Sertifikasi, Solusikah?




Oleh : Bunda Twins



Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo didampingi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Hadi Tjahjanto menyerahkan 2.000 sertipikat tanah di GOR Premium Pertamina Cilacap, pada Selasa (2/1). 

Sertipikat diserahkan secara langsung kepada 10 orang perwakilan dari masyarakat penerima sertipikat tanah hasil program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan Redistribusi Tanah.

Dalam sambutannya, Presiden mengatakan, sertipikat tanah merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah. Dengan adanya sertipikat tanah, masyarakat dapat terhindar dari konflik antar tetangga karena sudah jelas tertera di dalam sertipikat terkait data kepemilikan tanah.

"Kalau sudah pegang sertipikat, ada yang ngaku-ngaku, bukan tanah saya, buktinya ini, di sini (di dalam sertipikat, red) ada semuanya, nama pemegang haknya siapa, luasnya berapa, semua ada. Tidak bisa lagi digugat karena sudah pegang tanda bukti hak atas tanahnya," kata Presiden RI.

Menurutnya, dengan memegang sertipikat, masyarakat pun dapat memiliki akses untuk mengajukan modal ke perbankan untuk pengembangan usaha. Namun, presiden berpesan agar masyarakat dapat mengkalkulasi dengan benar terkait kebutuhannya.

"Setelah dapat (sertipikat, red) kalau mau menyekolahkan, silakan. Tapi saya titip kalau dapat pinjaman dari bank, semuanya dipakai modal usaha, dipakai modal kerja, jangan sampai ada yang dibelikan mobil, motor, TV, itu barang-barang kemewahan, itu duitnya bank, sanes duite panjenengan," lanjut Jokowi.

Pada kesempatan yang sama, Menteri ATR/Kepala BPN, Hadi Tjahjanto melaporkan, sebanyak 2.000 sertipikat tanah yang diserahkan kali ini terdiri dari 1.122 sertipikat hasil PTSL kepada masyarakat di Kabupaten Cilacap dan Banyumas, serta 878 sertipikat hasil Redistribusi Tanah kepada masyarakat di Kabupaten Cilacap yang bersumber dari tanah timbul. 

"Sertipikat Redistribusi yang bersumber dari tanah timbul ini merupakan yang pertama kali dilakukan di Indonesia," ujar Hadi Tjahjanto.

Sementara itu, Pj. Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana yang juga hadir pada kesempatan tersebut menyatakan dukungannya terhadap percepatan sertipikasi tanah untuk masyarakat, terutama di Jawa Tengah. Pihaknya akan terus bekerja sama dengan Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Tengah serta mengedukasi dan mempersuasi masyarakat terkait pentingnya sertipikat tanah. 

"Mengingat kepemilikan sertipikat ini memiliki banyak manfaat di antaranya untuk mendukung kemajuan ekonomi," tuturnya.

Hadir dalam kesempatan ini, sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju; Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN, Raja Juli Antoni; Direktur Jenderal Penataan Agraria, Dalu Agung Darmawan; Staf Ahli Bidang Partisipasi Masyarakat dan Pemerintah Daerah, Yulia Jaya Nirmawati; Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Tengah, Dwi Purnama beserta jajaran; perwakilan Forkopimda Provinsi Jawa Tengah; serta Bupati Cilacap dan Banyumas beserta jajaran Forkopimda setempat.

--
Konflik Lahan, Paradoks Pembangunan 
--

Pemerintah menilai bahwa perkara sertifikat telah memicu banyaknya kasus sengketa lahan, baik antarwarga, warga dengan pemerintah, atau warga dengan perusahaan. (Detik, 28-12-2023). Oleh karenanya, untuk menyelesaikan konflik lahan, pemerintah menggenjot penerbitan sertifikat.

Namun, kebijakan pemerintah ini dinilai tidak nyambung. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi dan Jaringan Zainal Arifin menyatakan bahwa penerbitan sertifikat tanah masyarakat tidak dapat menyelesaikan konflik agraria. 

Menurutnya, pembagian sertifikat tanah kepada masyarakat memang merupakan kewajiban pemerintah untuk mengakui secara hukum hubungan antara masyarakat dengan tanah yang dia miliki. Namun, pembagian sertifikat tanah tidak akan menyelesaikan konflik agraria.

“Persoalannya apakah sertifikasi tanah itu mengurangi konflik agraria? Kami melihat dan mencatat sebenarnya persoalannya bukan dalam konteks sertifikasi tanah, tetapi kaitannya dengan penyelesaian konflik-konflik agraria yang masih ada. Ada ketimpangan kekuasaan yang masih belum terselesaikan,” ungkap Zainal.

Tanah-tanah yang disertifikasi oleh pemerintah saat ini bukanlah tanah berkonflik, melainkan tanah masyarakat yang memang belum disertifikasi karena berbagai faktor. Sementara itu, banyak konflik agraria belum terselesaikan karena sejumlah proyek strategis nasional (PSN) merampas lahan masyarakat seperti yang terjadi di desa Wadas, Jawa Tengah; Pulau Rempang, Riau; dan Pulau Obi, Halmahera Selatan.

Upaya penyelesaian konflik agraria dengan menerbitkan sertifikat adalah reforma agraria palsu. Justru melalui UU Cipta Kerja, konflik agraria makin meningkat. Ini adalah paradoks pembangunan. Seharusnya pembangunan membawa kebaikan bagi rakyat, tetapi kenyataannya justru mengorbankan rakyat.

Negara seharusnya hadir menyelesaikan konflik lahan, tetapi justru negaralah yang menjadi penyebab persoalan dengan memberikan izin konsesi secara ugal-ugalan. Setelah adanya UU Cipta Kerja, terjadi pemutihan terhadap sawit secara gila-gilaan di kawasan hutan. Tampak bahwa kebijakan pemerintah tidak berpihak pada rakyat, tetapi pada pemilik modal.

--
Aturan Memudahkan Perampasan Lahan
--

Dengan adanya konflik lahan yang terjadi, pemerintah justru membuat aturan yang memudahkan perampasan terhadap lahan masyarakat dengan dalih proyek pembangunan nasional. Pada Kamis (21-12-2023), Walhi merilis Siaran Pers nomor 5618 “Demi Genjot Proyek Strategis, Jokowi Terbitkan Peraturan Percepat Perampasan Tanah Rakyat”.

Pada siaran pers tersebut, Walhi menjelaskan bahwa Presiden Jokowi pada Jumat (8-12-2023), telah mengeluarkan Perpres 78/2023 tentang Perubahan atas Perpres 62/2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional (Perpres 78/2023). Walhi menyebut perpres ini sebagai produk regulasi sesat pikir yang lahir atas kegugupan dan kegagapan Jokowi terkait kelanjutan ambisi proyek nasional pada satu tahun terakhir masa kepemimpinannya.

Perpres tersebut secara historis dikhususkan bagi kelancaran PSN. Peraturan baru ini memperluas ruang lingkup proyek yang termasuk dalam kategori Pembangunan Nasional. Jika Perpres 56/2017 spesifik ditujukan untuk PSN, maka kebijakan terbaru ini justru diperluas untuk kepentingan proyek-proyek selain PSN.

Menurut Walhi, cara pandang yang dituangkan dalam Perpres 78/2023 makin memperlihatkan kesesatan logika hukum Jokowi. Terdapat beberapa masalah fundamental dalam peraturan tersebut.

Pertama, presiden gagal memahami makna Hak Menguasai Negara (HMN). Kedua, presiden menganggap rakyat tidak memiliki hak atas tanah yang dikuasainya. Ketiga, “santunan” dalam beleid ini mengaburkan posisi keberadaan dan hak masyarakat yang seharusnya mendapat jaminan perlindungan dari negara dalam menguasai dan mengelola tanah.

Keempat, simplifikasi solusi yang disebut dengan penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan nasional melalui uang dan/atau pemukiman kembali justru melahirkan konflik yang berkepanjangan.

Kelima, dengan Perpres 78/2023, maka dengan dalih pembangunan nasional, masyarakat yang mengelola tanah bisa diusir dari tanah tersebut dengan santunan.

Tampak bahwa perpres tersebut dibuat oleh pemerintah bukan untuk kemaslahatan rakyat, melainkan untuk kepentingan penguasa dan pengusaha sehingga mudah menguasai lahan milik rakyat. Perpres ini jelas akan membuat konflik lahan makin banyak terjadi pada masa depan. Walhasil, bukannya selesai, konflik lahan akan makin parah.

Konflik lahan merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem kapitalisme demokrasi yang melahirkan politik oligarki. Di dalam sistem kapitalisme demokrasi, penguasa dituntut oleh kekuatan global untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan banyak melakukan pembangunan. Namun, pembangunan yang dilakukan tersebut bukan untuk kebutuhan masyarakat, melainkan untuk melayani kepentingan para pengusaha yang menjadi cukong politik sehingga penguasa tersebut bisa berada di kursi kekuasaannya.

Terjadi simbiosis mutualisme ada penguasa dan pengusaha. Penguasa butuh untuk berkuasa dan pencitraan dengan melakukan pembangunan sehingga butuh investor, sedangkan pengusaha butuh memperbesar bisnisnya dengan melakukan investasi. Keduanya lalu bekerja sama dengan menghalalkan segala cara demi melancarkan ambisinya, termasuk dengan menyerobot tanah warga.

--
Solusi Hakiki
--

Kondisi ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam karena Islam memiliki konsep yang jelas tentang kepemilikan lahan. Islam mengakui tiga jenis kepemilikan, yaitu individu, umum, dan negara. 

Lahan yang menjadi milik individu rakyat akan dilindungi dan dijamin keamanannya sehingga tidak akan ada pihak mana pun yang merampasnya. Individu pemilik tersebut wajib mengelola lahan tersebut dan tidak boleh menelantarkannya.

Sedangkan kepemilikan umum, seperti hutan, padang rumput, pertambangan, dsb., tidak boleh dikuasai individu (swasta). Yang berhak mengelolanya adalah negara dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat. 

Dengan demikian, meski pengusaha punya modal besar, tidak boleh menguasai lahan milik umum. Penguasa (khalifah) tidak boleh memihak pada pengusaha dalam hal konflik lahan. Hal ini karena penguasa di dalam Islam berposisi sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) rakyat, termasuk pelindung dalam hal kepemilikan lahan.

Selain itu, arah pembangunan negara di dalam sistem Islam (Khilafah) adalah menjadikan proyek pembangunan apa pun dilaksanakan untuk kepentingan rakyat, yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat orang per orang, bukan untuk kepentingan segelintir pemilik modal. 

Dengan demikian, kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah, misalnya bentuk pembangunannya, besaran dananya, dan sebagainya, adalah kebijakan yang melindungi rakyat dan membawa kemaslahatan untuk rakyat. Inilah solusi hakiki agar konflik lahan tidak terjadi lagi. Wallahualam bishshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak