Oleh ; Ummu Aqeela
Ketua Koperasi Produsen Tahu dan Tempe Indonesia (Primkopti) Jakarta Timur Suyanto mengatakan, bahwa fenomena kelangkaan kedelai dalam dua minggu terakhir yang ditemani dengan kenaikan harga tidak pertama kali dialami oleh pengrajin tahu dan tempe di seluruh Indonesia.
"Saat ini, harga kedelai tidak dapat dihindari dan akan terus meningkat hingga batas harga yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah masalah yang membuat pengrajin tahu dan tempe di seluruh Indonesia panik," kata Suyanto, Kamis (28/12/2023)
Dia juga menyatakan bahwa penyebab kelangkaan kedelai belum diketahui pasti.
"Hanya ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa kelangkaan kedelai ini disebabkan oleh siklus impor dan pengurangan lahan pertanian di sumbernya. Akibatnya, persediaan kedelai menjadi semakin terbatas dan menyebabkan kenaikan harga di pasaran," tambahnya. (POSKOTA, 28 Desember 2024)
Saat membicarakan kelangkaan kedelai dan kenaikan harga, seringkali hanya menjadi isu menarik yang dibahas namun luput dari tindakan. Oleh karena itu, kita perlu menyajikan solusi komprehensif yang berfokus pada stabilisasi stok dan harga, memperbaiki tata kelola kedelai, dan memenuhi standar harga yang diharapkan oleh pengrajin tahu dan tempe.
Kita membutuhkan keberpihakan pemerintah untuk pengrajin tahu dan tempe dalam menyelesaikan masalah kelangkaan kedelai dan kenaikan harganya, bukan menjadikan mereka pintu masuk menitipkan kepentingan atau kesempatan di tengah kesulitan.
Masalah kebutuhan atas makanan merupakan hal yang penting bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Maka, dalam sistem Islam dalam bentuk kebijakan khilafah, sektor pertanian mendapatkan perhatian khusus dari negara/khilafah. Sejarah telah mencatat bagaimana sistem Islam mampu merealisasikan masalah swasembada pangan ini dengan baik.
Dalam menjalankan politik pertaniannya khilafah akan melakukan kebijakannya, yakni:
Pertama,
Kebijakan di sektor hulu guna meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan dengan menggunakan sarana produksi pertanian yang lebih baik. Kebijakan pemberian subsidi untuk keperluan sarana pertanian akan diterapkan oleh khilafah.
Dan diwan ‘atha (biro subsidi) dalam baitul mal akan menjamin semua kebutuhan para petani baik modal, peralatan, benih, teknologi, teknik budidaya, obat-obatan, research, pemasaran, informasi dan sebagainya, baik secara langsung atau semacam subsidi. Maka, seluruh lahan yang ada akan produktif. Negara pun akan membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi dan sebagainya sehingga arus distribusi lancar.
Ekstensifikasi pertanian dilakukan guna meningkatkan luasan lahan pertanian yang diolah. Negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mendukung terciptanya perluasan lahan pertanian dengan menjamin kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dengan jalan menghidupkan lahan mati (ihya’ul mawat) dan pemagaran (tahjîr) bila para petani tidak menggarapnya secara langsung. Negara juga dapat memberikan tanah pertanian (iqtha’) yang dimiliki negara kepada siapa saja yang mampu mengolahnya.
Jika lahannya terbatas, khilafah akan membuka lahan baru, seperti mengeringkan rawa dan merekayasanya menjadi lahan pertanian lalu dibagikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya, seperti yang pernah dilakukan masa Umar bin Khathab di Irak. Negara pun akan menerapkan kebijakan yang dapat mencegah proses alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Daerah yang kurang subur bisa dijadikan area perumahan dan perindustrian. Jika ada lahan yang dibiarkan selama tiga tahun oleh pemiliknya, negara akan mengambil alih untuk diberikan kepada mereka yang mampu mengolahnya.
Kedua,
Kebijakan di sektor industri pertanian. Khilafah akan mendorong berkembangnya sektor riil saja, sedangkan sektor non riil yang diharamkan seperti bank riba dan pasar modal tidak akan diizinkan untuk melakukan aktivitas. Khilafah pun akan menjaga stabilnya harga dengan menghilangkan penyimpangan mekanisme pasar dari bentuk penimbunan, intervensi harga dan sebagainya. Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah SAW melarang penimbunan makanan.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi)
Jika pedagang atau siapa pun menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar, pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai kebijakan khalifah dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan yang dilakukannya.
Semua ini hanya bisa dilakukan jika negeri ini menerapkan syariat Islam secara kaffah, dalam naungan Daulah khilafah. Karena sampai kapanpun hukum Allah tidak bisa disandingkan dengan hukum buatan manusia.
Wallahu’alam bishowab