Oleh : Eti Fairuzita
Pemilu akan digelar sebentar lagi, setiap warga negara Indonesia yang sudah berusia 17 tahun akan diberikan hak suaranya untuk menentukan pilihan. Dan yang menarik perhatian dalam pemilu kali ini, adalah tentang diberikan kesempatannya, Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) sebagai pemilih. Hal ini disampaikan ketua KPU, Hasyim Asy'ari, usai mengumumkan penentuan nama capres-cawapres di pelataran gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasyim menyatakan, keputusan tersebut berpedoman pada amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135q/PUU-XXIII/2015. (RRI.co.id 21/12)
Sebagai implementasi dari pernyataan tersebut, KPU DKI Jakarta kemudian menetapkan sebanyak 22.871 (ODGJ) masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2024.
Sementara itu, ketua KPU Kabupaten Indramayu menjelaskan, daftar pemilih ODGJ yang dikategorikan sebagai orang berkebutuhan khusus terutama dalam hal mental, sudah tercatat sebanyak 1.665 orang yang akan mencoblos pada pemilu 2024 nanti. (detikjabar 27/12/2023).
Dalam sistem politik demokrasi, pemilih menjadi raja dan ratu suara sebab mereka menentukan nasib kontestan pemilu. Pemenang pemilu adalah kontestan yang mendapat suara terbanyak, tak heran pemilih dalam pemilu menjadi salah satu objek yang berpotensi bermasalah. Pada awalnya, pemilu di negeri ini tidak memasukkan ODGJ sebagai pemilih berdasarkan UU Pemilu. Dalam UU tersebut, ada 6 syarat yang harus dipenuhi oleh pemilih salah satunya adalah 'tidak sedang terganggu jiwa atau ingatan'.
Menjelang pemilu 2014, syarat tidak terganggu jiwa atau ingatan ini menimbulkan polemik dan kembali menjadi perbincangan politik menjelang pemilu 2019. Pada pemilu 2019, MK menegaskan syarat 'tidak sedang terganggu jiwa atau ingatan' bertentangan dengan konstitusi sepanjang frasa terganggu jiwa tidak dimaknai sebagai gangguan jiwa atau ingatan permanen.
Menurut profesional bidang kesehatan, keputusan MK inilah yang menjadi pedoman KPU untuk menetapkan ODGJ sebagai pemilih. Perubahan peraturan terkait hak pilih dalam sistem demokrasi, sejatinya menunjukkan bahwa perubahan regulasi dalam sistem demokrasi adalah dianggap wajar. Bahkan perubahan regulasi terkait pemilih dai kalangan ODGJ ini diduga kuat dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk meraup suara.
Ketetapan ODGJ boleh memanfaatkan hak pilihnya membuktikan bahwa
negara memiliki standar ganda dalam kebijakan-kebijakannya. Sebab negara memberi perlakuan berbeda terhadap ODGJ dalam perkara lain.
Dalam kasus kriminalisasi ulama yang banyak terjadi beberapa tahun terakhir pelaku yang kebanyakan berasal dari ODGJ justru dibebaskan oleh negara atau tidak diberi sanksi. Hal ini menunjukkan bahwa negara mengakui ODGJ tidak memahami konsekuensi atas aktivitasnya dan tidak mampu berpikir benar. Oleh karena itu, masalah ini tidak hanya berkaitan dengan penghormatan atas hak politik dan kewarganegaraan ODGJ lebih dari itu berkaitan dengan kebijakan politisasi ODGJ oleh pihak-pihak tertentu demi meraih kekuasaan atau memenangkan pemilu.
Sistem demokrasi telah membuka celah bagi orang-orang yang memiliki kekuatan modal untuk melakukan politisi terhadap ODGJ. Apalagi kekuasaan yang mereka dapatkan hanya untuk memperkaya diri, bukan untuk mensejahterakan rakyat. Inilah tabiat sistem demokrasi yang menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Selain dari itu, sistem demokrasi adalah sistem batil yang berasal dari akal manusia yang lemah, sehingga tidak layak diterapkan dalam kehidupan umat manusia.
Berbeda dengan sistem politik yang diajarkan Islam. Politik Islam didasarkan pada aqidah Islam yang lurus serta memandang bahwa Allah swt adalah Al-Khaliq (pencipta) dan Al-Mudabbir (pengatur) kehidupan.
Oleh karenanya praktek politik pun wajib dijalankan di atas aturan-aturan syariat dan wajib ditegakkan oleh semua pihak penguasa maupun rakyatnya. Politik dalam Islam merupakan ri'ayah syu'unil ummah atau pengurusan urusan umat dengan syariat Islam saja.
Oleh karena itu, politik tidak hanya dimaknai sebagai kekuasaan sebagaimana dalam politik demokrasi. Islam memandang bahwa kekuasaan hanya menjadi sarana menerapkan hukum-hukum syariat. Sebab kedaulatan hanya ada di tangan asy-Syari sebagai pembuat hukum yaitu Allah SWT.
Dalam sistem politik Islam, rakyat dilibatkan dalam memilih pemimpin (Khalifah), hanya saja Islam telah menetapkan syarat-syarat sah kepemimpinan yaitu diantaranya seorang muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu melaksanakan amanah Kekhilafahan. Islam juga telah menetapkan metode baku dalam pengangkatan seorang pemimpin yakni Baiat. Sedangkan pemilihan oleh rakyat secara langsung merupakan hanya salah satu cara untuk memilih pemimpin setelah Mahkamah Mazhalim menetapkan calon yang lolos verifikasi. Mereka tentu orang yang berakal bukan ODGJ.
Islam memfungsikan akal sebagaimana tujuan diciptakannya oleh Allah SWT yaitu untuk memahami hakikat hidup sebagai hamba Allah dan memahami Al-Qur'an sebagai petunjuk hidup. Islam mengakui ODGJ sebagai makhluk Allah yang wajib dipenuhi kebutuhannya. Namun tidak mendapatkan beban amanah, termasuk dalam memilih pemimpin.
"Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan : orang yang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai dia baligh, dan orang gila sampai ia kembali sadar atau berakal,"(HR. Abu Dawud).
ODGJ di dalam Khilafah juga sangat jarang ditemui mengingat kesejahteraan dan keadilan dirasakan oleh umat manusia sebagai kerahmatan yang merupakan konsekuensi penerapan syariat Islam secara kaffah. Dengan demikian Khilafah mampu menghindarkan rakyat dari kemiskinan dan kedzaliman yang dalam sistem hari ini menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa. Demikianlah sistem politik Islam mampu mencetak pemimpin berkualitas dengan tetap memperhatikan kemaslahatan orang dengan gangguan jiwa.
Wallahu alam bish-shwab
Tags
Opini