Pembagian Sertifikat, Bukan Solusi Tuntas Atasi Konflik Agraria




Oleh : Eti Fairuzita



Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo didampingi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Hadi Tjahjanto hari ini Selasa (2/1) menyerahkan 2000 sertifikat tanah di GOR Premium, Komperta Cilacap.
Dari 2000 sertifikat yang diserahkan, 1122 diantaranya merupakan hasil program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) kepada masyarakat di Kabupaten Cilacap dan Banyumas.

Sedangkan 878 sertifikat lainnya merupakan Redistribusi Tanah kepada masyarakat di Kabupaten Cilacap yang bersumber dari 
tanah timbul. 
Secara simbolis sertifikat tanah diserahkan langsung oleh Presiden Jokowi kepada 10 orang perwakilan penerima.
Rinciannya ada enam orang  penerima sertifikat PTSL dan empat orang penerima sertifikat redistibusi tanah.
Presiden Jokowi dalam sambutannya mengatakan, sertifikat merupakan tanda hak atas tanah yang dimiliki.

Di sisi lain, konflik agraria di Cilacap sendiri sudah menahun. Konflik antara warga dengan Yayasan Sosial Kematian Dharma Mulia misalnya, sudah berjalan selama 43 tahun. Namun dalam waktu dua bulan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto mengklaim, bisa menemukan solusi yang damai dan bermartabat bagi semua pihak yaitu dengan menerbitkan sertifikat tanah melalui program redistribusi tanah. "Sertifikatnya dijaga dengan baik, tanahnya dijaga batas-batasnya, dengan tetangga berkomunikasi dengan baik, sehingga mafia tanah tidak bisa ganggu hak dan milik kita," ujar Hadi lewat keterangan yang diterima, Jumat (3/2).

Redistribusi tanah adalah pembagian tanah-tanah yang dikuasai oleh negara dan telah ditegaskan menjadi obyek landreform yang diberikan kepada petani penggarap yang telah memenuhi persyaratan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961.
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi, tanah yang diperoleh oleh petani penggarap penerima redistribusi tanah akan diberikan status Hak Milik.

Namun apakah upaya pembagian sertifikat dan redistribusi tanah ini bisa menyelesaikan konflik agraria yang selama ini terus terjadi ? Mengingat Cilacap sendiri teridentifikasi sebagai salah satu wilayah dengan jumlah konflik agraria terbanyak di Jawa tengah.
Berdasar catatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Serikat Tani Mandiri (Setam) Cilacap, luasan tanah yang disengketakan mencapai kisaran 12 ribu hektare.
Ditarik ke belakang, sengketa tanah itu bermula pada masa nasionalisasi aset pemberontakan DI/TII dan paska-tragedi 1965. Tak aneh jika di kabupaten ini ada beberapa desa hasil bedol desa dengan alasan pengamanan.

Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menginventarisasi tujuh permasalahan kawasan, tanah, dan lingkungan di Kabupaten Cilacap. Hal itu disampaikan dalam Rakor bersama Pemkab Cilacap secara virtual, Selasa (16/2/2021).
Tujuh permasalahan kawasan, tanah, dan lingkungan di Kabupaten Cilacap adalah rencana pengembangan kawasan industri Donan, pengembangan kawasan industri baru di Cilacap Timur, alih fungsi kawasan hutan menjadi permukiman di Desa Cimrutu Kecamatan Patimuan, dan sengketa lahan antara Perhutani dengan masyarakat pada tanah yang diklaim sebagai obyek TORA.
Kemudian konflik tanah PTPN IX Kebun Kawung Blok Cikuya di Desa Bantar Kecamatan Wanareja, permohonan tanah sempadan sungai Kalidonan oleh masyarakat RW 23 Kelurahan Donan, dan pengelolaan kawasan Nusakambangan dengan pembuatan rencana pemanfaatan dan pembagian zonasi.

Deputi PLK Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Nani Hendriati menjelaskan, pihaknya telah memberikan saran dan usulan penyelesaian masalah-masalah tersebut. Untuk pengembangan kawasan industri Donan di Kelurahan Kutawaru misalnya. Dari rencana pengembangan seluas 4.000 ha, dalam revisi RTRW hanya terakomodir 800 ha.
Sehingga pemerintah pusat memfasilitasi pengembangan pemanfaatan wilayah Kutawaru dari kawasan hutan menjadi kawasan industri. Sedangkan pengembangan kawasan industri baru di Cilacap Timur menjadi prioritas mengingat Kabupaten Cilacap telah ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Namun rencana tersebut berbenturan dengan Perhutani (KLHK) dan Kementerian Pertahanan yang berwenang atas kawasan pantai timur Cilacap.

Untuk sengketa lahan di Desa Cimrutu Kecamatan Patimuan, wilayah tersebut masih masuk dalam peta kawasan hutan yang berada dibawah penguasaan Perhutani. Namun kini telah berubah menjadi tanah datar dan berdiri menjadi sebuah desa definitif berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah. Dengan demikian perlu adanya kepastian penetapan hukum atas wilayah tersebut.
Selanjutnya konflik antara pihak Perhutani dengan masyarakat, dimana tanah yang diklaim sebagai Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) yang luasnya mencapai ribuan hektar. Meski Perhutani mengklaim tanah tersebut berada dalam peta kawasan hutan, namun eksistingnya berupa sawah dan tidak mencerminkan kawasan hutan.

Sama halnya dengan permasalahan di Desa Cimrutu, perlu adanya penetapan kepastian hukum atas wilayah tanah yang menjadi obyek TORA. Untuk konflik tanah PTPN IX Kebun Kawung Blok Cikuya di Desa Bantar Kecamatan Wanareja, Deputi PLK memberikan saran berupa permohonan pelepasan hak atas tanah PTPN IX ke masyarakat desa kepada Kementerian BUMN.

Terkait permohonan tanah sempadan sungai Kalidonan oleh masyarakat RW 23 Kelurahan Donan, Menteri PUPR dapat memberikan tanggapan atas Surat Bupati Cilacap. Dan untuk pengelolaan kawasan Nusakambangan, Pemkab Cilacap dapat mengelola sebagian wilayah Nusakambangan melalui penetapan zonasi.

“Namun untuk menetapkan zonasi di Nusakambangan, perlu ada pembahasan lebih lanjut antara pemerintah daerah dengan Kemenkumham dan KLHK. Mengingat pulau tersebut merupakan wilayah pemasyarakatan dan cagar alam,” jelasnya.

Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamuji menjelaskan, sejumlah persoalan tersebut hingga kini belum terselesaikan mengingat keterbatasan wewenang pemerintah daerah. Oleh karena itu pihaknya berharap Deputi PLK Menko Marves dapat memfasilitasi hal tersebut. Penyelesaian masalah ini menjadi prioritas mengingat penetapan status Kabupaten Cilacap sebagai PKN membutuhkan dukungan sumber daya yang memadai.
“Kami berharap, ada solusi dari pemerintah pusat. RDMP, kalau statusnya tidak dirubah akan tetap seperti itu. Desa Cimrutu ini sudah jadi definitif, mau diapakan lagi. Ini harus diselesaikan”, kata Bupati.

Sebagai informasi, saat ini permasalahan Desa Cimrutu tengah ditangani oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Lingkungan (PKTL). Langkah yang paling memungkinkan diambil yakni melalui program Tanah Obyek Reformasi Agraria (TORA). Namun demikian, Deputi PLK akan terus melakukan kajian, termasuk berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan persoalan ini.

Sayangnya, pembagian sertifikat dan redistribusi tanah bukanlah solusi tuntas mengingat cara ini tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Di lapangan, masalah lahan tidak hanya ada pada cara pengurusan administrasinya bersertifikat atau tidak, melainkan lebih dari itu. Beberapa konflik lahan yang ada justru melibatkan pihak ketiga, seperti perusahaan, pengembang, atau pengelola. 

Kasus Wadas, Rempang, tambang batu bara, dan berbagai kasus lain bukanlah sekadar masalah dimilikinya sertifikat tanah, melainkan tentang keinginan perusahaan atau lembaga untuk menjadikan tempat tinggal warga atau lahan tempat mata pencarian mereka dialihfungsikan demi sebuah proyek besar untuk keuntungan beberapa pihak.

Keberadaan sertifikat tanah juga bukan hal krusial dan urgen dalam menangani masalah ini. Meskipun sudah punya sertifikat tanah, jika masalah utamanya tidak selesai, maka konflik agraria akan terus ada. Sebagaimana kita ketahui, ratusan konflik agraria terjadi sejak pencanangan program strategis nasional (PSN) ataupun pengesahan UU Ciptaker. Sejak UU itu disahkan, banyak sekali wilayah persawahan atau perkebunan mengalami alih fungsi lahan menjadi pabrik atau tambang.
Kasus Rempang pun membuktikan, masyarakat yang sudah berabad-abad tinggal di sana justru tidak diakui sebagai pemilik sah tanah hanya dengan alasan tidak memiliki sertifikat. Jadi tidaklah cukup dengan memiliki sertifikat tanah, jika alasan yang digaungkan pemerintah justru mengatasnamakan pembangunan serta bertindak di bawah undang-undang.

Upaya negara mengurangi konflik lahan yang sudah banyak terjadi di tengah masyarakat, tampak tidak serius dan tidak menyentuh akar masalah. Negara seolah lepas tangan terhadap problem sengketa lahan yakni penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang telah meliberalisasi lahan. Penerapan sistem inilah sejatinya yang menjadikan lahan mudah dikuasai oleh mafia tanah dan dikelola oleh korporasi. Adanya prosedur kepemilikan tanah melalui sertifikat tanah tidak mengubah regulasi yang disahkan pemerintah tentang syarat pengelolaan tanah.

Sejak pengesahan dan pemberlakuan UU Cipta Kerja, warga sangat mudah kehilangan hak kepemilikan lahannya. Pasalnya, dalam UU Ciptaker pasal 103 ayat 2 disebutkan, "untuk kepentingan umum dan Proyek Strategis  Nasional lahan budidaya pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan," Apalagi konsep pertumbuhan ekonomi ala kapitalis yang memperhitungkan investasi mendorong negara membuka keran investasi sebesar-besarnya bagi para pemilik modal. Alhasil, semakin banyak lahan warga yang terancam tergusur dan dialihfungsikan.

Hal ini menegaskan, bahwa negara dalam sistem kapitalisme-demokrasi hanya bertindak sebagai regulator yang tunduk pada kepentingan oligarki. Pantaslah jika dikatakan bahwa penguasa sejati negeri ini, tidak lain adalah para oligarki.
Sistem pertanahan yang adil tidak akan pernah terwujud dalam sistem kapitalisme, sebab pembangunan untuk kepentingan para korporat adalah perkara mutlak, dan rakyat dipaksa pasrah akan kondisi tersebut.
Kalaupun ada proses pengadilan, sering kali rakyat kalah di pengadilan atau dimenangkan namun tanah rakyat sudah dibangun tanpa sepengetahuan mereka. 

Berbeda dengan sistem hukum lahan di negeri ini, syariat Islam melindungi harta masyarakat secara total, termasuk lahan. Islam juga mengatur skema kepemilikan lahan secara adil. Warga bisa memiliki lahan melalui pemberian seperti hadiah atau hibah dan warisan.
Tanah yang termasuk milik rakyat atau individu wajib dilindungi oleh negara dan tidak boleh dirampas oleh siapapun, meski itu untuk kepentingan umum, kecuali atas izin pemiliknya. Semua hukum kepemilikan tanah harus dijaga oleh negara bahkan haram jika negara melanggarnya apalagi dengan cara-cara yang dzalim atau mafia tanah dengan mengintimidasi, menipu, dan manggunakan kekerasan pada warga.

Islam juga membolehkan Khalifah membagikan tanah kepada warga secara cuma-cuma.
Rasulullah Saw misalnya, pernah memberikan tanah kepada beberapa orang dari Muzainah atau Juhainah. Beliau pun pernah memberikan suatu lembah secara keseluruhan kepada Billal bin Al-Harits al-Mazani. Syariat Islam pun menetapkan bahwa warga bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yakni lahan tidak bertuan, yang tidak ada pemiliknya.

"Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya, dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang dzalim (yang menyerobot tanah orang lain),"(HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Dengan demikian, lahan yang tidak ada pemiliknya, lalu dihidupkan oleh warga dengan cara ditanami atau didirikan bangunan di atasnya, atau bahkan dengan sekedar dipagari, maka otomatis lahan itu menjadi miliknya.
"Siapa saja yang mendirikan pagar di atas tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya,"(HR. Ath-thabarani).

Namun demikian, syariat Islam juga mengingatkan para pemilik lahan agar tidak menelantarkan tanahnya. Penelantaran lahan selama tiga tahun, maka menyebabkan gugurnya hak kepemilikan atas lahan. Selanjutnya, lahan tersebut bisa diambil paksa oleh negara dan diberikan kepada pihak yang sanggup mengelola lahan.
Adapun ketetapan ini berdasarkan ijmak sahabat pada mada Khalifah Umar bin Khattab ra.

Imam Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharaj mencantumkan, perkataan Khalifah Umar, "Tidak ada hak bagi pematok lahan setelah tiga tahun ditelantarkan,"
Imam Abu Ubaid dalam kitab Al-amwal meriwayatkan bahwa Khalifah Umar pernah mengambil kembali lahan milik Bulan bin Al-Harits al-Mazani, sebelumnya lahan tersebut merupakan pemberian dari Rasulullah Saw. Namun, Khalifah Umar melihat lahan tersebut ditelantarkan. Kemudian beliau memerintahkan Bilal hanya boleh menguasai lahan seluas yang sanggup ia kelola.

Hukum yang jelas seperti ini akan memberikan keadilan bagi para pemilik lahan. Kepemilikan mereka yang telah puluhan tahun atas lahan tidak bisa dibatalkan atau diambil alih oleh siapa saja, bahkan oleh negara sekalipun hanya karena tidak bersertifikat. Malah terbukti ketika sertifikat menjadi satu-satunya bukti keabsahan kepemilikan lahan justru membuka terjadinya perampasan lahan. Sungguh penerapan syariat Islam secara kaffah di bawah institusi Khilafah akan menciptakan keadilan hakiki bagi masyarakat. Bukan solusi tambal sulam ala kapitalisme yang justru menimbulkan masalah baru.

Wallahu alam bish-shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak