Oleh. Messy Ikhsan
Seolah tak ada kata usai, konflik sengketa dari dulu hingga sekarang tak juga menuai solusi. Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bercerita pada 2015-2016 banyak warga yang memintanya untuk segera menyelesaikan masalah sengketa lahan. Hal ini diungkapkan pada saat sambutan pembagian sertifikat tanah di Sidorarjo, Jawa Timur.
"Di mana-mana saya tuh kalau masuk ke desa tuh di telinga saya selalu, tahun-tahun 2015-2016 'urusan sertifikat pak, urusan sertifikat pak, sengketa pak, konflik lahan pak' tapi masih ada 80 juta (lahan) yang belum bersertifikat, baru 46 juta dari 126 juta yang harusnya bersertifikat," ungkapnya, dikutip dari YouTube Kementerian ATR/BPN, Rabu (27/12/2023).
Saat itu memang baru 46 juta bidang tanah di Indonesia yang mendapat sertifikat. Hal itu memicu banyaknya kasus sengketa lahan, baik antar-warga, warga dengan pemerintah, atau warga dengan perusahaan.
Konflik lahan nyata menjadi salah satu persoalan yang dihadapai banyak rakyat. Namun faktanya negara justru membuat aturan yang memudahkan perampasan tanah rakyat dengan dalih pembangunan. Padahal nyatanya bukan untuk kepentingan rakyat ataupun menguntungkan rakyat sama sekali. Bahkan tak jarang rakyat harus terusir dari tanahnya sendiri dengan dalih pendirian PSN, sedangkan rakyat sudah terang-terangan menolaknya seperti yang terjadi di Rempang.
Berlindung di balik kata pembagunan, lalu alam dirusak untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Lahan yang nyatanya milik rakyat dibiarkan dikelola oleh asing dan aseng. Sudah terlalu banyak janji-janji yang diobral agar rakyat mau tunduk memberikan lahan seperti pemberantasan pengangguran, nyata angkanya pengganguran masih saja tetap tinggi.
Lantas, di balik konflik sengketa lahan? Siapa yang sebenarnya diuntungkan? Tentu bukan berpihak pada masyarakat. Konflik lahan adalah satu keniscayaan dalam sistem kapitalisme demokrasi melahirkan politik oligarki yang hanya menguntungkan penguasa dan pengusaha. Bahkan sedari awal hadirnya sistem kapitalisme tak pernah diciptakan untuk rakyat. Lantas, masihkah kita berharap pada sistem rusak lagi merusak tersebut?
Islam memiliki konsep jelas atas kepemilikan lahan, dan menjadikan penguasa sebagai pengurus dan pelindung rakyat termasuk pelindung kepemilikan lahan. Lahan dikelola oleh negara Islam, kemudian hasilnya dikembalikan untuk jaminan kehidupan rakyat sehingga menjamin kehidupan rakyat bisa sejahtera.
Kekayaan alam tak boleh diserahkan kepada asing dan aseng. Kalaupun ada lahan yang kosong dan tak diurus oleh pemiliknya bukan dengan menjual lahan tersebut ke swasta, melainkan negara akan mengambil alih dan memberikan pada pihak yang bisa mengurusnya secara baik. Sehingga bisa memberikan lowongan pekerjaan pada rakyat dan kemudian hasilnya bisa dikelola untuk kepentingan rakyat.
Proyek Pembangunan apapun dalam negara Islam dilaksanakan untuk kepentingan rakyat dan didukung kebijakan yang melindungi rakyat dan membawa kemaslahatan rakyat. Tidakkah kita rindu dengan sistem yang tak hanya memikirkan penjaminan hidup manusia tapi juga akan semesta? Sudah cukup kerusakan alam ini terjadi dan saatnya kembali pada sistem Islam.
Allah berfirman yang artinya:
Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (dampak) perbuatan mereka. Semoga mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Surat Ar-Rum/30: 41).