Antisipasi Minim, Kasus DBD Terus Meningkat



Oleh: Ummu Ayla
(Pemerhati Keluarga dan Generasi)



Serangan penyakit Demam di Kabupaten Banyuasin cukup mengkhawatirkan. Data Dinas Kesehatan (Dinkes), ada 74 kasus DBD yang terdeteksi selama Januari 2024. Sebanyak empat kasus berakhir dengan kematian.

"Data hingga bulan Januari, sudah empat orang meninggal dunia dari 74 kasus DBD," kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuasin, Rini Pratiwi ketika ditemui usai Pencanangan Gerakan Serentak Pemberantasan Sarang Nyamuk (Gertak PSN) di Kabupaten Banyuasin, Selasa (30/1).

Kembali kasus DBD meningkat dan bahkan sudah merengut jiwa termasuk anak-anak.
DBD adalah penyakit yang dapat dicegah  dengan beberapa Langkah yang harus dilakukan secara terpadu oleh berbagai pihak termasuk masyarakat. 
Kesadaran masyarakat akan Pemberantasan Sarang Nyamuk ( PSN ) dan juga perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) sangat dibutuhkan.
Kesadaran akan adanya Pencegahan  harus dipahami sejak dini.

Indonesia masuk ke dalam salah satu dari 30 negara endemik dengue dengan kasus tertinggi. Data Kemenkes RI hingga pekan ke-52 2023 telah mencatat 98.071 kasus dengan 764 kematian. Pada 2024, angkanya diprediksi akan makin tinggi. Oleh karena itu, DBD harus menjadi perhatian bersama.

Masih data dari Kemenkes, total kasus DBD meningkat dari 73.518 orang pada 2021 menjadi 131.265 kasus pada 2022. Kematian juga meningkat dari 705 pada 2021 menjadi 1.183 orang pada 2022. Mirisnya, 73% dari 1.183 kematian akibat DBD adalah anak-anak berusia 0—14 tahun. (Kompas, 3-2-2024).

Misalnya di Kalimantan Selatan, per 27 Januari 2024, sebanyak 1.062 orang terjangkit DBD dan 8 orang di antaranya meninggal dunia. Sebagian besar pasien yang dirawat adalah anak-anak usia 5—13 tahun. Dinkes Kalsel mengatakan bahwa Kasus DBD bulan ini meningkat signifikan dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun lalu. (Kompas, 1-2-2024)

DBD sangat berbahaya sebab tingkat kematiannya tinggi dan hingga kini belum ditemukan obatnya. Terlebih, sebagian besar yang terjangkiti adalah anak-anak. Adapun penyebab tingginya DBD dipicu oleh musim hujan yang membuat jentik nyamuk sangat mudah berkembang biak sebab banyak genangan air yang dibiarkan di sekitar permukiman, seperti talang air, ban bekas, kaleng, botol, sampah, dsb.

Namun demikian, DBD adalah penyakit yang dapat dicegah. Salah satu caranya adalah dengan melakukan PSN 3M, yaitu Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan Menguras tempat penampungan air, Menutup tempat penampungan air dan mendaur ulang barang yang memiliki potensi untuk dijadikan sarang nyamuk Aedes aegypti.

Walhasil, perilaku hidup suatu masyarakat yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungannya menjadi faktor pemicu yang signifikan dalam terciptanya wabah DBD. Kesadaran akan adanya pencegahan harus dipahami sejak dini agar terwujud sistem kehidupan yang bersih dan sehat. Semua ini harus dilakukan terpadu oleh keluarga, masyarakat, dan negara.

Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari penyuluhan pentingnya PSN 3M, hingga fogging (pengasapan dengan bahan insektisida untuk membunuh nyamuk dewasa dengan skala yang luas). Namun, mengapa wabah DBD trennya malah kian naik? Setidaknya ada tiga alasan.

Pertama, ruang hidup rakyat yang amat memprihatinkan. Data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), mayoritas masyarakat Indonesia tidak bisa mengakses rumah layak huni. Jangankan untuk bisa menjaga lingkungannya untuk tetap bersih dan sehat, tinggal di rumah layak huni saja masih sulit. Bahkan, banyak dari mereka yang tidak memiliki rumah dan terpaksa menggelandang.

Kedua, mayoritas masyarakat Indonesia berpenghasilan rendah, alias miskin. Untuk bisa memenuhi asupan bergizi pada anak saja masih kesulitan, padahal agar penanganan DBD berhasil, imunitas tubuh harus terjaga, salah satunya dengan memberikan asupan bergizi pada anak. Sayangnya, jangankan asupan bergizi, untuk bisa makan kenyang saja masih kesusahan.

