Oleh : Eti Fairuzita
Di tengah mahalnya harga beras hingga membuat warga harus antre panjang ketika ada pasar murah sembako, kini tarif listrik dikabarkan akan mengalami kenaikan.
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah menetapkan tarif listrik untuk Maret 2024. Tarif listrik Maret ditetapkan bersamaan dengan pengumuman tarif listrik triwulan I pada Januari-Maret 2024.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Jisman P. Hutajulu mengatakan, hal tersebut dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk menjaga daya saing para pelaku usaha guna menjaga daya beli masyarakat, serta menjaga tingkat inflasi melalui sektor ketenagalistrikan.
Sebagaimana ketentuan Permen ESDM No. 28/2016 jo. Permen ESDM No. 8/2023, penyesuaian tarif tenaga listrik bagi pelanggan nonsubsidi dilakukan setiap tiga bulan, mengacu pada perubahan terhadap realisasi parameter ekonomi makro, yakni kurs, Indonesian crude price (ICP), inflasi, serta harga batu bara acuan (HBA).
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, keputusan tidak menaikkan TDL menjadi salah satu faktor penyebab melebarnya target defisit fiskal APBN 2024 yang tercatat sebesar 2,29% terhadap PDB. Ini karena subsidi untuk menahan kenaikan harga listrik dan BBM membutuhkan anggaran lebih besar untuk PT Pertamina maupun PT PLN.
Bagaikan tikus yang sekarat di lumbung padi, itulah perumpamaan paling tepat untuk menggambarkan kondisi rakyat Indoinesia saat ini. Meski negeri ini kaya akan energi rakyatnya justru tengah dicekik oleh kenaikan tarif listrik yang semakin menyayat hati.
Listrik sebagai sumber energi seharusnya diberikan dengan harga murah atau gratis. Negara seharusnya mengelola sendiri kebutuhan energi rakyat ini. Sayangnya hari ini pasokan listrik PLN juga tergantung pada pasokan swasta, sementara swasta tentu orientasinya adalah bisnis dan keuntungan semata.
Naiknya tarif listrik di saat harga pangan naik jelas akan menambah beban rakyat, apalagi juga marak terjadinya PHK. Secara otomatis kehidupan rakyat akan semakin sulit dan menderita. Apalagi dalam sistem kapitalisme, negara tidak berperan sebagai raa’in (pelayan) sehingga rakyat dibiarkan berjuang sendirian. Oleh karena itu kalaupun ada subsidi, sejatinya hanya sekedar tambal sulam, tidak akan menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat secara keseluruhan.
Tentu kita mengetahui, dalam kacamata kapitalis kebijakan ekonomi neoliberal merupakan satu-satunya cara dalam pengembangan ekonomi yang harus tunduk kepada para pemilik modal alias korporasi.
Dimana kebijakan ekonomi neoliberal yang diadopsi negeri ini, semakin membuat peran negara kian tereliminasi.
Disisi lain privatisasi BUMN semakin menjadi-jadi di negeri ini, sehingga menjadikan semua layanan publik ikut merangkak naik akibat manajemen ala korporasi. Betapa kebijakan ekonomi neoliberal sama sekali tidak ada yang pro terhadap rakyat, yang terjadi justru sebaliknya kesejahteraan hanya akan dirasakan oleh kalangan konglomerat sementara nasib rakyat tetap sengsara dan makin melarat.
Dari sini jelaslah bahwa keberadaan subsidi pun tidak lain hanya salah satu resep kapitalisa dalam mengatasi gejolak rakyat, bukan semata-mata tanggung jawab negara untuk melayani dan mensejahterakan rakyat.
Karena faktanya, subsidi yang diberikan itu pun terus berkurang setiap tahunnya.
Kesalahan kebijakan ini bukan hanya pada layanan yang kurang memenuhi harapan meski TDL sudah mahal, namun lebih mendasar kesalahan terletak pada negara yang memerankan diri sebagai pedagang yang menjual layanan energi yang bersumber dari kepemilikan umum (milkiyah ammah) kepada rakyat dengan perhitungan untung dan rugi.
Dalam pandangan Islam, masyarakat dikatakan sejahtera bila sudah terpenuhi dua kriteria yakni, terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu rakyat serta terjaga dan terlindunginya agama, harta, jiwa, akal, dan kehormatan manusia.
Rasulullah Bersabda : "Imam itu laksana penggembala dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyat yang digembalakanya,"HR. Imam Bukhari dan Imam Ahmad).
"Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api,"(HR.Abu Dawud).
Dari kedua hadist di atas bahwa kepala negara bertanggung jawab atas rakyatnya tak terkecuali perihal energi yang seharusnya bisa diberikan secara cuma-cuma dan haram untuk dikomersialisasi.
Di dalam Islam negara bertanggung jawab dalam pengelolaan harta publik secara baik dan hasilnya wajib dikembalikan kepada seluruh rakyat agar setiap individu bisa memanfaatkanya tanpa dipungut biaya. Hanya dengan sistem Islam distrbusi harta dapat disalurkan secara merata, dimana negara menjamin segala kebutuhan seluruh individu masyarakat, serta memberi mereka peluang untuk memanfaatkannya.
Pengelolaan sumber pembangkit listrik, yaitu batu bara, serta layanan listrik dalam hal ini PLN haruslah berada di tangan negara. Individu atau swasta tidak boleh mengelolanya dengan alasan apa pun sebagaimana yang terjadi selama ini.
Untuk memenuhi kebutuhan listrik, negara dengan sistem Islam kaffah (Khilafah) bisa menempuh beberapa kebijakan, yakni dengan membangun sarana dan fasilitas pembangkit listrik yang memadai, melakukan eksplorasi bahan bakar listrik secara mandiri, mendistribusikan pasokan listrik kepada rakyat dengan harga murah, serta mengambil keuntungan pengelolaan sumber energi listrik atau lainnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang lainnya, seperti sandang, pangan, dan papan. Hingga kebutuhan dasar kolektif masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Beginilah Islam memposisikan seorang kepala negara sebagai pelayan sekaligus pelindung umat.
Wallahu alam bish-shawab
Tags
Opini