Koruptor Merajalela, Buah Sistem Demokrasi Bobrok.




Oleh : Venti Budhi Hartanti, S.Pd.I



Sepertinya korupsi akan menjadi biasa dikalangan para elit pejabat. Apalagi di sistem demokrasi sekuler kapitalis saat ini. Karena sejatinya sistem demokrasi meniscayakan hukum dibuat oleh manusia. Peraturan dibuat untuk dilanggar itu slogan yang sering kita dengar saat ini. Halal-haram tidak jadi standar penilaian. Semuanya dilihat dari segi manfaat. Inilah sebabnya demokrasi disebut sistem yang bobrok dan cacat. Konsekuensinya, hukum akan berubah-ubah sesuaic kepentingan para pembuatnya dan manfaat materi yang mereka lihat.

Hukum dapat diperjualbelikan. Semuanya demi uang. Moralitas diabaikan, agama dibuang dari praktik kehidupan. Ternyata, ada aktor di balik kejahatan yang makin meningkat dalam sistem sekarang.

Siapakah aktornya? Ialah para penguasa dan pejabat jahat. “Prestasi” buruk para pejabat dalam demokrasi selain banyak memproduksi UU yang tidak mampu menyolusi permasalahan rakyat dan negara, juga tidak mampu menciptakan lingkungan aman bagi tempat tinggal manusia. Kejahatan terus meningkat tajam karena terlalu banyak kasus yang harus diselesaikan hingga berakhir berupa tumpukan berkas di meja pengadilan. Lagi lagi para elit pejabat hanya menjadi gembalaan para oligarki. Mereka hanya menjadi pesuruh para oligarki. Bukan lagi menjadi pelayan masyarakat.
Maka wajar jika
Menjadi suatu dalam demokrasi, publik akan menjumpai politik oligarki yang dibangun partai politik berkuasa. Akibat penerapan politik oligarki, kondisi masyarakat saat ini susahnya luar biasa. Tingkat kemiskinan bertambah, tingkat kejahatan juga makin meningkat.

Masyarakat sulit mencari pekerjaan, padahal negeri ini sangat kaya akan SDA. Rakyat melarat di negeri sendiri karena aksi pejabat jahat tidak amanah mengelola SDA, malah melayani para oligarki untuk menguasai hajat milik rakyat.

Dan sekali lagi Demokrasi hanya Melahirkan Pejabat Jahat?

Salah satu ciri pejabat jahat ialah mengambil hak rakyat untuk memenuhi pundi-pundi keuangan mereka dengan cara korupsi. KPK mengungkap beberapa fenomena tindak pidana korupsi yang pernah ditangani. 

Pertama, korupsi terjadi pada semua partai, juga pada semua suku bangsa dan agama sebagai pelakunya. Kedua, pelakunya relatif sama, yakni berasal dari unsur swasta, kepala daerah, anggota dewan, dan pejabat pusat/daerah. Perkara suap pengadaan barang/jasa dan suap perizinan, serta sumber daya manusia.

Ketiga, modus dalam tindak pidana korupsi, yaitu suap sebanyak 66%, dan pemerasan serta gratifikasi 22%. Bahkan, suap tingkat tinggi dilakukan di luar negeri agar tidak terendus oleh KPK dan aparat penegak hukum. 

Indonesia sendiri dinobatkan sebagai negara demokrasi kelima terbaik, tetapi tingkat korupsinya juga yang tertinggi. Ternyata, demokrasi melahirkan pejabat jahat yang korup. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan, nilai kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp230 triliun selama 10 tahun terakhir. 

Jumlah itu terhitung sangat besar jika dibandingkan dengan total denda yang dijatuhkan majelis hakim kepada terdakwa korupsi yang hanya berkisar Rp102.985.000.000 serta uang pengganti sebesar Rp625.080.425.649 atau sekitar Rp2,3 triliun. 

Jumlah kerugian negara yang lebih besar dari denda yang dituntut bagi pelakunya, menyebabkan para koruptor tidak jera, bahkan mengulangi perbuatannya. Pejabat jahat merugikan negara dinilai akan terus berlanjut selama sistemnya tidak berganti, yaitu demokrasi.

Pejabat dalam Islam

Kepemimpinan dalam Islam bertujuan untuk menegakkan agama dengan melaksanakan syariat Islam dan memenuhi kemaslahatan umat. Penting bagi umat Islam untuk memilih pemimpin sesuai syarat yang disyariatkan, yakni pada dirinya terdapat ketakwaan dan kapasitas menjalankan seluruh perintah syarak. Standardisasi yang sama juga untuk memilih pejabat negara.

Imam Al-Mawardi dalam bukunya, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, menjelaskan syarat seorang pemimpin, yaitu memiliki ilmu pengetahuan, bukan saja piawai dalam mengatur urusan Negara, tetapi juga berpengetahuan luas tentang agama. Itulah yang diajarkan Islam.

Firman Allah Swt., “ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Pemimpin dan pejabat yang bertakwa ialah yang dekat dengan Allah Taala. Dirinya terhindar dari perbuatan dosa, memiliki sifat warak, tidak terobsesi mengejar kepentingan dunia, dan dapat dipercaya dalam memegang amanah.

Amanah kepemimpinan dalam mengurusi urusan umat merupakan perkara berat. Rasulullah saw. telah mengingatkan kita atas larangan untuk meminta-minta jabatan. Sebagaimana riwayat dari Abu Musa al-Asy’ari ra., ia berkata bersama dua orang saudara sepupu, saya mendatangi Rasul saw. kemudian salah satu di antara keduanya berkata, “Wahai Rasulullah, berilah kami jabatan pada sebagian dari yang telah Allah kuasakan terhadapmu.” Dan yang lain juga berkata begitu. Lalu beliau saw. bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan mengangkat pejabat karena memintanya, atau berambisi dengan jabatan itu.”

Rasulullah saw. juga telah mengingatkan kita, “Siapa yang diamanati Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, maka ia tidak akan dapat merasakan bau surga.” (HR Bukhari dan Muslim).

Lantas, di mana Allah akan menempatkan mereka? Tentu selain surga adalah neraka, seburuk-buruk tempat kembali bagi penguasa dan pejabat yang tidak mengurus dengan baik urusan rakyatnya. Tidakkah hal ini menjadi ancaman yang berarti dari Allah bagi para pejabat jahat yang terobsesi dengan kekuasaan? Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak