Listrik Gratis Dalam Sistem Kapitalis, Mungkinkah?





Oleh : Watini (Pegiat Literasi)

Besar pasak daripada tiang. Seperti itulah perumpamaan kehidupan rakyat saat ini. Di mana harga kebutuhan meroket sementara isi dompet menjerit. Begitu kompleks derita yang dialami rakyat. Setelah harga beras dan pajak melonjak, tinggal menunggu giliran tarif listrik yang naik. Sungguh, jika ini bukan wacana pastilah rakyat tercekik. Ditambah penghasilan mayoritas rakyat yang tak seberapa. Tentu akan menyumbang list beban para pencari rupiah.

Dilansir dari Kompas.com (23/02), tarif listrik Januari sampai Maret 2024 diputuskan tetap untuk menjaga daya saing pelaku usaha, menjaga daya beli masyarakat dan menjaga tingkat inflasi di tahun yang baru.
Penetapan tarif listrik Januari-Maret 2024 sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2023 tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh PLN. 

Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) aturan tersebut, penyesuaian tarif tenaga listrik dilakukan setiap tiga bulan. 
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam penetapan tarif listrik, seperti nilai tukar mata uang dollar AS terhadap mata uang rupiah (kurs), Indonesian Crude Price, inflasi dan/atau harga batu bara acuan.

Kabar tersebut telah memberi ruang ditengah sesaknya kebijakan pemerintah. Kendati demikian, rakyat tak bisa bernapas lega. Sebab selama ini selalu ada kenaikan tarif listrik setiap tahunnya dan belum pernah terjadi penurunan harga atau bahkan gratis. Apalagi jika dikaitkan dengan defisit APBN, seolah jika tidak menaikan tarif listrik akan menjadi beban negara. Inilah dampak dari kapitalisasi sumber daya alam (SDA). Potensi SDA seperti batu bara yang dimiliki negara justru diprivatisasi oleh oligarki/swasta.

Alhasil, pihak PLN yang kemudian dibebankan membeli bahan bakar listrik kepada swasta. Padahal potensi sumber batu bara ini sangatlah melimpah. Jika dikelolah oleh negara sendiri sudah sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan sumber listrik rakyat selama ratusan tahun. Belum lagi dari sumber listrik lainnya, seperti air, nuklir dan angin. Seandainya hal ini terwujud, tak akan ada lagi kenaikan tarif yang signifikan. Bahkan sumber listrik bisa dimanfaatkan oleh rakyat secara cuma-cuma.

Namun dalam sistem kapitalisme, SDA yang melimpah justru bisa dengan mudahnya dikuasai oleh pemodal/swasta. Kepemilikan rakyat diperdagangkan. Pada akhirnya rakyat yang terkena imbasnya. Listrik harus bayar, BBM juga bayar, LPG pun mahal. Jika ada subsidi tak seberapa, itupun sudah diperhitungkan dan dianggap membebani APBN negara. Padahal sumbangsi terbanyak APBN adalah pajak yang diperoleh dari rakyat. Sungguh memprihatinkan nasib rakyat, tinggal di wilayah kaya SDA namun tak bisa menikmatinya. 

Ditambah lagi negara abai terhadap rakyat dan mengutamakan keuntungan. Memberikan karpet merah kepada para oligarki untuk mengeksploitasi SDA atas nama liberalisasi. Andai saja tarif listrik, BBM dan bahan pangan harganya lebih murah, rakyat tak perlu kelimpungan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan. Namun nyatanya hal itu tak dapat terwujud dalam sistem kapitalisme saat ini. Semua kebutuhan akan terus mengalami kenaikan, sementara pendapatan tetap tak mengalami perubahan. Inilah yang memicu kenaikan angka kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial, bahkan kriminalitas.

Sangat berbeda dengan sistem Islam. Islam menjadikan negara sebagai raa'in yang akan menjamin kesejahteraan rakyat dengan berbagai mekanisme sesuai dengan sistem ekonomi Islam. Ini dilandaskan pada hadits nabi saw,
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Dalam sistem Islam, negara wajib mengelola secara mandiri atas setiap harta milik umum yang jumlahnya melimpah dan masyarakat membutuhkannya. Pengelolaan tambang milik negara tidak boleh diserahkan kepada swasta atau asing. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud)

Harta milik umum jenis ini tidak terbatas pada tiga jenis barang di atas saja (air, api, dan padang rumput), melainkan mencakup harta yang bersifat kepemilikan umum, yakni harta yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak. Industri gas alam dan batu bara sendiri tercakup kepemilikan umum karena status keduanya, yakni barang berharga dan termasuk dalam “api”.

Selain itu, tambang-tambang dengan jumlah yang melimpah ruah merupakan milik umum. Negara tidak boleh memberikan izin kepada perusahaan atau perseorangan untuk menguasai dan mengelolanya. 

Negara berkewajiban mengelola SDA dan mengembalikan hasilnya untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Negara hanya boleh mempekerjakan pihak swasta dalam hal eksploitasi dengan akad kerja, bukan izin usaha tambang atau bagi hasil.

Inilah pengelolaan SDA milik rakyat berdasarkan syariat Islam. Sistem Islam akan memberikan berbagai kemudahan untuk rakyat karena fungsi negara sebagai raa’in (pengurus dan pelayan rakyat) berjalan secara berkeadilan. Bahkan, rakyat bisa menikmati listrik dengan harga murah hingga gratis. Hal ini hanya bisa terterapkan secara holistik di sistem Islam.
Wallahua'lam bish-showwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak