Oleh: Jastu Fathir
Sejak Negara Indonesia merdeka, bangsa ini menerapkan paham sekularisme yakni ide yang memisahkan agama (Islam) dari kekuasaan. Saat ini Islam dan kekuasaan dipisahkan dan negara memberlakukan ideologi Kapitalisme-sekuler. Walau berpenduduk mayoritas Muslim, Islam selalu dijauhkan dari kekuasaan. Bahkan luput dalam pergantian kekuasaan. Misalnya yang terjadi saat pemilu saat ini, tak satupun paslon muslim ataupun partai Islam yang mengusung agenda penerapan Syariah Islam. Padahal penduduknya mayoritas beragama Islam, yang sudah sepantasnya kehidupan diatur oleh syariah Islam.
Sejatinya, Islam bukanlah sekadar agama ritual, spiritual, dan moral belaka. Islam adalah mabda’ (ideologi) dan sistem kehidupan yang wajib dan layak digunakan dalam kekuasaan untuk mengatur urusan ekonomi, sosial, pendidikan, politik, pemerintahan, hukum/peradilan, dsb. Dalam kitab-kitab para ulama fiqih misalnya, tak hanya dibahas bab thaharah (bersuci) dan ubudiyah (shalat, puasa, zakat, dan haji) saja. Di dalamnya juga dibahas bab muamalah, termasuk ekonomi dan politik, hudud hingga imamah (khilafah), bahkan jihad (perang) fi sabilillah. Hingga saat inipun, kitab-kitab para ulama fikih tersebut—di antaranya yang ditulis sejak ratusan tahun lalu—tetap dikaji para santri dan diajarkan oleh para ulama/kiai, khususnya di pondok-pondok pesantren. Mirisnya, semua ini tidak diterapkan oleh penguasa di negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim ini.
Pentingnya kekuasaan sangat disadari oleh Rasulullah SAW. Karena itulah, beliau berdoa kepada Allah SWT agar diberi suatu kekuasaan yang bisa menolong agama-Nya. Allah SWT berfirman:
وَقُلْرَبِّأَدْخِلْنِيمُدْخَلَصِدْقٍوَأَخْرِجْنِيمُخْرَجَصِدْقٍوَاجْعَلْلِيمِنْلَدُنْكَسُلْطَانًانَصِيرًا
Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar, keluarkan aku dengan cara keluar yang benar dan berilah aku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (TQS Al-Isra’ [17]: 80).
Berkaitan dengan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir rahimahulLâh, dengan mengutip Qatadah ra., menyatakan:
Sungguh Nabi Muhammad saw. menyadari bahwa beliau tidak punya daya/kekuatan untuk menegakkan agama ini (Islam), kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah beliau memohon kepada Allah kekuasaan yang bisa menolong Kitabullah (al-Quran), melaksanakan hudud Allah, menunaikan berbagai kewajiban dari Allah dan menegakkan agama Allah (Islam). Sungguh, kekuasaan adalah rahmat yang Allah berikan kepada para hamba-Nya. Andai bukan karena kekuasaan tersebut, orang-orang bisa saling menyerang (menzalimi) satu sama lain sehingga pihak yang kuat bisa memangsa pihak yang lemah (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 5/111).
Dari penjelasan Imam Ibnu Katsir tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada dua fungsi kekuasaan yang utama. Pertama, untuk menegakkan agama Islam. Inilah motif utama Rasulullah saw. saat meminta kekuasaan kepada Allah SWT. Faktanya, ketika Rasulullah saw. menjadi penguasa (kepala negara) Daulah Islam di Madinah, kekuasaan beliau adalah untuk menegakkan Islam dan menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia demi terwujudnya Islam rahmatan lil’alamin (Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta). Kedua, untuk mengurus berbagai urusan dan kepentingan masyarakat dengan menggunakan syariah Islam. Dengan demikian, semua warga negara (Muslim maupun non-Muslim) terurus dan terayomi dengan baik, tidak ada yang berani saling menzalimi, dan tidak ada pihak kuat yang memangsa pihak lemah.
Dalam pandangan Islam, kekuasaan tidak ada artinya jika tidak digunakan untuk menegakkan Islam dan menyebarluaskan dakwah Islam. Tidak ada artinya pula kekuasaan jika tidak digunakan untuk mengurus berbagai urusan dan kepentingan rakyat dengan syariah Islam. Semua ini adalah wujud keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Besar harapan masyarakat kepada bangsa ini agar menjadi bangsa yang maju, sejahtera, adil, dan makmur. Saat negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim ini benar-benar beriman dan bertakwa maka kemakmuran, kesejahteraan, keadilan serta aneka kebaikan (keberkahan) pasti dirasakan oleh mereka. Allah SWT berfirman, yang artinya: "Andai saja penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan membuka untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka telah mendustakan (ayat-ayat Kami). Karena itu Kami menyiksa mereka sebagai akibat dari apa yang mereka perbuat itu (TQS al-A’raf [7]: 96)."
Keimanan dan ketakwaan harus diwujudkan dengan kemauan untuk menjalankan dan menerapkan seluruh syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam semua aspek kehidupan. Itulah yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad saw. selaku kepala negara Islam di Madinah dulu. Beliau mengatur negara dan rakyat hanya dengan syariah Islam. Kekuasaan beliau kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelahnya. Para khalifahpun, sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam selama 13 abad yang menguasai 1/3 dunia, hanya menggunakan syariah Islam dalam mengatur negara dan rakyat mereka.
Setelah Khilafah Islam terakhir yakni Khilafah Utsmaniyah, yang diruntuhkan oleh Barat (Inggris) melalui agennya, yakni Mustafa Kemal Ataturk pada tanggal 3 Maret 1924, kaum Muslim tidak diatur oleh syariah Islam, kecuali dalam urusan ibadah dan sedikit muamalah saja. Sebagian besar aspek kehidupan mereka diatur oleh aturan-aturan sekuler yang bersumber dari Barat kafir penjajah. Sayangnya, itulah yang terjadi. Termasuk di negeri tercinta ini.
Pertanyaannya: Maukah kita kembali diatur oleh syariah Islam, yang merupakan aturan Allah SWT, sementara kita mengaku sebagai hamba-Nya?!
Tags
Opini