Oleh: Nining Sarimanah
(Pegiat literasi)
Dulu aku suka padamu dulu aku memang suka
(Ya-ya-ya)
Dulu aku gila padamu dulu aku memang gila
(Ya-ya-ya)
Sebelum aku tahu kau dapat merusakkan jiwaku (o-o, o-o)
Sebelum aku tahu kau dapat menghancurkan hidupku..
_________
Penggalan lirik dengan judul Mirasantika di atas, tentu tidak asing lagi di telinga pencinta lagu dangdut yang dibawakan Rhoma Irama. Miras, tak dimungkiri membuat penikmatnya melepaskan stres sesaat. Melepaskan penat entah karena banyak masalah, tekanan hidup, eksistensi, dan lainnya. Karena itulah, miras akan dicari sehingga keberadaannya makin menjamur baik legal maupun ilegal.
Petugas gabungan dari Satpol PP Kota Bandung bersama Denpom dan Polrestabes Bandung, Jumat, 5 Januari 2024, menyegel dua toko di Jalan Moh. Toha. Penyegelan ini dilakukan usai pemilik dua toko tersebut tertangkap menjual minuman keras (miras) tanpa izin. Barang bukti sebanyak 295 botol miras dengan berbagai jenis dan merk ikut disita petugas. (AyoBandung.com, 6-12-2023)
Sungguh miris, Bandung selain dikenal sebagai Kota Kembang juga Agamis, kini telah dinodai dengan ditemukannya miras dalam jumlah ratusan atas laporan masyarakat. Akibat minuman haram tersebut warga Bandung tidak lagi merasa aman dan tentram. Tersebab, banyak kejahatan yang terjadi seperti pencurian, pemerkosaan, pembunuhan, dan tindak kriminal lainnya berawal dari menegak minuman haram tersebut.
Sayangnya, pemerintah tidak serius memberantas peredaran miras di tengah masyarakat. Ini tampak, bagaimana petugas hanya akan mengamankan pihak-pihak yang menjual miras secara ilegal atau tanpa izin, misalnya di warung atau toko. Sementara, miras yang beredar secara legal baik di bar, tempat-tempat pariwisata, maupun di hotel tidak pernah disentuh oleh aparat penegak hukum dengan alasan penjualan miras di tempat tersebut telah mendapat izin. Artinya, keberadaan minuman haram akan sulit diberantas karena negara mendapat cuan yang cukup besar.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bahwa realisasi penerimaan dari cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) atau minuman berakohol mencapai Rp8,07 triliun pada 2022 atau naik 24% dibandingkan tahun sebelumnya. Kemenkeu menyebut naiknya cukai minol, dipengaruhi dengan meningkatnya produksi, khususnya di dalam negeri. Kondisi ini, tidak lepas dari bangkitnya sektor pariwisata pasca Pandemi Covid-19 sehingga meningkatnya permintaan minuman berakohol. (News.ddtc.co.id,18-1-2024)
Adanya penerimaan cukai yang cukup besar dari minol, tentu negara tidak akan serius untuk menghentikan peredaran miras di tengah masyarakat. Keuntungan yang menggiurkan akan selalu menjadi perhatian pemerintah, meskipun itu akan berdampak buruk terhadap kesehatan bahkan keamanan rakyatnya sendiri. Inilah paradigma pemimpin dalam sistem sekuler kapitalisme.
Penguasa dalam sistem kapitalisme hanya sebagai regulator dari para kapital. Maraknya miras yang beredar tentu tidak terlepas dari pengusaha kelas kakap yang ditopang dengan longgarnya aturan pemerintah sehingga bisnis ini berjalan mulus tanpa ada hambatan. Pun dengan gaya hidup masyarakat yang hedonis menambah daftar panjang penyebab miras tetap eksis.
Masyarakat yang sekuler akan memandang makna kebahagiaan itu terletak pada terpuaskan individu-individu dengan kesenangan duniawi semata. Sistem ini, telah sukses menjauhkan umat Islam dari agama sebagai pandangan hidup. Peran agama hanya sebatas pada ibadah mahdah, sementara urusan dunia diserahkan pada akal manusia. Alhasil, masyarakat sekuler akan berperilaku sesuai dengan hawa nafsunya tanpa kontrol agama. Akibatnya, segala hal yang diharamkan Allah akan bebas beredar termasuk miras.
Padahal, Islam telah mengharamkan minuman yang memabukkan (minuman berakohol) dengan jenis apapun, sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 90 yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Bahkan Allah SWT melaknat peminum khamr dan penjualnya. Hal ini telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw. dalam hadis riwayat Hakim yang artinya: "Allah melaknat peminum khamr dan penjualnya."
Islam akan menutup celah terhadap peredaran miras dengan sistem sanksi yang tegas. Dalam kitab Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi menyatakan bahwa hukuman peminum khamr adalah dengan dicambuk 80 kali pada bagian punggungnya. Had ini sesuai dengan apa yang telah dicontohkan Nabi Muhammad bagi para pelanggar larangan minum khamr. Adapun tujuan pengharaman khamr adalah untuk menjaga keselamatan agama seorang muslim, badannya, akalnya, dan hartanya.
Demikian pun, terkait pendapatan negara. Islam mengharaman pemasukan negara berasal dari barang atau minuman yang jelas haram. Khilafah memiliki sumber pendapatan negara berdasarkan syariat seperti sumber daya alam, kharaj, jizyah, ghanimah, fai, usyur dan lainnya. Faktanya, Indonesia salah satu negeri muslim yang Allah anugerahi dengan berbagai kekayaan baik di darat, laut, hingga udara. Sumber daya alam ini, jika dioptimalkan dengan baik dan amanah maka negara tidak akan mengalami kesulitan pendapatan.
Pendapatan yang berlimpah akan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Namun, ironisnya, banyak negeri Islam justru mengalami kemiskinan dan keterpurukan serta terlilit hutang. Hal ini terjadi karena kesalahan sistem yang diterapkan di negeri-negeri Islam saat ini, di mana sistem yang dijadikan pedoman hidup baik negara dan masyarakat adalah sistem kapitalis. Sistem ini, menjadikan pajak sebagai pemasukan utama bagi negara.
Dengan demikian, persoalan miras tidak akan pernah tuntas selama sistem kapitalisme masih bercokol di negeri ini. Satu-satunya solusi untuk memberantas miras adalah dengan diterapkannya syariat Islam di setiap lini kehidupan dalam bingkai daulah khilafah islamiah.
Wallahu a'lam bishshawab
Tags
Opini