Oleh: Riza Maries Rachmawati
Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Meningkat
Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengklaim bahwa skor Pola Pangan Harapan (PPH) mengalami peningkatan pada tahun 2023. PLT Sekretaris Utama Bapanas Sarwo Edhy pada hari Jumat 16 Februari 2024 mengatakan bahwa skor PPH Tahun 2023 sebesar 94,1. Capaian Skor PPH tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan skor PPH tahun 2022 yang tercatat di angka 92,9. Berdasarkan capaian tersebut, Bapanas akhirnya akan menargetkan capaian skor PPH untuk tahun 2024 sebesar 95,2, dari skor ideal 100. Menurut Edhy peningkatan ini merupakan usaha dalam mendorong pola kosumsi masyarakat Indonesia, yang Beragam, Bergizi Seimbang dan Aman (B2SA) yang berdasarkan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2023 mencapai PPH 94. (www.antaranews.com, 16-02-2024)
Skor Pola Pangan Harapan (PPH) merupakan indikator tingkat kualitas kosumsi pangan masyarakat. FAO-RAPA (1989) mendefinisikan PPH sebagai “komposisi kelompok pangan utama yang bila dikosumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya”. Maka PPH merupakan susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi keseimbangan energi dari berbagai kelompok pangan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya, baik dalam jumlah mutu dengan mempertimbangkan segi daya terima ketersediaan pangan, ekonomi, budaya dan agama.
Skor PPH Hanya Sekadar Pencitraan
Skor PPH naik namun anehnya akses rakyat terhadap makanan tidak terwujud dengan baik. Saat ini saja masyarakat sedang terhimpit dengan naiknnya harga sembako, terutama beras. Pengaturan urusan pangan oleh Bapanas terkait kualitas ketersediaan pangan di negeri ini sejati tidak menyelesaikan secara tuntas persoalan pangan di negeri ini. Karena pada fakranya, masyarakat merasa kesulitan saat mengakses pangan tersebut. Ini terbukti dari kondisi penduduk negeri ini yang hampir 27 juta hidup dibawah garis kemiskinan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2022. Dengan penghasilan dibawah Rp. 535.547 per kapita per bulan atau kurang dari Rp 17.851 per hari.
Naiknya skor PPH hanyalah sebuah pencitraan, pasalnya naiknya skor tersebut tidak memberikan pengaruh terhadap tingginya stunting dan kemiskinan. Angka stunting di negeri ini juga tergolong tinggi. Statistic PBB pada tahun 2020 mencatat, lebih dari 149 juta (22%) balita di seluruh dunia mengalami stunting, Dimana 6,3 juta merupakan anak usia dini atau balita stunting adalah balita Indonesia. Angka kelaparan di negeri ini masih cukup tinggi. Angka kelaparan di ukur berdasarkan prevalence of undernourishment yakni dara prevalensi ketidakcukupan kosumsi pangan dari setiap negara yang diukur FAO. Pada 2022 Indonesia tercatat memiliki prevalence of undernourishment 5,9%. Berarti sekitar 16,2 juta dari total populasi Indonesia diperkirakan mengalami kelaparan. Kemiskinan menjadi penyebab utamanya, alih-alih menyediakan pangan dengan gizi seimbang bagi keluarganya untuk bisa makan sehari-hari saja mereka tidak mampu.
Sistem Kapitalisme Biang Keladi Masalah Pangan
Kontradiktif kenaikan skor PPH dengan tingginya stunting dan kemiskinan menunjukan bahwa penerapan sistem ekonomi kapitalisme di negeri ini hanya memperhatikan aspek penyediaan pangan, tanpa memperdulikan aspek distribusi pangan. Yakni terpenuhinya kebutuhan pangan rakyat individu per individu. Ketidakseriusan pemerintah dalam mengatasi masalah pangan adalah sebuah keniscayaan dala penerapan sistem Demokrasi-Kapitalisme.
Kendala lain dalam urusan pangan yaitu masalah pendistribusian pangan. Namun negara membiarkan rantai distribusi panjang dan dikuasai pihak swasta atau korporasi. Hal ini berdampak pada melonjaknya harga pangan. Ditambah lagi masalah kecurangan yang tak mampu ditumpas negara, seperti praktek penimbunan makin menambah persoalan pangan.
Sistem Islam Menjadi Solusi Permasalahan Pangan
Sistem Islam yang berasaskan akidah Islam, menetapkan negara sebagai penanggung jawab urusan rakyatnya termasuk menjamin kebutuhan pangan seluruh rakyatnya. Rosulullah saw bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari). Berdasarkan hadits ini negara memiliki kewajiban untuk memastikan rakyat terpenuhi kebutuhan pangannya.
Sistem ekonomi Islam akan mengatur masalah produksi pangan hingga ketersediaan pangan dapat dipenuhi negera atau tidak terjadi kelangkaan pangan. Hal ini ditempuh negara dengan melakukan berbagai upaya, diantaranya:
Pertama, intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian. Dalam aspek produksi Islam akan mengatur lahan pertanian sesuai syariat untuk mendorong produktivitas lahan. Menjaminan ketersediaan lahan pertanian akan menjadi tanggung jawab negara dan negara pun tidak boleh memberikan izin alih fungsi lahan bagi lahan yang subur. Lahan pertanian atau tidak digarap pemiliknya tidak adak dibiarkan begitu saja oleh negara. Jika hal yang demikian terjadi maka negara akan mengambilnya dan memberikan kepada orang yang mampu mengelolanya.
Kedua, negara akan memperhatikan aspek distribusi pangan. Artinya negara memastikan tak terjadi fluktuasi harga pangan yang memberatkan masyarakat untuk mengaksesnya. Sehingga negara memastikan setiap individu rakyat dapat mengakses pangan dengan harga terjangkau. Penjagaan kestabilan harga pangan ditempuh negara dengan menghapus praktik kecurangan, praktik ritel hingga penguasaan rantai distribusi oleh pihak-oihak tertentu yang berpotensi memonopoli pasar.
Ketiga, negara akan mebangun industri berbasis industri berat. Politik industri yang diterapkan akan mengarah pada kemandirian industri dengan membangun alat-alat produksi sehingga dapat menopang teknologi untuk pertanian secara mandiri. Negara juga akan melakukan riset pangan dan teknologi untuk meningkatkan produksi pangan dan kualitas pangan atau pangan yang bergizi. Anggaran yang digunakan negara dalam mewujudkan ketahan pangan berasal dari baitul maal yang telah di atur sesuai syariat Islam.
Demikianlah mekanisme pemenuhan kebutuhan pangan hanya akan terwujud dalam institusi negara Islam yaitu Khilafah Islamiyah.
Tags
Opini