Oleh: Hamnah B. Lin
Beli LPG 3 kg wajib memakai KTP dan KK mulai 1 Januari 2024. Nantinya, hanya orang yang terdata yang bisa membeli LPG bersubsidi ini. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengimbau masyarakat yang belum terdata agar segera mendaftar sebelum beli LPG 3 Kg. Ia menjelaskan untuk mendaftar, masyarakat hanya perlu menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) di penyalur atau pangkalan resmi (CNN, 19/12/2023).
Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Kementerian ESDM Mustika Pertiwi menyebut ada 189 juta NIK di data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE). Data ini menjadi acuan penerima gas melon. Kategori masyarakat yang berhak menerima LPG 3 kg antara lain nelayan sasaran, petani sasaran, usaha mikro, dan rumah tangga. Namun, sejauh ini tercatat baru 31,5 juta NIK yang terdaftar di pangkalan resmi Pertamina. (Detik News, 3-1-2024)
Maka warung - warung kecil sekitar rumah harus mendaftar sebagai agen resmi penyalur gas melon, sehingga masyarakat bisa mudah menjangkau pembelian gas melon tersebut, juga warung - warung kecil tetap berjalan usahanya.
Namun menurut Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan membatasi penjualan LPG 3 kg dengan persyaratan KTP dan mendaftar melalui agen resmi Pertamina bukanlah solusi yang berkeadilan. Menurutnya, pembatasan ini berpotensi tidak efektif karena Data Terpadu Kesejahteraan Sosial sudah sejak lama bermasalah. Sementara itu, validitas data P3KE juga masih belum jelas. Menurut Yusuf, kewajiban menyerahkan KTP-KK untuk pencocokan data dengan DTKS atau P3KE akan menghambat calon pembeli yang tidak memiliki dokumen kependudukan resmi. Rakyat yang semestinya mendapat kemudahan akses pembelian LPG 3 kg malah terhambat lantaran biaya administrasi dan transaksi yang kini lebih tinggi.
Inilah satu dari sekian kebijakan dari sistem kapitalis demokrasi yang dijalankan negeri ini, sungguh merepotkan dan tidak pro rakyat. Buktinya:
Pertama, sudah kita ketahui bersama bahwa pemerintah kerap menetapkan kebijakan yang membuat rakyat repot. Meski pemerintah mengatakan tidak ada perubahan atau kenaikan harga LPG, tetapi untuk mendapatkan sesuatu yang menjadi hak rakyat sering kali dipersulit dengan syarat tertentu.
Kedua, setiap hasil pengelolaan SDA, seperti minyak bumi, gas alam, termasuk LPG di dalamnya, merupakan harta rakyat. Jadi, LPG murah atau bersubsidi sesungguhnya adalah hak seluruh lapisan masyarakat untuk menikmatinya. Bukan hanya penduduk miskin, rakyat mana saja memiliki hak untuk memanfaatkan penggunaan harta milik umum. Namun, dalam sistem kapitalisme tidak semua rakyat dapat menikmati LPG murah. Alih-alih murah, masyarakat harus menerima setiap ada kenaikan harga LPG.
Ketiga, penerapan sistem demokrasi kapitalisme telah memberi ruang kesenjangan sosial yang sangat dahsyat. Terdapat 189 juta NIK dari 270 juta jiwa penduduk Indonesia yang terdata menerima LPG bersubsidi. Artinya, jumlah penduduk miskin atau ekonomi menengah ke bawah lebih dari separuh dari jumlah total penduduk Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan masih jadi PR menahun yang tak pernah tuntas terselesaikan meski berganti pemimpin tanpa berganti sistem.
Keempat, ketaksinkronan data yang ada di lembaga pemerintah sepertinya sudah biasa terjadi dan selalu tumpang tindih. Padahal, validitas data rakyat sangat penting agar pendistribusian bantuan sosial atau program subsidi yang ditetapkan tepat sasaran. Bagaimana bisa tepat sasaran jika dari datanya saja tidak pernah valid. Jadi mustahil kebijakan ini akan berhasil.
Kelima, kebijakan yang membuat ribet rakyat sangat rentan disalahgunakan dan riskan memunculkan masalah baru, seperti manipulasi data ataupun pembelian LPG dari luar kelompok penerima LPG bersubsidi dengan memanfaatkan kelompok penerima subsidi untuk mendaftarkan dan menggunakan KTP-KK dalam mendapatkan LPG 3 kg.
Tugas negara untuk menjamin dan memenuhi kebutuhan pokok rakyat seharusnya wajib dilaksanakan. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Kaum muslim berserikat pada tiga perkara, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Hadis ini menjadi pedoman pengelolaan harta milik umum yang jumlahnya melimpah dan dibutuhkan masyarakat tidak boleh dikelola, dimiliki, atau dikuasai oleh individu, swasta, apalagi asing.
Hadits ini akan bisa terwujud tatkala syariat Islam ditegakkan dalam kehidupan sehari - hari dalam bingkai sistem pemerintahan Islam khilafah Islamiyah. Khalifah akan menempuh tiga hal sebagai berikut untuk bisa meriayah / melayani rakyat:
Pertama, setiap harta yang terkategori milik umum, seperti minyak bumi, gas alam, batu bara, hutan, sungai, laut, sumber daya mineral, barang tambang dan sejenisnya, negara wajib mengelolanya dan mengembalikan hasil pengelolaan tersebut kepada rakyat agar mereka dapat menikmati dan memanfaatkannya.
Kedua, negara mengelola SDA mulai dari proses produksi, distribusi, hingga masyarakat dapat memanfaatkannya dengan harga murah dan terjangkau. Kalaulah ada harga yang harus mereka bayar, itu hanya untuk mengganti biaya produksi saja. Negara tidak boleh mencari keuntungan dari hasil pengelolaan harta yang menjadi hajat publik.
Ketiga, dalam pemanfaatan LPG yang menjadi kebutuhan semua orang, tidak boleh ada dikotomi siapa yang harus menikmati dengan murah kekayaan alam tersebut. Seluruh rakyat berhak menikmatinya baik kaya maupun miskin, sehingga tidak ada istilah LPG subsidi dan nonsubsidi.
Inilah solusi dalam Islam yang pemimpinnya berjiwa pemelihara urusan umat dan pembela urusan umat. Hanya sistem khilafah yang mampu demikian, rakyat sejahtera karena pemimpin bertakwa.
Wallahu a'lam.