Oleh : Ni’mah Fadeli
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Pemilu sudah di depan mata. Pesta demokrasi yang rutin digelar lima tahun sekali ini tentu tak berbiaya murah. Namanya saja pesta, tentu saja harus meriah bahkan mewah. Semua partai politik (parpol) pun berlomba menyambut euphoria ini. Tak terhitung berapa banyak baliho di pinggir jalan mengusung nama calon mereka, dari yang ukurannya wajar hingga luar biasa besar. Berbagai program digelar untuk menarik simpati rakyat. Semuanya tentu memerlukan aliran dana yang tidak sedikit. Dana tersebut ternyata bukan hanya berasal dari dalam negeri namun juga dari luar negeri.
Padahal ada aturan yang tertuang dalam Pasal 40 ayat (3) huruf a UU Nomor dua Tahun 2008 tentang Partai Politik yang melarang parpol untuk menerima atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apapun. Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Angraini mengatakan jika parpol melanggar ketentuan tersebut maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda dua kali lipat dari jumlah dana yang diterima. (cnnindonesia.com, 11/01/2024).
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan bahwa ada dana sebesar Rp 195 miliar yang mengalir dari luar negeri ke 21 rekening bendahara parpol. Kepala Biro Humas PPATK, Natsir Kongah menyebutkan jika dana dari luar negeri tersebut adalah sebagai bentuk kepedulian dalam rangka menjaga demokrasi di tanah air. (cnbcindonesia.com, 12/01/2024). PPATK juga mencatat ada pembukaan 704 juta rekening baru menjelang Pemilu. Ivan Yustiavandana sebagai Kepala PPATK menyatakan bahwa memang terjadi peningkatan transakasi yang berlipat-lipat dari lingkup parpol, nominalnya pun fantastis yaitu tembus hingga Rp 80,6 triliun. (liputan6.com, 11/01/2024).
Aliran dana deras dari berbagai pihak tentu sangat membantu parpol dalam penyelenggaraan pemilu namun apakah dana segar tersebut hanya sekadar hibah tanpa ada maksud dibelakangnya, apalagi dana yang berasal dari pihak asing. Tentu sudah menjadi rahasia umum jika para pemberi dana pasti mengharap imbalan dibalik dana yang dialirkan. Maka tak heran jika idealisme parpol menjadi semu. Pemberi dana apalagi dengan jumlah terbesar akan sangat mengintervensi dalam setiap keputusan. Belum lagi kedaulatan negara yang tergadai dengan sokongan dana dari luar negeri.
Politik oligarki yaitu politik dimana kekuasaan negara hanya berada di segelintir orang saja memang tak dapat dihindari dalam sistem kapitalisme. Semakin banyak modal yang dimiliki maka kekuasaan yang diperoleh akan semakin besar itu adalah kepastian dalam sistem ini. Kebijakan yang diambil oleh siapapun pemenang pemilu pada akhirnya hanya merupakan perpanjangan tangan para penyokong dana. Maka muncullah ketetapan yang meski mayoritas rakyat menolak tetap saja berjalan, seperti omnibus law maupun kasus Rempang.
Dengan rusaknya tatanan negara dalam demokrasi kapitalisme ini semestinya umat muslim sadar bahwa tak akan ada harapan dalam sistem ini. Sementara Islam sebagai ideologi memiliki sistem lengkap yang membawa rahmat bagi seluruh alam yang sudah terbukti selama berabad-abad lamanya. Islam melindungi bukan hanya muslim namun seluruh umat manusia dan alam sekitar. Hal ini dikarenakan Islam berasal dari Allah, pencipta dunia beserta seluruh isinya.
Islam mengenal pemilu. Namun pemilu hanya salah satu jalan dan bukan menjadi satu-satunya cara dalam mengangkat pemimpin. Pemilu dalam Islam juga tidak akan menjadi pesta yang menghabiskan dana. Islam mempunyai metode baku dalam mengangkat pemimpin, yaitu melalui baiat atau janji untuk taat. Pemimpin dalam Islam wajib hanya menerapkan syariat Islam seperti yang terdapat dapat Al Qur’an.
"Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memerdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik."
(QS. Al-Ma'idah : 49)
Salah satu syarat seorang pemimpin dalam Islam adalah merdeka, artinya mandiri dan tidak dapat diintervensi oleh siapapun. Setiap kebijakan yang diambil pemimpin hanyalah untuk menerapkan syariat Islam tanpa keinginan lain selain untuk meraih ridha Allah. Islam tidak mengenal politik oligarki karena pemimpin bertanggung jawab penuh atas rakyat yang dipimpin sehingga fungsi pemimpin adalah mensejahterahkan dan melindungi bukan memanfaatkan rakyat demi kepentingan segelintir orang.
Wallahu a’lam bishawab.
Tags
Opini