Ketiga, tidak adanya jaminan kesehatan yang mumpuni. BPJS bukanlah jaminan kesehatan sebab nyatanya rakyat masih harus membayar premi. Alhasil, masih banyak rakyat yang tidak mampu mengakses kesehatan dengan layak. Terlebih, birokrasi BPJS yang rumit sering kali menghambat terpenuhinya hak sehat bagi rakyat.

Kebijakan Kapitalistik
Melihat faktor di atas, maka pencegahan DBD tidak cukup hanya dengan melakukan penyuluhan, melainkan juga membutuhkan kekuatan ekonomi. Bagaimana rakyat bisa hidup sehat, hidup layak, menjaga lingkungannya dan asupan makanannya, jika ekonomi mereka lemah? Jangankan membersihkan genangan air, akses terhadap air bersih saja kesulitan.

Oleh karena itu, lagi-lagi akar persoalan wabah DBD tidak bisa dilepaskan dari penetapan kebijakan yang kapitalistik. Kebijakan ekonomi yang kapitalistik menjadikan rakyat sulit mendapatkan seluruh kebutuhan dasarnya, termasuk rumah layak huni. Ini karena negara menyerahkan urusan pengadaan perumahan kepada swasta.

Jika sudah swasta, orientasinya adalah keuntungan, bukan lagi terpenuhinya kebutuhan rakyat akan papan. Alhasil, kita akan menemukan pembangunan perumahan yang masif, tetapi semua itu tidak bisa diakses rakyat karena harganya tidak terjangkau. Hunian mewah terus dibangun, orang kaya terus menambah rumahnya atas nama investasi, sedangkan rakyat miskin memiliki satu rumah layak saja tidak bisa.

Belum lagi kebijakan ekonomi yang kapitalistik menjadikan rakyat kian miskin. Kebijakan pro pengusaha ditetapkan, misalnya kebijakan upah dalam UU Omnibus Law Cipta kerja, formulasi baru dalam beleid tersebut menjadikan upah buruh makin rendah, sedangkan kebutuhan pokok makin tinggi. Kondisi ini menjadikan rakyat kian jauh dari asupan bergizi.

Begitu pun kebijakan kesehatan yang kapitalistik, menjadikan akses kesehatan hanya bisa dirasakan oleh segelintir orang, padahal penderita DBD harus segera ditangani agar risiko kematian bisa terhindari. Fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan pun menumpuk di perkotaan, tetapi minim di pedesaan. Semua itu karena—lagi-lagi—sistem kesehatan yang juga diserahkan pada swasta.

Berbeda halnya dengan Islam. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin telah memiliki sejumlah mekanisme yang komprehensif untuk bisa mengatasi wabah. Pertama, Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap seluruh kebutuhan rakyatnya. Semua kebutuhan pokok, dari mulai sandang, pangan, papan, termasuk kesehatan, keamanan, dan pendidikan, akan bisa diakses oleh seluruh rakyatnya.

Misalnya, pembangunan perumahan wajib dikelola negara, adapun pelibatan swasta boleh saja hanya sifatnya membantu sehingga orientasi pembangunan adalah terpenuhinya kebutuhan papan warga, bukan bisnis. Kekuatan baitulmal negara juga akan mampu membangun perumahan layak huni bagi seluruh rakyatnya.

Begitu pun kebutuhan asupan bergizi, negara akan menjamin semua laki-laki pencari nafkah mendapatkan pekerjaan. Jika ada kepala rumah tangga yang tidak bisa mencari nafkah karena sakit atau cacat dan tidak ada kerabatnya yang bisa membantu, maka negara bisa turun untuk menyantuni keluarga tersebut.

Begitu pun sistem kesehatan yang dipegang langsung oleh negara, menjadikan akses kesehatan dapat dirasakan oleh semua warga. Fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan tersebar merata di seluruh wilayah. Alhasil, penanganan pasien yang terkena DBD, misalnya, akan dengan mudah dan cepat tertangani.

Oleh karena itu, jika kebijakan berfokus pada kemaslahatan umat, kebutuhan pokok rakyat akan terpenuhi, termasuk kesehatan. Ditambah dengan edukasi bahwa menjaga kesehatan adalah bagian dari perintah Allah Taala. Atas dorongan takwa, rakyat dengan ringan menjaga lingkungannya agar tetap bersih dan sehat. Inilah jaminan Islam untuk memberantas wabah dengan tuntas. 
Wallahu'alam bisshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak