Oleh: Arini
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) buka suara terkait pernyataan Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan, yang menyebut akan menaikkan pajak kendaraan bermotor. Juru Bicara Kemenko Marves Jodi Mahardi mengatakan, rencana menaikkan pajak kendaraan bermotor barulah sebatas wacana sehingga tidak akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Kompas.com (20/1/2024).
Pajak yang dipungut dari warga negara dan berbagai aktivitas ekonomi adalah sumber utama pemasukan negara moderen saat ini.
Namun kenyataannya sekarang malah menambah beban dimasyarakat. Pasalnya, menyoroti efek lanjutan dari adanya kenaikan pajak tersebut akan berdampak pada kenaikan dalam bahan pokok lain. Inilah jika sistem ekonomi kapitalisme masih diterapkan.
Mereka mendirikan usaha dan mencari keuntungan sebesar mungkin. Persaingan bebas memungkinkan pengusaha untuk mencari keuntungan semaksimal mungkin, selama kegiatan usahanya bersifat legal.
Sikap mementingkan diri sendiri menjadi bagian atau ciri dari sistem ekonomi kapitalis.
Dibutuhkan perubahan sistem Islam saat ini untuk merubah perekonomian di negeri ini yang sesuai hukum Syara'.
Pandangan Islam
Jika seorang Schumpeter (Abad ke-12) yang bangunan teori ekonominya saja banyak mengadopsi dari Islam justru menemukan sisi baik dari peradaban perpajakan yang pastinya teorinya juga ia dapatkan dari peradaban Islam, lantas mengapa justru kita selaku umat Islam tidak bangga dengan peradaban itu? Padahal, teori perpajakan Adam Smith (Abad ke-18) yang dituangkan dalam The Maxim of Taxation serta menjadi pedoman sistem perpajakan dunia modern sekarang justru banyak kemiripan dengan Kitab Al-Kharâj karya Abû Yûsuf al-Kûfi. Inilah uniknya kita. Orang lain sudah jauh berlomba mengembangkan khazanah kita, justru kita selaku pewaris sah khazanah itu malah menolaknya. Bahkan sempat ada tulisan yang merekam hasil ceramah seorang ustadz dan mengharamkan pajak serta disampaikan di hadapan petugas perpajakan.
perbedaan antara al-maksu yang dipungut dan berlaku pada zaman jahiliyah dengan al-maksu (dlaraib) yang dipungut oleh negara. Letak bedanya ada pada status legal formalnya al-maksu menurut negara atau tidak. Jika ada legal formal menurut negara dengan ditetapkan besarannya, serta diawasi penyalurannya, maka al-maksu seperti ini tidak disebut sebagai pungutan liar. Istilah kontemporer menyebutnya sebagai Pajak. Berbeda dengan al-maksu yang diambil oleh perorangan pada zaman jahiliyah (sebagaimana disampaikan dalam hadits di atas), maka al-maksu semacam disebut dengan al-maksu yang haram karena tergolong pungutan liar (pemalakan).
Imam al-Nawâwi sebagaimana dikutip dalam kitab Futûhâtu al-Rabbâniyah ala al-Adzkâri al-Nawâwiyah menjelaskan pengertian al-maksu sebagai berikut:
المكس الضريبة التي يأخذها الماكس
Artinya: “Al-Maksu adalah pungutan yang diambil oleh pemungut liar.” (Lihat Muhammad ibn Ali al-Bakri al-Syâfi’i, Futûhâtu al-Rabbâniyah ala al-Adzkâri al-Nawâwiyah, juz 7, Beirut: Dâr al-Kutub Al-Ilmiyah, tt.: 84).
Sampai di sini jelas sudah bahwa yang dinamakan al-maksu menurut termasuk dasarnya adalah bermakna pungutan liar. Adapun pajak tidak bisa dikategorikan sebagai al-maksu, sebab ada aturan yang ditetapkan oleh negara atas pihak wajib pajak.
Wallâhu a’lam bish shawâb.
Tags
Opini