi atas kesadaran bahwa seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Paradigma seperti ini hanya ada dalam sistem politik Islam yang menjadikan syariat Islam sebagai pijakan dalam menetapkan aturan dan kebijakan.
Dalam Islam, seorang penguasa atau pemimpin adalah pelindung bagi rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya. Kelak di akhirat ia akan dimintai pertanggungjawaban, sebagaimana hadis Rasulullah saw.:
“Imam itu adalah laksana penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR Imam Bukhari dan Imam Ahmad)
Seorang pemimpin Islam wajib menjamin tercukupinya kebutuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan dan papan. Juga memenuhi segala kebutuhan kolektif berupa pendidikan, kesehatan dan keamanan. Sebab, kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menegakkan hukum Allah dan amar makruf nahi mungkar. Sistem pemerintahan dalam Islam sangat efektif dan efisien, menutup peluang diktatorisme, kesewenang-wenangan, ataupun dominasi kekuasaan oleh kelompok tertentu.
Rakyat maupun penguasa tidak diperbolehkan membuat hukum yang bisa dipergunakan untuk memaksa dan menindas orang lain. Adapun masa jabatan pemimpin Islam dan para bawahannya di beberapa wilayah (wali dan Amil) tidak dibatasi oleh waktu dan periode, melainkan dibatasi dengan hukum syariat. Khalifah dan para pemimpin tersebut boleh sebentar atau lama, ia boleh diberhentikan kapan saja jika terbukti melanggar syariat dan boleh menjabat hingga akhir hayat apabila taat pada syariat. Artinya yang membatasi masa jabatan adalah syariat tertentu, selama dia masih memenuhi syarat, maka ia bisa menjabat hingga meninggal atau sampai tidak memenuhi salah satu syarat sebagai penguasa kaum muslimin. Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan Rasulullah saw. bersabda:
“(Selama) ia masih memimpin kalian sesuai dengan Kitabullah maka ia wajib didengar dan ditaati.” (HR. Muslim)
Hanya dengan penerapan sistem Islam lah akan terlahir penguasa yang amanah dan berpihak kepada rakyat mulai dari Kades hingga pemimpin tertinggi, mereka akan bekerja untuk melayani umat. Sedangkan sistem demokrasi sekuler mencetak pemimpin korup yang memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, berapa pun lamanya masa jabatan, selama ada kesempatan praktik curang dan sikap tidak amanah akan terus berulang.
Wallahu a'lam bi ash shawab.