Oleh: Wity
(Aktivis Muslimah Purwakarta)
Kelakuan remaja saat ini kian barbar. Tak cukup berpesta minuman keras (miras), membunuh dan memperkosa pun dilakukan. Lihat saja kelakuan pemuda berinisial J (16 tahun) di Desa Babulu Laut, Kecamatan Babulu, Kalimantan Timur itu. Setelah puas berpesta miras, ia membantai satu keluarga berjumlah 5 orang yang notabene tetangganya. Tak cukup sampai di situ, ia pun memperkosa jasad sang ibu dan anak pertama korban. (Republika.co.id, 08/02/2024)
Menurut pemberitaan media, perilaku barbar tersebut dipicu oleh persoalan asmara dan dendam. Sungguh mengerikan! Apakah nyawa manusia lebih murah dari persoalan asmara dan dendam? Apakah emosi manusia memang semudah itu tersulut? Ataukah ada persoalan yang jauh lebih rumit dari sekadar emosi manusia?
Perilaku barbar yang dilakukan kawula muda bukan terjadi sekali dua kali, namun telah berulang kali. Jenisnya pun beragam. Mulai dari perundungan, pembegalan, pemerkosaan, meneror warga di jalanan dengan membawa senjata tajam, hingga pembunuhan. Para pelaku yang usianya masih belasan tahun dan berstatus pelajar itu seakan tak mengenal rasa takut. Takut akan dosa, mungkin tak lagi dirasa. Setidaknya, harus ada rasa takut akan sanksi pidana, bukan? Namun tampaknya, sanksi pidana pun tak mampu membuat mereka takut. Sebegitu lemahkah hukum di dunia hingga para pelaku kejahatan tak pernah jera?
Siapapun tak bisa menyangkal bahwa hukum di dunia, termasuk di negeri ini, jauh dari rasa keadilan apalagi membuat efek jera. Terlebih jika pelakunya masih terkategori anak-anak, meski sudah berusia 16 atau 17 tahun, akan sulit menjatuhkan hukuman setimpal karena terbentur Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Pasalnya, dalam undang-undang tersebut memuat sekian banyak pasal yang intinya adalah peringanan.
Reza Indragiri seorang psikolog porensik, dalam sebuah wawancara di fakta tvOne mengungkapkan bahwa, sudah saatnya kita melakukan revisi besar-besaran terhadap UU SPPA. (TvOnenews.com)
Bagaimana kelanjutan nasib J, pemuda barbar yang telah membantai satu keluarga tersebut? Kabarnya, telah ditetapkan sebagai tersangka dan akan dijatuhi sanksi berat sesuai dengan pasal 340 KUHP subs pasal 338 KUHP subs Pasal 365 KUHP Jo Pasal 80 Ayat (3) Jo Pasal 76 c UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup. Akankah keadilan terwujud? Entahlah. Proses hukum masih berjalan.
Banyaknya pelaku kejahatan yang masih berstatus pelajar pun telah mencoreng dunia pendidikan. Banyak yang menilai, ini adalah hasil dari pendidikan kapitalisme-sekuler. Hal ini terlihat dari komentar-komentar netizen yang menanggapi pemberitaan kasus tersebut. Tak salah jika kita menilai demikian. Pasalnya, pendidikan saat ini memang berbasis sekulerisme. Aqidah Islam tidak dijadikan landasan dalam penyusunan kurikulum pendidikan. Alhasil, pendidikan pun hanya melahirkan generasi yang tak paham akan tujuan hidup yang benar. Program pendidikan karakter pun tak mampu melahirkan generasi berakhlak terpuji.
Namun, jika kita hanya menyalahkan pendidikan, tentu tak adil. Para pendidik tentu akan protes dan mengatakan bahwa itu tak sepenuhnya salah kami. Bagaimana dengan pendidikan dalam keluarga? Bukankah kebanyakan anak bermasalah itu berasal dari keluarga bermasalah? Bukankah keluarga adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anak?
Itu juga betul. Keluarga sebagai madrasatul ula menjadi pondasi bagi pembentukan generasi. Namun, fungsi keluarga ini tampaknya telah hilang. Tak jarang, keluargalah yang menjadi pencetak generasi rusak, alih-alih menjadi pencetak generasi unggul. Sulitnya memenuhi kebutuhan hidup menyebabkan banyak orang tua tersibukkan dengan pekerjaan. Hak-hak anak pun terabaikan. Lahirlah anak-anak yang kekurangan kasih sayang. Senang berbuat kerusakan di luar demi mendapatkan perhatian. Minimnya pemahaman agama orang tua, menyebabkan anak tumbuh tanpa pemahaman agama yang utuh dan minim adab. Gagap akan tujuan hidup yang benar. Tak takut berbuat maksiat dan kerap berperilaku barbar.
Semua masalah itu pada hakikatnya berpangkal pada satu sebab. Yakni, sistem kapitalisme sekuler. Diakui atau tidak, nyatanya kita hidup di tengah-tengah sistem yang mengesampingkan aturan Allah dari kehidupan. Sistem yang lebih mengagungkan aturan manusia daripada aturan Sang Pencipta Manusia. Maka, baik sistem pendidikan, sistem sanksi dan hukum, sistem sosial, sistem pemerintahan, dan yang lainnya pun berpangkal dari akar yang sama, yakni kapitalisme-sekuler. Inilah yang menjadi sebab utama lahirnya generasi barbar. Lantas, adakah harapan untuk mengubah generasi barbar ini menjadi generasi beradab?
Harapan itu selalu ada selagi kita mau mengusahakannya. Jika melihat masalah kerusakan generasi ini adalah masalah yang sistemik, maka dibutuhkan solusi sistemik pula. Tak cukup dengan merevisi undang-undang. Tak cukup hanya dengan merubah kurikulum pendidikan. Tak cukup pula hanya dengan memperbaiki pendidikan di rumah. Tapi, harus dengan mengubah sistem kehidupan kapitalisme-sekuler menjadi sistem Islam kaffah.
Dengan penerapan sistem Islam kaffah, maka sistem sanksi yang diterapkan pun adalah sistem sanksi Islam. Sanksi dalam Islam diberlakukan bagi siapa saja yang telah baligh. Meski usianya masih 17 tahun, karena ia telah baligh, maka baginya berlaku sanksi sebagaimana yang telah ditetapkan. Jika ia membunuh, maka dikenai sanksi qishas atau membayar diyat jika keluarganya memaafkan. Tak ada upaya meringankan hukuman dengan alasan masih anak-anak. Karena yang dimaksud anak-anak dalam Islam adalah yang belum mencapai usia baligh. Bukan yang di bawah usia 18 tahun sebagaimana definisi anak-anak dalam sistem kapitalisme-sekuler.
Sistem Islam pun akan menerapkan pendidikan berbasis akidah Islam. Pendidikan Islam berorientasi pada pembentukan kepribadian Islam serta penguasaan sains dan teknologi. Telah terbukti bahwa sistem pendidikan Islam mampu melahirkan ilmuwa-ilmuwan berakhlak mulia. Karya-karyanya pun masih bisa dirasakan hingga saat ini.
Keluarga dalam sistem Islam akan mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Negara akan terus melakukan pembinaan Islam di tengah-tengah masyarakat. Sehingga para orang tua pun memiliki pemahaman Islam yang utuh. Ayah sebagai qawwam dalam keluarga dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Ibu sebagai Ummu warobatul bait juga mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Dari sinilah akan lahir generasi-generasi beradab. Generasi-generasi berakhlak terpuji.
Masyarakat Islam pun memiliki budaya amar ma'ruf nahi munkar. Sehingga tidak akan membiarkan terjadinya kemaksiatan. Masyarakat tak akan berdiam diri ketika ada yang meminum khamr dengan dalih hak asasi manusia. Karena dalam Islam, amar ma'ruf nahi munkar adalah kewajiban.
Negara pun akan menjaga suasana ketaatan dengan menutup celah-celah yang dapat memicu terjadinya kemaksiatan. Seperti menutup pabrik khamr, memblokir tayangan-tayangan yang mengumbar syahwat, dan lain sebagainya.
Demikianlah Islam akan mengubah generasi barbar menuju generasi berperadaban dan berakhlak mulia. Tidakkah kita rindu akan lahirnya generasi seperti Imam As-Syafi'i, Al-jazari, Muhammad Al-Fatih, dan Shalahuddin Al-Ayubi? Bukankah ini saatnya umat bersatu untuk mewujudkan kembali peradaban muliadi bawah naungan Islam?[]
Tags
Opini