Oleh: Mulyati S.E.I
Pesta demokrasi Pemilu 2024 sudah dilaksanakan, salah satunya pemilihan Calon legislatif di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Tercatat ratusan calon legislatif (caleg) ini telah bersaing memperebutkan 30 kursi di 4 daerah pemilihan (dapil) yang telah ditetapkan. Dari 408 caleg tersebut, 255 orang adalah laki-laki dan 153 orang perempuan.
Dengan 30 kursi yang tersedia, maka 378 caleg dipastikan mengalami kegagalan. Tentunya hal ini dikhawatirkan dapat memicu depresi pada mereka, sehingga Pemerintah Daerah melalui Dinas Kesehatan (Dinkes) Berau bersama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Abdul Rivai sudah menyiapkan ruang perawatan di ruang tulip, yang akan dialokasikan khusus bagi calon legislatif (Caleg) yang mengalami gangguan kejiwaan akibat gagal meraih kursi di DPRD Berau ini .Tak hanya RSUD dr Abdul Rivai, Dinas Kesehatan Berau juga sudah melakukan koordinasi dan akan melibatkan seluruh Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang ada di setiap kecamatan. (Sumber Beraupost.com dan
Kaltim.tribunnews/14/02/2024)
Demikianlah gambaran penanganan pasca pemilu 2024 di salah satu Kabupaten di Kalimantan Timur. Di wilayah lainnya pun tentunya melakukan hal yang serupa. Tidak hanya gangguan jiwa, nyawa pun bisa menjadi ‘tumbal’ pesta demokrasi di 2024 ini. Pemilu serentak di Indonesia dengan lebih dari 24 jam sistem kerja yang tak manusiawi membuat petugasnya dijemput ajal.
Sebut saja kematian ironis yang dialami anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Kabupaten Malaka, Belu dan petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) di Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Selain itu, di Provinsi Papua Tengah, juga menimbulkan korban luka akibat bentrok antar pendukung calon legislatif (Caleg), satu orang korban juga dikabarkan meninggal dunia.
Melihat kerusakan demi kerusakan yang terjadi, pastilah ada sesuatu yang salah pada sistem pemilihan umum saat ini. Kerusakannya tidak hanya pada paparan teknis, melainkan telah nampak mulai dari awal pembentukannya. Sistem demokrasi yang berpegang pada asas dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat membuat samar fungsi pemerintah. Belum lagi asas bahwa ‘suara rakyat suara Tuhan’, asas ini jelas-jelas menafikkan keberadaan Tuhan dan aturan-Nya terkait.
Demokrasi merupakan sistem politik yang tidak manusiawi membuat banyak orang memuja jabatan dan materi, akhirnya depresi karena besarnya modal telah digelontorkan hingga harus mencari banyak cukong. Politik uang bermain menjelang pemilu, saat pemilu pun banyak anggota KPPS yang berjatuhan sakit karena kelelahan, bahkan meninggal dunia. Pascanya banyak caleg yang kalah stres dan gila.
Masalah seperti ini wajar terjadi dalam pesta demokrasi karena setiap kompetitor memang berkompetisi untuk meraih kemenangan. Mereka akan melakukan segala cara untuk dapat meraih kekuasaan. Dalam praktiknya, mengikuti pemilu membutuhkan biaya besar yang dipakai untuk keperluan kampanye dan sebagainya. Mengingat biaya yang tidak sedikit itu, para calon peserta pemilu tentu akan berusaha mendapatkannya dari siapa saja, terutama para pengusaha. Dalam upaya mendapatkan dana itu, berbagai macam kesepakatan pun dilakukan. Salah satunya, pinjaman, misalnya, tidak perlu dikembalikan jika peserta tersebut lolos pemilu dan si pemberi pinjaman bisa mendapatkan “balasan jasa”. Akhirnya, para calon pun akan melakukan berbagai cara agar bisa menang meskipun menyalahi semboyan “jujur dan adil”.
Demokrasi sendiri mengandalkan aturan buatan manusia dan tidak mengizinkan agama untuk ikut andil. Jadi, aturan pemilu dapat berubah-ubah sesuai kepentingan, kesepakatan, dan keinginan yang berkuasa. Semua dapat dibuat sesuai pesanan dan permintaan. Kalaupun ada yang lurus dan ikhlas berjuang di jalan ini, mereka cenderung tergelincir atau kalah oleh pihak yang lebih berkuasa. Inilah sebab pesta demokrasi selalu memunculkan masalah.
Hal ini berbeda dengan pemilihan pemimpin dalam Islam. Pemilihan pemimpin dalam Islam berbiaya murah, namun efektif menghasilkan output yang berkualitas. Sungguh Islam telah memiliki mekanisme baku tentang sistem pemilihan pemimpin. Mekanisme yang tidak memiliki celah kecurangan dan kezaliman di dalamnya. Mekanisme yang membawa ketenangan bagi semua pihak. Mekanisme tersebut dikenal dengan istilah bai’at.
Bai’at merupakan sebuah mekanisme yang diambil berdasarkan kitabullah, sunah Rasulullah dan ijmak sahabat. Adapun dalil terkait dengan bai’at, di antaranya : “Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu hakikatnya adalah berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka.” (QS. Al-Fath : 10)
“Kami telah membai’at Rasulullah Saw agar senantiasa mendengar dan menaatinya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun yang tidak kami senangi; agar kami tidak akan merebut kekuasaan dari orang yang berhak; dan agar kami senantiasa mengerjakan atau mengatakan yang haq di mana saja kami berada tanpa takut karena Allah kepada celaan orang-orang yang suka mencela.” (HR. Al-Bukhari)
Bai’at atau janji setia atas pemerintahan dibuat sedemikian rupa agar tidak memakan waktu yang lama. Nama-nama calon yang telah memenuhi syarat in’iqod akan diumumkan kepada masyarakat secara keseluruhan. Kemudian diambillah pendapat dari Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi diantara kaum muslim, yaitu mereka yang merepresentasikan umat. Siapa saja yang keluar sebagai pilihan dari Ahl al-Halli wa al-‘ Aqdi, yang dengannya ia akan menjadi Khalifah maka umat wajib untuk membai’atnya dengan bai’at taat.
Terkait dengan waktunya, pemilihan Khalifah tidak boleh lebih dari tiga hari. Hal tersebut dicontohkan oleh para sahabat saat Rasulullah Saw wafat dan kemudian digantikan perannya oleh Abu Bakar ra sebagai Khalifah pengganti.
Sistem pemilihan seperti ini tentunya jauh lebih relevan,efektif, dan berbiaya murah. Dengan adanya Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi dan waktu pemilihan yang hanya tiga hari tentunya akan mempermudah proses pemilihan dan yang lebih pasti akan menghilangkan kerugian atas harta, jiwa dan nyawa.
Namun, tak akan cukup penerapannya jika hanya sistem pemilihan pemimpin saja yang dipakai. Penerapan syariat Islam haruslah menyeluruh dan meliputi seluruh aspek kehidupan. Sebab, penerapan sistem Islam secara keseluruhan akan meningkatkan ketakwaan individu dan masyarakat. Hal yang secara otomatis akan menghilangkan kecurangan-kecurangan yang terjadi selama proses pemilihan.
Banyak pihak yang mengusulkan untuk diadakan evaluasi atas pesta demokrasi yang telah berlangsung beberapa waktu yang lalu. Dan memang benar harus ada evaluasi, tidak hanya terkait dengan teknis pemilihan di lapangan saja. Melainkan juga harus ada perubahan menyeluruh terkait sistem pemerintahan kenegaraan yang diterapkan. Sebab kerusakan tidak hanya ada di lini teknis lapangan melainkan ada di sistem yang dipakai.
Sistem demokrasi yang kini diterapkan sudah menumbalkan banyak sekali harta, jiwa dan nyawa. Oleh sebab itu, sistem tersebut sudah tidak layak lagi untuk diterapkan. Maka alangkah baiknya jika kita kembalikan otoritas jiwa dan negara kepada Sang Pencipta alam semesta, yang telah berikan seperangkat aturan yang tidak sekedar untuk dibaca namun juga diterapkan. Wallahua’lam bis Shawab
Tags
Opini