Oleh : Shafira Aida
Terjadinya insiden pemindahan paksa oleh ratusan mahasiswa terhadap pengungsi Rohingya di Banda Aceh menyisakan trauma dan ketakutan bagi korban.
Pada jumat (29/12/2023) seorang pegungsi Rohingya mengatakan "Karena bersaudara seiman, saya tidak menyangka mereka memperlakukan kami dengan tidak manusiawi seperti itu." Mereka juga menyebut peristiwa pengusiran itu mengingatkan mereka akan trauma yang mereka alami di Myanmar, saat mereka terpaksa mengungsi ke Bangladesh. Sementara, kelompok masyarakat sipil menyesalkan aksi pengusiran yang disertai kekerasan dan intimidasi. Badan PBB yang menangani pengungsi, UNHCR, menyerukan agar pihak berwenang menjamin keselamatan para pengungsi Rohingya yang mendarat di Aceh dalam gelombang kedatangan mereka baru-baru ini. Tercatat jumlah mereka 1.608 orang. (bbc.com)
Hal ini sangat tidak pantas dilakukan oleh siapapun itu mengingat mereka di mana-mana selalu mendapatkan perlakuan kasar dan tidak memiliki tempat tinggal yang pasti, namun usai kejadian itu pengungsi Rohingya sudah disediakan tempat yang aman dan dijaga ketat oleh aparat keamanan. Mereka disini juga tidak membebani negara, biaya hidup mereka ditanggung oleh PBB (UNHCR) dana yang didapat juga dari donasi masyarakat, lembaga, atau swasta. Sama sekali tidak menggunakan pendanaan dari APBN atau APBD.
Lalu mengapa mereka diusir dengan sebegitu kejinya? Itu karena mahasiswa aceh di sana termakan oleh berita bohong yang disebarkan oleh media, diberita mengatakan ada seorang etnis Rohingya melakukan pelecehan pada warga lokal, buang sampah sembarangan dll nya mereka tidak menelaah secara pasti informasi yang didapat benar atau tidak akibatnya mereka yang tidak bersalah pun menjadi korbannya.
Sejak 2019 genosida terjadi pada mereka, muslim Rohingya telah di asingkan dari dunia luar, mereka tidak diberi akses ke pendidikan, layanan kesehatan, layanan masyarakat, pekerjaan bahkan kewarganegaraan. Hal itu yang membuat muslim Rohingya tidak memiliki pendidikan yang mumpuni, mereka telah dibodohkan dan dibuat terlunta-lunta tanpa memiliki hak hidup sebagai manusia dan makhluk sosial.
Permasalahan Rohingya adalah permasalahan seluruh umat islam jadi, jangan pernah berpikir walaupun sejenak bahwa masalah arakan adalah 'masalah rohingya' saja karena masalah arakan adalah masalah seluruh umat muslim di seluruh dunia. Seharusnya seluruh wilayah negeri-negeri muslim memberikan perlindungan kepada para pengungsi Rohingya namun, hal itu tidak bisa diwujudkan selama paham nasionalisme masih mengakar di negeri-negeri muslim.
Munculnya para provokator di wilayah pengungsian atau di sosial media hanya terus memperburuk keadaan, karena selalu menggambarkan "keburukan" warga Rohingya. Pada faktanya "keburukan" itu terjadi akibat mereka tidak diberi akses ke pendidikan, baik ilmu umum, ilmu untuk hidup maupun ilmu agama. Para provokator ini mengajak warga untuk mengusir muslim Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan, hati mereka menjadi mati dan tega melihat muslim Rohingya terapung-apung di atas laut tanpa tujuan dan tanpa hak menjadi manusia untuk hidup. Na'udzubillah min dzalik.
Umat islam tidak boleh bersikap diam dalam menghadapi kekejaman mengerikan yang dilakukan umat Buddha Myanmar terhadap muslim Rohingya, maka pentingnya institusi islam yang akan menjamin perlindungan setiap individu muslim, seharusnya mendorong para pengemban dakwah untuk terus melakukan dakwah di tengah-tengah umat. Sebagai pengemban dakwah kita harus menyadarkan umat bahwa nasionalisme adalah ide penuh racun dan bukanlah ikatan shahih yang layak diambil. Satu-satunya ikatan yang shahih yang mengikat antara satu muslim dengan muslim lainnya adalah aqidah islam dan ikatan aqidah ini hanya terwujud dalam khilafah islamiyah.
Wallahu A'lam Bishowab