Oleh : Ummu Aqeela
KLAIM pemerintah bahwa Ibu Kota Nusantara (IKN) akan menjadi kota hutan berkelanjutan sejauh ini tak lebih dari “omon-omon” belaka. Di lapangan, yang terjadi justru sebaliknya: deforestasi serta degradasi kawasan yang berstatus hutan.
Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) baru-baru ini merilis hasil perbandingan citra satelit wilayah IKN antara periode April 2022 dan Februari 2024. Citra satelit tersebut menunjukkan skala pembukaan lahan yang masif dalam dua tahun terakhir.
NASA tampaknya lebih tajam memotret realitas dibanding upaya pemerintah memoles citra. Analisis Tempo atas citra satelit NASA menemukan, di wilayah perencanaan kawasan inti pusat pemerintahan IKN saja, deforestasi dan degradasi hutan mencapai 2.464 hektare.
Temuan NASA hanya menggambarkan sebagian kecil perubahan fungsi hutan di Kalimantan Timur. Sudah lama wilayah tersebut menjadi sasaran empuk eksploitasi lahan. Pertambangan batu bara, hutan tanaman industri, dan perkebunan sawit menggulung jutaan hektare hutan alam.
Pembukaan lahan besar-besaran yang menghilangkan tutupan hutan otomatis berpotensi memicu banjir dan tanah longsor. Dalam dua tahun terakhir, banjir sering menjadi tamu tak diundang di kawasan inti IKN di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara. Penyebab banjir bukan hanya intensitas curah hujan yang tinggi, tapi juga eksploitasi lahan yang menyebabkan hilangnya pohon endemis yang merupakan penahan air hujan utama.
Ironisnya, Presiden Joko Widodo terus menyebutkan pemindahan ibu kota untuk menghindari banjir Jakarta. Mungkin Jokowi berpikir banjir tak akan mengikuti presiden dan wakil presiden baru ke IKN. Siapa tahu? Tapi, pada akhirnya, kita bakal mendapat banjir berulang di kota baru itu.
Selain memicu banjir, pembangunan IKN mengancam keberagaman hayati di kawasan tersebut. Area yang dibangun menjadi IKN merupakan habitat bagi berbagai flora dan fauna, termasuk hutan alam di daratan, mangrove di perairan Teluk Balikpapan, serta beberapa spesies hewan endemis yang dilindungi, seperti bekantan dan pesut Mahakam.
Bukan hanya itu, pembangunan IKN juga berdampak negatif pada masyarakat adat. Sejak dimulainya pembangunan, banyak sengketa terjadi antara masyarakat adat dan perusahaan serta Otorita IKN. (Tempo, Minggu 10 Maret 2024)
Diakui atau tidak, proyek IKN ini tampak lahir dari ambisi penguasa yang menginginkan ibu kota negara berpindah dari Jakarta ke tempat lain. Proyek ini pun bergulir dengan sangat cepat, mulai dari RUU-nya hingga pengerjaannya. Meski diwarnai pro dan kontra, IKN tetap berlanjut, padahal sudah jamak kita ketahui kalau proyek ini tidak lebih sekadar bancakan oligarki kapitalis.
Menanggapi proyek IKN yang masa pembangunannya panjang dan awet, ada tiga catatan penting yang perlu kita waspadai.
Pertama, proyek IKN adalah proyek pemborosan. Belum genap dua tahun, proyek ini sudah menghabiskan dana puluhan triliun. Pada masa mendatang, tentu akan banyak dana yang perlu diguyur untuk pembangunan IKN, padahal problem negeri ini sangat banyak. Sangat disayangkan jika APBN negara turut menyumbang dalam proyek ini. Bukankah 20 persen APBN yang dialokasikan untuk IKN akan lebih berguna untuk pembangunan infrastruktur publik yang lebih urgen? Seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, bantuan untuk penduduk miskin, dan sarana publik lainnya.
Kedua, proyek IKN adalah proyek jualan investasi di atas tanah Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, penguasa memberikan insentif berupa HGU yang bisa diperpanjang hingga 190 tahun dan HGB bagi investor selama 95 tahun. Tanah memang milik sendiri, tetapi infrastrukturnya milik swasta. Kalau sudah begini, apa bedanya dengan sewa rumah? Ada harga jika mau menempatinya. Dari populasi 1,95 juta penduduk yang mau pindah ibu kota, yakin semuanya bakal gratis? Jika mengikuti paradigma kapitalisme, jelas no free lunch.
Ketiga, proyek IKN adalah bentuk nyata penjajahan kapitalisme. Dirancang penguasa, diamini pengusaha, dan disahkan melalui undang-undang. Sungguh paket komplit untuk imperialisme. Mungkinkah proyek IKN dengan lima tahapan pembangunan yang ditempuh selama 23 tahun ini berjalan sesuai harapan? Bagi kapitalis mungkin iya, tetapi belum tentu bagi rakyat Indonesia. Ini karena, maaf saja, dominasi swasta terlalu kentara dalam proyek ini. Lalu bagaimana pandangan Islam?
Dalam menyikapi proyek-proyek seperti IKN, Islam tidak akan memberlakukan kebijakan yang tidak urgen. Semua pembangunan infrastruktur dilakukan untuk memenuhi kebutuhan serta mempermudah rakyat untuk menikmatinya. Negara akan berfokus pada pengurusan kemaslahatan yang lebih penting, seperti penyediaan sarana publik, layanan kesehatan, pendidikan gratis untuk seluruh rakyat, pemberian bantuan ekonomi, pendistribusian kebutuhan pokok secara adil dan merata, dan kemudahan mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat.
Infrastruktur adalah fasilitas umum yang dibutuhkan oleh semua orang, seperti air bersih, listrik, dan sejenisnya. Begitu juga termasuk fasilitas umum yang tidak mungkin dimonopoli oleh individu, seperti jalan raya, laut, udara, dan sejenisnya. Semuanya ini merupakan bagian dari infrastruktur yang dibutuhkan oleh seluruh manusia dan negara wajib menyediakannya secara gratis tanpa dipungut biaya.
Dengan demikian, pada hakikatnya, kepemimpinan adalah melayani. Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang dipimpin. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus memiliki visi misi pelayanan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan visi misi pelayanan untuk swasta apalagi korporat.
Wallahu’alam bishowab