Pemilihan Pemimpin Hanya Adil dalam Sistem Islam



Oleh : Luthfi k*



Aliran dana pemilu dari berbagai pihak menunjukkan pemilu berpotensi sarat kepentingan, intervensi asing, bahkan konflik kepentingan. Berdasarkan berita yang barubaru ini muncul, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan adanya aliran dana sebesar Rp 195 miliar dari luar negeri ke 21 rekening bendahara partai politik atau parpol (cnbcindonesia.com 08/01/24). Karena biaya politik dalam negeri kita cukup tinggi, hal ini bisa membuka jalan masuk para pemilik modal untuk masuk ikut berkecimpung dalam dunia perpolitikan.

Keterlibatan investor dalam proses politik dapat mengarah pada oligarki, yang hanya mewakili kepentingan kelompok kaya dan berkuasa, dibandingkan kepentingan masyarakat umum. Dalam sistem demokrasi, pemilihan pemimpin dimaksudkan untuk mewakili suara rakyat. Namun, ketika partai politik menjadi tergantung pada dana investor, hal ini dapat menimbulkan konflik kepentingan. Pihak-pihak ini mungkin merasa berkewajiban untuk mendukung kepentingan investornya, dibandingkan kepentingan masyarakat. 

Hal ini dapat menyebabkan situasi di mana hanya segelintir orang yang mempunyai suara dalam proses politik, sehingga mengarah pada oligarki. Sudah menjadi rahasia umum, bekerja untuk siapa para pemimpin negeri ini? Jika kita melihat kembali ke belakang bagaimana para pemimpin negeri ini dengan mudah membuat kebijakan sampai perundang-undangan, membangun infrastruktur yang terus berkelanjutan. Sampai bagaimana cara mereka mengesahkan perundang-undangan yang notabene hanya menyengsarakan rakyat, bagaimana cara mereka agar infrastruktur yang dibangun terus dilakukan tanpa memperhatikan bagaimana nasib rakyatnya yang kehilangan rumah dan pekerjaan.

Sudah sadarkah bahwa sistem demokrasi ini hanya akan membawa pada kehancuran negeri? Bermula pada tingginya biaya politik, menyebabkan para calon pemimpin negeri bukan terpaksa tapi mereka memang sedang bekerja sama untuk para pemodal mereka. Mereka bahkan membuat janji palsu demi memperoleh suara, lalu mereka lupakan janji itu dan berbalik menyiksa rakyat dengan pelan.

Beginilah realitas kepemimpinan dalam sistem demokrasi. Keberpihakan hanya ditujukan kepada kelompok tertentu, dan tidak mampu membawa kemaslahatan pada seluruh manusia. Bahkan sesungguhnya sistem ini hanya akan menjerumuskan manusia pada dosa yang mengundang murka Allah.

Oleh karena itu, dalam melakukan pemilihan seorang pemimpin harus dilakukan sesuai dengan syariatnya Allah. Karena sejatinya seorang pemimpin itu dipilih untuk menegakkan hukum Allah SWT secara kaffah. Ia tak boleh melaksanakan hukum buatan manusia, sekalipun hukum rakyat yang menghendaki. Pemimpin yang tidak akan terjerumus dalam buruknya sistem demokrasi hanya akan terwujud dalam sistem Islam, satu-satunya sistem yang mampu menerapkan Islam secara kaffah.

Karena berdasarkan syariat Islam, maka semua proses dan mekanisme pemerintahan akan selamat, termasuk mekanisme pemilihan pemimpinnya. Dengan menerapkan model pemilihan berdasar syariat Islam, pasti terjamin kualitas dan akuntabilitasnya. Terbebas dari segala kecurangan dan politik balas budi sebagaimana yang terjadi pada sistem demokrasi sekarang.

Pengukuran kapabilitas seseorang pantas menjadi pemimpin umat atau tidak tergantung pada kesesuainnya dengan hukum syariat. Sebagaimana cara pemilihan dan pembaiatan pemimpin umat atau Khalifah radhiyallahu anhum, proses penetapan calon yang harus memenuhi syarat in’iqad, yakni laki-laki, Muslim, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu. Kemudian diambil pendapat dari representasi umat, tidak mesti dipilih langsung oleh rakyat karena pengangkatan Khalifah hukumnya fardu kifayah. Jika telah ditetapkan Majelis Umat yang akan memilih dan mengangkatnya, maka kifayah inipun terpenuhi. Sehingga Khalifah bisa dibai’at dengan bai’at in’iqad.

Setelah itu, barulah seluruh rakyat wajib membaiatnya dengan bai’at tha’ah. Pada saat itu rakyat telah menyerahkan pengurusan semua hajatnya kepada Khalifah. Demikianlah terwujud Khalifah dan ia menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan. 

Karena itu dalam sistem Islam, tidak diperlukan pemilihan pemimpin yang berkala dan membuang banyak energi, biaya dan waktu. Karena sejatinya selama seorang Khalifah masih terjaga dari pelanggaran hukum syari’at, adil dalam memutuskan dan tidak keluar dari syarat-syarat pengangkatannya, maka Khalifah masih boleh memegang jabatannya tanpa ada pembatasan waktu.

Wallahu’alam bishshawab.

*Aktivis Muslimah Tulungagung

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak