Oleh : Ummu Aqeela
Capres nomor urut 2, Prabowo Subianto singgung Palestina di debat ketiga capres pada Minggu (7/1/2024). Sontak, hal ini menarik perhatian warganet dan menjadi perbincangan panas di media sosial, terutama platform Twitter (X).
Prabowo dianggap kurang empati terhadap warga Gaza di Palestina. Sorotan terutama ditujukan pada kalimat Prabowo saat menjelaskan visi misi di segmen awal debat. Perlu diketahui bahwa isu Palestina menjadi bahasan yang sensitif.
Dalam paparannya, Prabowo mengungkapkan bahwa kekuatan militer menjadi fondasi dasar kekuatan nasional. Baginya, ketiadaan kekuatan militer membuat suatu negara rentan terhadap penindasan. Prabowo kemudian memberikan contoh tentang negara yang dianggap lemah, seperti Palestina. Baginya, kondisi yang terjadi di Gaza, Palestina, merupakan hasil dari kelemahan kekuatan militer negara tersebut. Prabowo menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh mengalami nasib serupa dengan Gaza. Hal ini sontak mendapat sorotan tajam dari warganet atau netizen, khususnya pada laman media sosial X (Twitter). Para warganet justru menghujat Prabowo karena pernyataan yang dianggap tak berdasar ini.
Sejatinya kejadian diatas bukanlah hal yang mengherankan ketika paham sekulerisme sudah menjadi pegangan. Jangankan pemahaman tentang Palestina, bisa jadi sejarah terkait Baitul Maqdispun mulai terabaikan. Andai kita mau merenung bersama, membuka mata lebar-lebar, mungkin saat ini Palestina dan bumi syam terlihat terjajah, namun sesungguhnya hanya mereka negara yang tidak mau tunduk kepada penjajah. Buktinya hingga detik ini tak satupun negara di dunia yang dengan tegap dan terang-terangan memberi perlawanan layaknya mereka yang ada disana.
Sejauh ini Gaza justru mengajarkan kita tentang kekuatan. Gaza ditindas bukan karena militernya lemah, ini adalah tentang sebuah negeri yang terjajah selama 75 tahun lamanya dan sampai saat ini mereka memutuskan untuk tetap berjuang, dan ini cukup membuat militer sedunia menggelengkan kepala. Mereka tidak lemah, merekalah yang sejatinya membangunkan umat dari tidur panjang. Mereka menampar kita dengan ilusi bahwa umat ini hanya bisa menangis saja, mengecam, memboikot, mengirim bantuan, namun tak mampu mengangkat senjata bersama mereka.
Mereka tidak lemah, merekalah jiwa-jiwa kuat pilihan Allah swt. Rasullullah SAW bersabda ;
“Pada akhirnya umat Islam akan menjadi pasukan perang: satu pasukan di Syam, satu pasukan di Yaman, dan satu pasukan lagi di Iraq. Ibnu Hawalah bertanya: Wahai Rasulullah, pilihkan untukku jika aku mengalaminya. Nabi saw: Hendaklah kalian memilih Syam, karena ia adalah negeri pilihan Allah, yang Allah kumpulkan di sana hamba-hamba pilihan-Nya, jika tak bisa hendaklah kalian memilih Yaman dan berilah minum (hewan kalian) dari kolam-kolam (di lembahnya), karena Allah menjamin untukku Negeri Syam dan penduduknya.”
(Shahih, HR. Abu Dawud (2483) Imam Ahmad (4/110) Al-Hakim, dan Ibnu Hibban)
Sudah saatnya kita bangkit dari tidur panjang ini, sudah waktunya kita bersatu memilih pemimpin yang tunduk hanya pada syari’atnya Allah. Pemimpin yang tidak hanya memikirkan bagaimana dia bisa memuliakan dirinya namun memuliakan umat dan Islam di seluruh dunia. Pemimpin layaknya Umar bin Khatab, Salahuddin Al Ayyubi, yang memganggap masalah Palestina adalah masalah seluruh umat muslim bukan hanya masalah umat yang tinggal disana saja. Pemimpin yang menyatukan bukan yang memecah belah dengan paham nasionalismenya. Pemimpin yang menegakkan kitabullah dan assunnah dalam naungan Khilafah.
Sayangnya solusi ini tidak dapat dilakukan selama kaum Muslim terpecah belah dan dipimpin oleh pemimpin yang tuduk di bawah hegemoni Barat. Karena itu, jangan pernah putus asa untuk terus bersatu dan mempersatukan kaum Muslim dan membangun sebuah institusi kepemimpinan kuat yang mengikuti jejak kenabian.
Sebab, ideologi Barat yakni Kapitalisme yang melahirkan imperialisme dan zionisme hanya mungkin dilawan dengan persatuan umat dibawah satu institusi kepemimpinan. Sehingga dengan cara persatuan umat yang dipimpin seorang pemimpin yang akan mengerahkan pasukan terbaiknya untuk membebaskan Masjid Al-Aqsha dan Palestina. Jadi, solusi tuntas pembebasan Masjid Al Aqsha dan Palestina adalah persatuan umat dibawah satu institusi kepemimpinan kaum Muslim yang mengikuti jejak kenabian dan Jihad fii Sabilillah.
Wallahu’alam bishowab