UU ITE Memukul Bukan Merangkul.




Oleh : Ummu Salman



Kelompok masyarakat sipil mengkritisi Perubahan Kedua atas Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [UU ITE] yang baru saja ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2024 yang diteken presiden pada 2 Januari itu masih memuat pasal-pasal bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses, demikian menurut organisasi-organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE [Koalisi Serius].
“Pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia,” tulis mereka dalam pernyataan pada 4 Januari.

Koalisi ini merupakan gabungan 25 organisasi masyarakat sipil, termasuk Aliansi Jurnalis Independen, Amnesty International Indonesia, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Mereka menyebut, UU ITE di Indonesia adalah salah satu contoh tren di dunia bagaimana undang-undang terkait kejahatan dunia maya disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
_ _
Revisi tahap I , Pasal karet?
_ _

Sejak disahkan pada 2008 dan revisi pertama 2016, kata koalisi, “UU ITE telah mengkriminalisasi pembela hak asasi manusia , jurnalis, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, hingga warga yang melontarkan kritik sah.”
Koalisi sejak awal menyoroti tertutupnya proses revisi sehingga memberikan sedikit ruang bagi keterlibatan dan pengawasan publik.
“Kurangnya transparansi ini menimbulkan risiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan elite, dibandingkan perlindungan hak asasi manusia,” kata mereka.
Koalisi menyebut, “DPR bersama pemerintah juga menambahkan ketentuan baru, salah satunya Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang.”
“Ketentuan ini masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis,” tulis mereka.
Koalisi menyebut beberapa pasal bermasalah dalam versi revisi ini.
Pasal-pasal itu, antara lain Pasal 27 ayat (1) hingga (4) “yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil;” Pasal 28 ayat (1) dan (2) “yang kerap dipakai untuk membungkam kritik;” hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B.

Di antara PR besar UU ITE selama ini adalah adanya pasal-pasal karet. Pasal karet tersebut di antaranya perihal pencemaran nama baik dan ancaman pribadi.

Salah satu pasal karet tentang pencemaran nama baik adalah pasal 27. Pasal tersebut sudah menjadi salah satu pasal karet UU ITE sejak versi I mengalami sejumlah perubahan. Pasal ini dirampingkan dari empat ayat menjadi dua ayat. Ayat yang mengatur penghinaan atau pencemaran nama baik dan pemerasan atau pengancaman dihapus. Namun, ada dua pasal baru yang mengatur hal serupa, yaitu pasal 27A dan 27B.
“Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik,” bunyi pasal 27A. Sedangkan pasal 27B mengatur larangan mengancam orang lain menggunakan saluran elektronik.

Untuk pasal karet ancaman pribadi, revisi UU ITE mengubah ketentuan pasal karet lainnya, yaitu pasal 29. Awalnya, pasal itu mengatur ancaman kekerasan yang ditujukan secara pribadi. Versi revisinya menghilangkan ketentuan “pribadi” sehingga pasal 29 di UU ITE jilid II berubah menjadi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti.”
_ _
Revisi tahap II, menjadi alat pukul baru?
_ _

Namun demikian, kita tidak bisa menampik bahwa UU ITE jilid II ini juga berpotensi menjadi alat pukul baru. Hal ini tersebab revisi UU tersebut memberikan wewenang kepada penyidik kepolisian atau pejabat ASN tertentu di lingkungan pemerintah yang relevan di bidang ITE untuk menutup akun media sosial. Ini sebagaimana aturan dalam pasal 43 huruf i.
Selain itu, revisi ini membuka pintu intervensi pemerintah sehingga pemerintah punya wewenang mengintervensi penyelenggaraan sistem elektronik berkat revisi UU ITE. Ini diatur dalam pasal 40A. Berikutnya, ayat (2) pasal tersebut mengatur pemerintah berwenang memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan penyesuaian pada atau melakukan tindakan tertentu guna mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif.
Juga ayat (3) yang berbunyi, “Penyelenggara Sistem Elektronik wajib melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2).” Dalam hal ini, penyelenggara sistem elektronik diancam sanksi administratif; teguran tertulis; denda administratif; penghentian sementara; hingga pemutusan akses jika tidak taat.
Lebih aneh lagi, revisi UU ini justru melegalisasi pengecualian sanksi bagi pelanggar aturan informasi kesusilaan dan pencemaran nama baik. Hal itu diatur pasal 45 yang berbunyi, “Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipidana dalam hal: a. dilakukan demi kepentingan umum; b. dilakukan untuk pembelaan atas dirinya sendiri; atau, c. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan.”
Ini semua menunjukkan bahwa revisi jilid II UU ITE justru rawan konflik kepentingan. Hal ini sekaligus menyamarkan batas antara kawan dan lawan. Dengan kata lain, selama ada kepentingan dan kemanfaatan, UU tersebut berpotensi digunakan untuk memukul pihak-pihak yang dianggap berseberangan dengan penguasa kendati sebelumnya adalah kawan. Begitu pun sebaliknya, pihak yang sebelumnya menjadi lawan juga akan sangat mungkin dirangkul ketika itu dianggap menguntungkan penguasa.
_ _
Strategi penggunaan teknologi informasi dalam sistem Khilafah. 
_ _ 

Bongkar pasang UU sebagaimana revisi jilid II UU ITE ini sejatinya tidaklah mengherankan. Hal yang demikian itu sudah biasa terjadi dalam demokrasi kapitalisme yang senantiasa berasas pada kemanfaatan dan berjalan demi memuluskan berbagai kepentingan.
Akibatnya, standar benar (hak) dan salah (batil) menjadi samar dan tidak jelas. Begitu pula dengan fungsi teknologi informasi yang semestinya memudahkan urusan manusia, nyatanya di tangan sistem yang batil malah disetir menjadi alat legalisasi represifisme oleh penguasa. Inilah yang tidak boleh terjadi.

Kondisi ini sangat berbeda dengan strategi penggunaan teknologi informasi dalam sistem Khilafah, yang tidak lain adalah sebagai sarana dakwah dan penyampai kebenaran. Di dalamnya, penguasa yang bertakwa berperan menerapkan aturan Allah Taala secara kafah.
Dalam bidang teknologi informasi, Khilafah tidak akan menggunakannya untuk tindakan spionase kepada rakyat demi kepentingan yang tidak syar’i. Ini karena aktivitas memata-matai sesama muslim adalah sebuah keharaman.

Allah Taala berfirman, 

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS Al-Hujurat [49]: 12).

Di sisi lain, teknologi informasi beserta sarana media lainnya akan difungsikan secara strategis untuk mencerdaskan umat, penyalur aspirasi rakyat, serta alat muhasabah dari rakyat kepada para pejabat perangkat negara. Dalam Islam, penyampaian pendapat oleh rakyat adalah untuk menegakkan keadilan dan menjaga agar jalannya pemerintahan terhindar dari kezaliman.
Allah Taala berfirman, 
_"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah, sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”_(QS Ali-Imran [3]: 110).
 Islam telah menerapkan amar ma'ruf nahi munkar pada penguasa sebagai perkara yang besar, yakni mengoreksi kezaliman yang mereka lakukan terhadap rakyat. Begitu mulianya amal ini sehingga disebut oleh Rasulullah SAW sebagai jihad yang paling utama. 

Sungguh, sistem Islam akan memposisikan teknologi informasi dan media sebagai sarana untuk berperan aktif menegakan keadilan dan menjaga semua lapisan masyarakat agar senantiasa dalam keridaan Allah Taala. 
Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak