Desa Pariwisata : Konsep Pengembangan Daerah yang Salah Kaprah



Wahyuni Mulya 
(Aliansi Penulis Rindu Islam)



Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) RI Sandiaga Salahuddin Uno  menargetkan pembentukan sebanyak 6.000 desa wisata selama tahun 2024 untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Dari jumlah tersebut, pembentukan desa wisata pada 2024 adalah 80% dari 7.500 desa wisata yang dikenal memiliki potensi wisata

Sandiaga menerangkan, ketika 6.000 desa wisata tersebut berhasil terwujud maka nantinya dapat berkontribusi sekitar 4,5 persen terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) secara nasional yakni penambahan sekitar 4,4 juta lapangan kerja di bidang ekonomi kreatif. Secara makna, desa wisata adalah kawasan pedesaan yang menawarkan suasana asli desa, baik segi ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, hingga arsitektur bangunan. Dengan adanya desa wisata akan terjadi penyerapan tenaga kerja di desa sehingga dapat mengurangi pengangguran. Desa wisata juga diharap dapat menggaet para wisatawan sehingga menghasilkan pendapatan yang besar. Pendapatan ini akan digunakan untuk mengembangkan desanya.

Desa wisata merupakan sebuah konsep pengembangan daerah yang menjadikan desa sebagai destinasi wisata, sesuai dengan prinsip utamanya, yaitu desa membangun. Prinsip ini berfokus terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan usaha produktif sesuai potensi dan sumber daya lokal.

Menjadi pertanyaan, apakah program desa wisata benar-benar dapat memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya warga desa itu sendiri? Ataukah sekadar “kedok” untuk kepentingan segelintir pihak?

Harapan Keuntungan Berlipat yang Tidak Tepat

Upaya pemerintah menargetkan 6.000 desa wisata demi pertumbuhan ekonomi sangat tidak tepat. Jika prediksi tersebut benar, desa wisata ini hanya menyumbang PDB sebanyak 4,8%, padahal di sisi lain, negara ini memiliki SDA yang dikeruk oleh asing. Sebagai contoh Freeport, saat ini negara hanya memperoleh US$4,016 miliar pada 2024 sebagai bentuk penguasaan 51% saham di perusahaan itu. Kita dapat menghitung sendiri, jika seluruh pendapatan tambang itu untuk negara, hasilnya tentu akan dua kali lipat.

Masalahnya, tambang Indonesia tidak hanya Freeport. Ada banyak SDA yang apabila dikuasai negara akan menambah pendapatan negara. Penghasilan ini dapat digunakan untuk menyejahterakan masyarakat. Negara bisa memberikan fasilitas pelayanan yang memadai sehingga akan berakibat pula pada pertumbuhan ekonomi.

Dampak yang Lebih Besar

Program desa wisata ini juga terkesan tidak tepat sasaran dan membuka peluang terjadinya praktik korupsi yang lebih marak lagi. Wajar kemudian kalau perangkat desa mengajukan tambahan masa jabatan untuk berkuasa dengan alasan menjalankan proyek-proyek desa wisata ini, walaupun hasil dari proyek ini belum jelas dan belum terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi di pedesaan.

Desa wisata yang mengandalkan budaya, ekonomi, ataupun wisata alam, juga sangat rawan dengan ancaman sosial. Misalnya, budaya nenek moyang yang saat ini kembali marak dilaksanakan. Banyak ritual yang sebenarnya bertentangan dengan agama yang justru menjadi tonggak desa wisata. Kegiatan itu dilakukan tanpa sadar. Akibatnya fatal, yaitu menggerus akidah umat. Mereka lebih percaya takhayul, khurafat, hingga animisme dan dinamisme.

Bahaya lainnya adalah bidang sosial. Secara tidak langsung, desa wisata bisa memberikan sumbangsih yang memadai dalam hal kerusakan. Adanya budaya asing yang masuk di desa akan membuat perilaku masyarakat rusak, seperti budaya pacaran, seks bebas, minum minuman keras, hingga berpakaian. Bahkan, masyarakat juga terpengaruh gaya hidup materialistis. Mereka boleh memasukkan berbagai program untuk desa wisata asalkan mendatangkan keuntungan. Semua itu bisa terjadi karena sekularisme, materialisme, dan kapitalisme masuk dan mengubah pola pikir masyarakat.

Inilah bentuk kemalasan negara dalam meningkatlkan pertumbuhan ekonomi, dengan meninggalkan pengolahan sumber-sumber strategis. Kemandirian dan pemberdayaan masyarakat dijadikan sebagai alasan.  Apalagi pariwisata lebih banyak resiko sosial dibandingkan keuntungan materi, seperti ancaman adanya liberalisasi dan eksploitasi alam, budaya serta gaya hidup. Kemandirian desa sedang diupayakan terwujud namun hal itu tetap berpotensi masuknya investor, yang dapat menjerat desa. Investasi ini  jelas akan menguntungkan adalah pengusaha. Sementara rakyat dibiarkan dengan resiko-resiko yang membahayakan kelangsungan hidupnya dengan keuntungan materi yang tak bermakna.

Pertumbuhan Ekonomi dalam Islam

Islam memandang pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan hanya bisa dilakukan oleh penguasa dengan memperbaiki kondisi ekonomi secara makro dan mikro. Pemerintah harus memastikan kebutuhan hidup individu per individu terpenuhi optimal dan ada peluang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Islam akan mengoptimalisasi sumber daya strategis termasuk SDA  untuk meningkatkan pemasukan. Negara akan membangun industri-industri yang mendukung departemen peperangan serta industri padat karya lainnya yang mampu menyerap lapangan kerja. Negara juga akan memberikan tanah yang tidak bertuan kepada siapa saja yang mau menghidupkan tanah tersebut. Bahkan, negara juga akan memberikan modal kepada masyarakat yang butuh modal usaha tanpa ada riba. Dengan mekanisme seperti itu, masyarakat akan memenuhi kebutuhannya.

Dari Ibnu Abbas ra. berkata bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, rumput (pohon), api (bahan bakar), dan harganya haram.” Abu Said berkata, “Maksudnya air yang mengalir.” (HR Ibnu Majah).

Di sisi lain, tujuan utama pariwisata adalah sebagai sarana dakwah. Objek wisata dalam Khilafah akan didesain untuk membuat manusia (muslim maupun nonmuslim) untuk tunduk dan takjub ketika menyaksikan keindahan alam. Juga menumbuhkan keimanan seseorang yang belum beriman pada Zat yang menciptakan alam semesta dan seisinya, serta makin mengukuhkan keimanan bagi mukmin.

Tempat rekreasi bukan semata-mata untuk meraup keuntungan, seperti dalam sistem kapitalisme. Perbedaan tujuan utama inilah yang mewujudkan perbedaan dalam kebijakan masing-masing terhadap bidang rekreasi. Dengan dijadikannya bidang ini sebagai sarana dakwah, negara Islam tidak akan mengapitalisasinya untuk kepentingan ekonomi dan bisnis. Negara dengan konsep Islam memahami bahwa kesejahteraan masyarakat, baik desa atau kota, adalah tanggung jawabnya. Alhasil, dengan sistem keuangan berbasis baitulmal, Khilafah akan membangun desa dan kota secara merata. Bagi masyarakat tidak mampu, yakni yang tergolong delapan orang yang berhak menerima zakat, akan dijamin dari pos zakat sampai mereka keluar dari golongan tersebut. Demikianlah, masyarakat desa maupun kota tidak perlu membentuk desa wisata hanya demi meraup untung. Kalaupun ada, tempat wisata itu hanya dipakai sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, bukan malah menjauhkan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak