Oleh : Ummu Aqeela
Indonesia masih belum lepas dari jeratan impor pangan. Termasuk telur yang diimpor dari berbagai negara, seperti India, Jerman hingga Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip CNBC Indonesia, Selasa (16/1/2024) pada 2023, Indonesia mengimpor telur unggas dengan nilai total US$ 13,346 juta. Angka tersebut meningkat dari tahun 2022 dengan nilai impor sebesar US$ 12,209 juta.
India menjadi negara yang paling banyak mengirimkan telur unggas ke Indonesia pada 2023 dengan nilai US$ 13,171 juta. Volume impor dari negara Bollywood itu setara dengan 2,077 juta kg telur.
Sementara di urutan kedua negara yang paling banyak memasok telur unggas adalah Jerman, dengan nilai US$ 108.018. Angka tersebut setara dengan 2.294 kilogram telur.
Negara ketiga adalah Amerika Serikat dengan nilai US$ 58.105 atau setara dengan 437 kilogram telur. Sementara negara lainnya mengekspor telur ke Indonesia dengan nilai US$ 8.039, setara dengan 600 kilogram telur. (CNBC, 16 Januari 2023)
Dalam paradigma ekonomi kapitalisme, impor adalah salah satu senjata untuk menikam negara importir karena akan membuat negara tersebut mengalami ketergantungan impor hingga tingkat akut. Keterpenuhan stok pangan seolah tidak bisa tercapai jika tidak impor.
Jelas sekali, ini bukti kegagalan negara dalam mengurusi kebutuhan pangan rakyat. Dan kegagalan itu terjadi, karena salah arah atau lemahnya visi politik pangan akibat menggunakan konsep kapitalisme neoliberal yang lahir dari asas batil sekulerisme.
Ketergantungan pada impor juga akan menunjukkan kegagalan negara mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan. Karena, ketergantungan pada impor akan mengantarkan pada banyak kerugian. Terlebih, ketergantungan ini akan menjadikan negara berada dalam kendali dan kuasa negara importir sehingga bisa berakibat pada lemahnya kedaulatan negara secara politik.
Termasuk adanya kerugian berikutnya, yakni menghabiskan anggaran. Padahal, jika anggaran tersebut digunakan untuk menyediakan sarana prasarana pada rakyat yang membutuhkan, maka akan memberi manfaat kepada banyak pihak di dalam negeri.
Kegagalan ini bersifat sistemis karena berpangkal dari sistem politik dan ekonomi kapitalisme neoliberal. Secara politik, sistem ini menghilangkan peran politik negara yang sahih sebagai penanggung jawab untuk pemenuhan pangan rakyat, tetapi negara hanya sebatas sebagai regulator sehingga pengurusan pangan rakyat dikuasai oleh korporasi.
Secara ekonomi, sistem ini memberikan kebebasan tanpa batas kepada individu/swasta, akibatnya tumbuhlah korporasi yang bisa menguasai seluruh rantai pengadaan pangan. Bahkan, kekuasaaan korporasi jauh melampaui kekuasaan negara dan akibatnya nasib ratusan juta rakyat menjadi objek pasar korporat ini.
Impor seolah menjadi langkah wajib dalam menyelesaikan kekurangan ketersediaan pangan di negeri ini. Padahal impor dapat mematikan kemandirian negara dan menguatkan ketergantungan kepada luar negeri bahkan beresiko menguatkan penjajahan ekonomi. Di sisi lain, praktek impor ditengarai menjadi jalan pintas untuk memperkaya diri sendiri. Bahkan menjadi sumber dana untuk aktivitas politik seperti pemilu.
Berbanding terbalik dalam syari’at Islam, Islam yang memiliki tatanan sahih untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk pemenuhan kebutuhan pangan untuk rakyatnya.
Politik pangan yang dijalankan oleh negara yang berlandaskan Islam memiliki arah yang sangat berbeda dengan kapitalisme neoliberal. Islam menetapkan bahwa politik pengaturan pangan harus ditujukan untuk melayani rakyat sepenuhnya, yaitu menjamin pemenuhan pangan bagi setiap individunya, tanpa terkecuali.
Kehadiran negara secara utuh dalam mengurusi pangan mulai dari hulu sampai kehilir adalah hal yang mutlak untuk mewujudkan tanggung jawab tersebut. Tanggung jawab ini dapat dikatakan terwujud ketika seluruh individu rakyat sudah dipastikan terpenuhi kebutuhan pokoknya termasuk kebutuhan pangan.
Islam mengadopsi dua mekanisme, yaitu mekanisme harga dan nonharga.
Mekanisme harga berlaku bagi anggota masyarakat yang memiliki penghasilan dan mampu membeli pangan, sedangkan mekanisme nonharga berlaku bagi masyarakat yang memiliki ketidakmampuan karena sakit, cacat, dan sebagainya sehingga pemenuhan pangannya wajib disediakan secara langsung oleh negara.
Yang tidak kalah pentingnya, penerapan sistem ekonomi Islam mengatur status kepemilikan harta, mekanisme pendistribusian kekayaan , larangan riba, penerapan sistem mata uang emas dan perak sehingga meminimalisasi inflasi, dan sebagainya.
Penerapan sistem ekonomi ini akan meratakan ekonomi sehingga kesejahteraan pun lebih merata. Islam juga melarang kepala negara/khalifah untuk bergantung kepada pihak/negara lain yang bisa mengendalikan kedaulatan negara. Sebaliknya, negara Islam harus menjadi negara yang independen dan menutup semua pintu yang bisa menjadi jalan bagi pihak lain untuk menguasai kaum muslim.
Wallahu’alam bishowab