Desa Wisata, Program Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi dan Kemajuan Daerah?

Penulis: Ilmi Mumtahanah

Lagi, dengan dalih peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) RI Sandiaga Salahuddin Uno menargetkan pembentukan sebanyak 6.000 desa wisata selama tahun 2024.

Melansir Antarajabar.news, 18/02/2024, Sandiaga menjelaskan bahwa dari 80 ribu lebih desa di Indonesia, terdapat sekitar 7.500 desa yang memiliki potensi wisata. Ia menyebutkan, saat ini sudah ada dua desa wisata di Indonesia yang dinilai terbaik di tingkat dunia, yakni Desa Wisata Nglanggeran di Yogyakarta dan Desa Wisata Panglipuran di Bali.

Namun, benarkah program desa wisata ini ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan memajukan wisata daerah?

Wisata sebagai Solusi Masalah Ekonomi?

Deputi Bidang Pemasaran Kemenparekraf, Ni Made Ayu Marthini, menyebut desa wisata merupakan pandemic winner yang mampu tumbuh saat Covid-19 menghantam sektor pariwisata nasional. Betapa tidak, ketika pandemi, border (perbatasan) ditutup, lantas kemana para turis? 

Mereka di dalam negeri, sehingga dalam 2,5-3 tahun, pariwisata domestik berkembang, salah satunya desa wisata. Oleh karena itu, pasca korona, jika desa wisata dipasarkan dengan baik maka wisata urban/lokal, yang menurut organisasi kepariwisataan dunia (UNWTO) adalah masa depan pariwisata, akan semakin berkembang.

Kemenparekraf mencatat, sepanjang 2023 lalu, Indonesia memiliki sekitar 4 ribu desa wisata dari total 74 ribu desa. Potensi desa wisata di seluruh Tanah Air tersebut senantiasa dikembangkan, salah satunya melalui gelaran Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI). Melalui ajang ini, desa-desa wisata itu dikurasi dengan berbagai kriteria, termasuk dari aspek kebersihan, atraksi, hingga potensi kerajinan, dan lain sebagainya. Penilaian dilakukan agar aspek keberlanjutan dalam pariwisata (sustainable tourism) bisa diterapkan dan dampaknya bisa dirasakan langsung oleh warga desa.

Sebagai dampak, keberadaan desa wisata dipandang mampu menciptakan simbiosis mutualisme antarpengguna jasa bidang kepariwisataan seperti turis, traveller, pengelola tempat wisata, pelaku usaha, dan pihak-pihak terkait di dalamnya. Lebih lanjut, konsep desa wisata juga dinilai lebih relevan dengan tren saat ini yang lebih specialized, personalized, dan memberikan pengalaman baru dan unik.

Menparekraf menerangkan, target 6.000 desa wisata di 2024 tersebut nantinya dapat berkontribusi sekitar 4,5 persen terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) secara nasional. Pun, ketika 6.000 desa wisata tersebut berhasil terwujud maka ada penambahan sekitar 4,4 juta lapangan kerja di bidang ekonomi kreatif. Namun, benarkah bahwa desa wisata sebagai salah satu solusi masalah ekonomi?

Cantik Tetapi Kapitalistik

Sektor pariwisata masih menjadi salah satu sumber pemasukan negara berbasis ekonomi kapitalisme. Pasalnya, sektor ini menghasilkan keuntungan yang berlipat dalam waktu cepat. Itulah sebab, negara senantiasa mengoptimalkan pembangunan wisata di daerah-daerah tanpa memperhatikan dampak dan kepentingan di balik itu semua.  

Sebut saja Menparekraf Sandiaga Uno yang mengatakan, Desa Wisata Air Terjun Moramo Sumbersari memiliki pengolahan sumber energi baru-terbarukan yaitu melalui pemanfaatan sumber mikro hydro menjadi listrik (pembangkit listrik tenaga air). Menurutnya, potensi ini bisa menjadi penjawab atas kenaikan harga bahan energi. Masyarakat Sulawesi Tenggara dapat memanfaatkannya untuk mengantisipasi krisis energi.

Sayangnya, sebagaimana pengalaman yang sebelum-sebelumnya, pemerintah cenderung tidak konsisten merelasikan antara teori dan praktik pengelolaan kepariwisataan, khususnya dampak terhadap lingkungan. Guru Besar IPB dari Departemen Ekonomi Sumber daya dan Lingkungan, Prof. Dr. Akhmad Fauzi menyebutkan, kerusakan ekologis terjadi akibat kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia belum memperhatikan modal alam secara serius. Alih fungsi lahan, tingginya laju pencemaran lingkungan terutama air, dan menurunnya keanekaragaman hayati merupakan bentuk-bentuk kerusakan alam yang terjadi di Indonesia. Level kerusakannya pun cukup parah.

Bahkan, peneliti Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB, Yoppie Christian, menyatakan bahwa tahun 2020 adalah tahun kekalahan lingkungan. Mengapa demikian? Menurut Yoppie, karena pertama, tidak ada kata “lingkungan” yang muncul dalam visi politik kepemimpinan Jokowi-Amin selama lima tahun kepemimpinan. Kata kunci yang lebih sering muncul adalah investasi, infrastruktur, dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Sederhananya, sejak awal, tidak ada agenda politik lingkungan yang hendak dilaksanakan oleh penguasa. 

Kedua, tidak ada satu pun elite yang melihat bahwa pandemi Covid-19 berkorelasi dengan hancurnya lingkungan alami. Penyangkalan ini menyingkirkan opsi-opsi alternatif dalam pengelolaan lingkungan untuk mencegah krisis lebih jauh. Justru percepatan ekonomi berbasis sumber daya alam dianggap sebagai jawaban mengatasi krisis akibat pandemi.

Ketiga, penyangkalan ini menghasilkan sesat pikir dan praktik yang lebih parah yakni justru melihat lingkungan dan sumber daya alam sebagai komoditas yang harus dieksploitasi agar negara lepas dari krisis. Penerbitan UU Minerba dan UU Ciptakerja tidak lain adalah manifestasi untuk memudahkan eksploitasi sumber daya alam, dan bukan dilandasi watak serta niat untuk melakukan konservasi.

Keempat, selain lingkungan yang dijadikan pelampiasan krisis, para aktor yang selama ini mengadvokasi dan merepresentasi lingkungan justru mengalami kriminalisasi dan kekerasan. Aktivis lingkungan, masyarakat adat maupun masyarakat pedesaan yang selama ini hidupnya sangat terkait dengan pemanfaatan dan penyelamatan sumber daya alam justru sering kali ditindas oleh negara dan alat-alat keamanannya baik tentara dan polisi maupun sesama sipil yakni preman-preman. Sungguh sangat kental aroma kapitalistik dalam konstelasi alam yang cantik.

Sayangnya, hal itu tidak mungkin terjadi. Hampir kekayaan alam negeri ini dikuasai dan dikelola oleh individu dan asing. Keuntungan yang diperoleh dari kekayaan alam itu hanya dinikmati segelintir orang. Negara sendiri hanya mendapat pajak dari pengelolaannya. 

Riayah Negara

Syariat telah mengatur tata kelola sumber daya alam yang sudah Allah ciptakan untuk umat manusia. Allah menetapkan alam sebagai milik umum yang tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi. Begitu juga Allah melarang eksploitasi besar-besaran SDA baik di darat dan di laut. Sebab, tujuan bernegara dalam Islam bukan untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi, namun menjadikan Islam rahmat bagi seluruh alam. 

Hal tersebut dapat dilihat dari pengklasifikasian kekayaan negara yang terbagi menjadi tiga pos, yaitu kekayaan umum, negara, dan individu. Kekayaan umum terdiri dari segala bentuk pendapatan yang berasal dari harta milik umum, yaitu seluruh SDA. Kekayaan negara adalah pendapatan dari kharaj, jizyah, fai, ganimah, dll. 

Pendapatan kedua pos itu diserahkan pada negara dan akan dikelola untuk rakyat dan keperluan administrasi negara. Karena merupakan kepemilikan umum sehingga diharamkan bagi swasta untuk menguasainya. Sebab, hal itu berarti menghalangi umat mendapatkan haknya. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: air, api, dan padang gembalaan.” (HR Abu Dawud dan Ibn Majah). 

Pada prinsipnya, negara hanya menarik biaya dari masyarakat sebesar biaya produksi, transportasi, serta penelitian dan pengembangan dari produk yang dihasilkan. Negara juga boleh-boleh saja mengambil keuntungan dari harga produk, dengan catatan tidak memberatkan dan hasilnya dikembalikan untuk kepentingan masyarakat dalam bentuk lain. 

Sedangkan pada individu, negara memberikan kelonggaran untuk mengurus hartanya, termasuk ketika melakukan usaha. Syaratnya, usaha itu tidak bertentangan dengan Islam. Seorang individu boleh memiliki usaha sebesar apa pun, boleh melakukan ekspor asalkan sesuai syariat Islam, tidak boleh menjual barang haram, bukan barang tambang atau yang masyarakat luas butuhkan, dan tidak melakukan jual-beli dengan orang yang memusuhi Islam.

Dengan adanya pengaturan ini, keuangan negara akan stabil. Apalagi semua aktivitas berbasis riil, bukan nonriil. Sehingga, harta terus berputar dan ekonomi terus berjalan. Nuansa yang dibangun antarindividu pun bukan persaingan bebas karena semua yakin bahwa rezeki tidak akan tertukar. 

Para aghniya’ (orang kaya) akan berlomba membuka usaha untuk mempekerjakan pengangguran. Negara juga akan memberikan modal bagi penduduk yang tidak bekerja agar bisa membuka usaha tanpa akad riba. Modal yang diberikan berasal dari pos kekayaan negara. Dalam hal ini, negara menjalankan tugasnya sebagai pengurus urusan rakyat.

Konsep seperti ini hanya ada dalam Islam. Islam mewajibkan setiap pemimpin untuk melaksanakan tugasnya dengan baik dengan sepenuh hati dan ketaatan. Dengan begitu, kesejahteraan masyarakat akan terwujud. Wallahualam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak