Perampasan Lahan, Kapitalisme Biangnya? Oleh : Nabila Sinatrya



                   Oleh : Nabila Sinatrya

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, ada 2.710 kejadian berkaitan dengan konflik agraria dalam kurun 2015-2022 atau hampir 9 tahun pemerintahan Joko Widodo efektif berjalan. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, konflik agraria ini meletus di banyak wilayah di Tanah Air, berdampak kepada 5,8 juta hektare tanah yang menjadi sumber penghidupan sekitar 1,7 juta keluarga.


Problem ini diperkuat dalam Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional (Perpres 78/2023).

Melansir dari walhi.or.id (21/12/2023) peraturan presiden itu lahir dari kegugupan dan kegagapan Jokowi terkait kelanjutan ambisi proyek nasional pada satu tahun terakhir masa kepemimpinannya.

Perampasan lahan ini dibaca pemerintah karena belum meratanya sertifikat tanah. 80 juta lahan belum bersertifikat dari 126 juta lahan, sehingga mudah sekali muncul sengketa lahan  antar-warga, warga dengan pemerintah, atau warga dengan perusahaan. Belum lagi, saat itu Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) hanya mampu mengeluarkan 500.000 sertifikat per tahun. Dengan kondisi seperti itu, maka membutuhkan waktu hingga 160 tahun lagi agar seluruh lahan di Indonesia memiliki sertifikat, (detik.com/28/12/2023).

Realitasnya konflik lahan menjadi salah satu persoalan yang banyak dihadapi oleh masyarakat. Aturan yang dibuat pemerintah malah mempermulus perampasan lahan milik rakyat atas nama pembangunan, padahal tak sedikit pun menguntungkan kepentingan rakyat. 

Negara hari ini memiliki pembangunan yang mengikuti arah pertumbuhan ekonomi, tak heran jika dibutuhkan banyak investasi dan konsekuensinya terhadap perluasan lahan. Terlebih dengan berkembangnya masyarakat yang membuat kebutuhan terutama pada aspek tempat tinggal meningkat.

Sayangnya hal ini berbanding terbalik dengan luasnya lahan. Tidak tersedianya lahan memaksa adanya konversi alih fungsi lahan terbuka hijau menjadi kawasan pemukiman atau industri. Dari sinilah masalah bermunculan, mulai dari tatanan kota, aspek ekonomi, juga perubahan iklim.

Konflik lahan adalah satu keniscayaan dalam sistem kapitalisme demokrasi, di mana logika politik demokrasi mengharuskan pemerintah yang baik itu melibatkan swasta (para pemilik modal/kapital) dalam meng-create pembangunan. Atas nama pembangunan, menjadi keharusan bagi kapital untuk memaksa peralihan lahan milik masyarakat untuk didirikan industri atau juga jalan tol. Logika ini menempatkan pemerintah sebagai regulator bukan sebagai penanggung jawab pembangunan tatanan daerah.

Islam memiliki konsep jelas atas kepemilikan lahan, dan menjadikan penguasa sebagai pengurus dan pelindung rakyat termasuk pelindung kepemilikan lahan. Ada tiga kepemilikan dalam Islam yaitu kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Setiap warga berhak atas kepemilikan lahan dan senantiasa diingatkan untuk tidak menelantarkan lahan tersebut, jika selama tiga tahun ditelantarkan maka gugurlah hak kepemilikannya.

Imam Abu Ubaid dalam Al-Amwâl hlm. 328 menjelaskan bahwa Khalifah Umar ra. pernah mengambil alih lahan yang ditelantarkan milik Bilal bin Al-Harits al-Mazani yang diberi Rasulullah saw. 
Perampasan terhadap kepemilikan individu adalah hal yang dilarang dalam Islam. Pembangunan industri akan dikaji diwilayah yang tidak mengganggu kependudukan dan tentu akan berada dalam pengaturan negara. Negara dalam Islam akan mengatur demi kesejahteraan masyarakat. 

Wallahu’Alam bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak