Oleh : Istiaisyah Amiyni, S.Kep.,Ners.
(Aktivis Muslimah)
Memasuki tahun 2024 rakyat Indonesia disodorkan fakta mengenai outstanding utang pemerintah yang mencapai Rp. 8.041 triliun, atau setara 38,11% terhadap produk domestik bruto (PDB) per November 2023. Pemerintah berdalih utang tersebut masih dianggap aman.
Jika melihat komposisinya, utang pemerintah didominasi oleh surat berharga negara (SBN) dengan denominasi rupiah. Tercatat nilai utang pemerintah dalam bentuk SBN (Surat Berharga Negara) sebesar Rp 7.124,98 triliun, atau setara 88,61% dari total utang pemerintah. Sementara nilai utang pemerintah yang berasal dari pinjaman sebesar Rp 916,03 triliun, atau setara 11,39% total utang pemerintah. Nilai itu terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp 29,97 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 886,07 triliun. (Kompas.com, 20/12/2023)
Dilansir dari kemenkeu.go.id. yang menjadi alasan pemerintah berutang ialah untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur demi mengejar ketertinggalan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Kemenkeu sendiri mengungkapkan secara gamblang terjadi peningkatan utang secara besar-besaran. Pemerintah mengambil kebijakan fiskal ekspansif dimana Belanja Negara lebih besar daripada Pendapatan Negara. Namun kemenkeu menampik, walaupun angkanya sangat besar tetapi dampak yang dihasilkan bernilai positif dalam alokasi belanja produktif Indonesia.
Sekalipun nilai utang pemerintah tidak melanggar amanat Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dengan defisit APBN masih terjaga kurang dari 3% terhadap PDB dan rasio utang kurang dari 60% dari PDB. Namun menjadi koreksi bersama bahwasannya kondisi keuangan pemerintah sedang tidak baik-baik saja. Sebab fakta yang didapati, pemerintah menarik utang untuk membayar utang. Lebih mirisnya lagi bukan membayar pijaman pokok, melainkan hanya membayar bunga pinjaman (riba).
Atas nama utang, kedaulatan negara bisa tergadai. Sebab utang luar negeri menjadi salah satu alat penjajahan ekonomi atas negara pengutang. Dimana setiap kebijakan pemerintah bisa di stir oleh pemberi utang. Seperti masuknya investasi asing terhadap penguasaan sumber daya alam (SDA) Indonesia yang berbasis utang.
Rakyat sendiri tidak menikmati hasil utang tersebut, bahkan pemerintah semakin menguraikan kewajibannya dalam mensejahterakan hak-hak rakyat. Sebagai contoh, subsidi kesehatan, pendidikan, pupuk dan lain sebagainya. Sedangkan utang semakin melambung tinggi dan pembayarannya mengandalkan APBD dan APBN yang dibebankan kepada rakyat melalui pajak.
Sesungguhnya negara haruslah mandiri secara ekonomi dan politik, namun hal ini mustahil dalam sistem ekonomi kapitalisme. Sebab dalam sistem ekonomi kapitalisme utang bukanlah pinjaman semata, namun disertai bunga (riba).
Utang ribawi dengan alasan apa pun adalah haram. Perbuatan para penguasa negeri muslim yang menarik utang ribawi jelas terkategori dosa besar. Apalagi, utang ribawi ini menimbulkan bahaya (dharar) terhadap kaum muslim. Seperti di kuasainya wilayah dan kekayaan alam oleh pihak asing pemberi pinjaman.
Walhasil, utang negara yang mengandung riba jelas merupakan perkara batil yang menjerumuskan negeri ini ke dalam cengkeraman asing. Sudah saatnya umat melepaskan negeri ini dari jerat utang ribawi yang sekaligus menjadi alat penjajahan mereka (asing).
Rusaknya sistem ekonomi negeri ini serta jerat utang ribawi yang mencekik tidak akan selesai hanya dengan pergantian kepemimpinan. Diperlukan perubahan seluruh aspek kehidupan melalui penerapan syariat Islam secara kaffah. Artinya, jeratan utang ribawi itu baru bisa terlepas jika umat kembali menerapkan syariat Islam dalam institusi Khilafah, bukan dalam sistem demokrasi dan kapitalisme sebagaimana saat ini.
Siapa pun yang memimpin negeri ini, jika tidak menerapkan syariat Islam, maka selamanya akan terjerat dalam utang ribawi yang jelas haram dan telah terbukti menyengsarakan.
Wallahu alam bi ashshawab
Tags
Opini
Maa syaa Allah
BalasHapusKondisi saat ini makin terpuruk, sudah saatnya beralih kepada sistem ciptaan Allah
BalasHapus