Konflik Agraria Satu Keniscayaan Dalam Sistem Demokrasi Kapitalisme



Riza Maries Rachmawati



Peningkatan kasus konflik agrarian di berbagai wilayah Indonesia menunjukan angka yang signifikan dari tahun ke tahun. Selama periode 2009-2022, setidaknya ada 4.107 kasus konflik agrarian di Indonesia, yang berdampak pada sekitar 2,25 juta kepala keluarga.  Sepanjang 2009-2022 konflik agraria paling banyak tercatat pada era pemerintahan Presiden Jokowi, yaitu 659 kasus pada 2017. Banyaknya kasus itu diiringi dengan tingginya jumlah korban. Pada 2017 masyarakat yang terdampak konflik agraria mencapai 652 ribu kepala keluarga (KK). Menurut KPA, mayoritas kasus konflik agrarian pada 2017 terkait dengan sektor perkebunan, terutama untuk komoditas kelapa sawit, diikuti sektor property dan infrastruktur. (kumparan.com, 15-01-2024)

Sistem Demokrasi Kapitalisme Biang Konflik Agraria

Selama sistem demokrasi kapitalisme diterapkan dinegeri ini, kasus konflik agraria ini akan terus berlangsung. Hal ini dikarenakan: Pertama, konsep pembangunan dalam sistem demokrasi kapitalisme berorientasi pada kepentingan bisnis. Meskipun pemerintah berdalih bahwa seluruh proyek pembangunan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun kenyataannya hanya berujung pada perampasan ruang hidup masyarakat. Setiap proyek pembangunan membutuhkan lahan yang seringkali merupakan tanah milik rakyat seperti lahan pertanian, lahan perkebunan, lahan yang sudah dibangun rumah, hingga lahan berupa hutan maupun pesisir laut yang jadi sumber penghidupan masyarakat.

Kedua, kebebasan kepemilikan adalah salah satu hak yang diakui dalam sistem kapitalisme sehingga sistem ini membolehkan siapa saja melakukan aktivias bisnis dan pembangunan selama memiliki modal. Legalisasi pembangunan yang memihak pemilik modal ini telah tampak dari UU yang diberlakukan, diantaranya UU Omnibus Law Cipta Kerja. Undang-undang ini telah menjadi payung hukum legal untuk oligarki. Beberapa pasal telah disesuaikan dengan proyek-proyek yang ditangani pemerintah yang berkerja sama dengan para pemilik modal. Undang-undang ini memastikan kemudahan pembebasan lahan berupa ganti rugi lahan milik rakyat untuk pembangunan yang terkategori PSN (Proyek Strategi Nasional), tanpa adanya proses perundingan dengan masyarakat sebagaimana peraturan sebelumnya. Artinya rakyat wajib atau tak boleh menolak menyerahkan lahannya untuk proyek pembangunan yang dilabeli PSN. 

Ketiga, dalam konsep ekonomi kapitalisme tidak ada pengaturan tentang mana lahan yang boleh dimiliki individu dan mana yang tidak boleh. Semua lahan diklaim milik negara dan negara bisa mengalihkan pengelolaannya pada swasta. Apalagi status kepemilikan lahan dalam system ekonomi kapitalisme-neolib harus berdasarkan pada legalitas formal seperti sertifikat. Birokrasi yang rumit inilah yang akan membawa konflik kepemilikan lahan semakin dalam. Sebab pada faktanya masyarakat adat yang tinggal di suatu kawasan biasanya mengelola lahan dikawasan tersebut untuk penghidupan mereka sementara mereka tidak memiliki sertifikat.

Keempat, konsep dan administrasi kepemilikan lahan dalam sistem ini tidak memiliki kepastian hukum sehingga dipastikan amburadul. Penegakan hukum terkait lahan sangat juga sangat lemah sehingga konflik lahan selalu berujung pada kemenangan pihak yang kuat dan berkuasa yakni pemerintah dan pemilik modal. Dampak terburuk adalah masyarakat kehilangan pekerjaan dan mata pencahariannya, sebab tidak ada lagi  tanah yang mereka menfaatkan untuk menghidupi keluarganya.

Konflik Agraria Hanya akan Tuntas dalam Sistem Islam

Konflik agrarian tidak akan terjadi dibawah pembangunan yang berjalan dengan sistem ekonomi dan politik Islam yang merupakan bagian dari sistem Islam. Sistem ekonomi Islam menjadikan negara sebagai pelindung dan pengurus rakyatnya dan memiliki konsep kepemilikan yang jelas. 

Rosulullah Saw bersabda: “Imam (kepala Negara) adalah pengurus rakyat. Dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya.” (HR. Bukhari). Dalam hadits lain disampaikan: “Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan  berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya. (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud). Paradigma kepemimpinanan inilah yang akan diterapkan bagi warga Negara termasuk dalam pembangunan dan kepemilikan serta pengelolaan tanah.

Pembangunan dalam Islam dilaksanakan sesuai dengan kepentingan umat secara keseluruhan bukan kepentingan segelintir pemilik modal. Artinya pembangunan akan selalu dikaitkan dengan terpenuhinya kebutuhan pokok, berupa sandang, pangan, dan papan. Begitu pula kebutuhan dasar pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Pembangunan berkaitan hajat hidup ini akan dilakukan oleh negara dan tidak akan diserahkan pada investor dalam negeri apalagi asing. Sebab penyerahan pembangunan pada pihak-pihak tersebut secara otomatis mengubah orientasi pembangunan dari kepentingan rakyat menjadi kepentingan bisnis.

Terkait dengan pengelolaan tanah, negara yang menerapkan sistem Islam wajib menghormati dan melindungi kepemilikan individu dan melarang penguasaan tanah secara  semena-mena oleh pemodal bahkan Negara. Islam memandang tanah memiliki 3 status kepemilikan. 
1. Tanah yang boleh dimiliki individu seperti lahan pertanian. 
2. Tanah milik umum yang didalamnya terkandung harta milik umum seperti tanah hutan, tanah yang mengandung tambang dengan jumlah yang sangat besar, tanah yang di atasnya terdapat fasilitas umum seperti jalan, kereta api, dan sebagainya. 
3. Tanah milik Negara, diantaranya tanah yang tidak berpemilik, tanah yang ditelantarkan, tanah di sekitar fasilitas umum, dan lain-lain.

Berdasarkan konsep kepemilikan tanah ini, maka tidak diperbolehkan tanah hutan diberikan izin konsesi kepada swasta atau individu baik untuk perkebunan, pertambangan, maupun kawasan pertanian. Inilah mekanisme Islam dalam mengelola lahan hingga tidak akan menimbulkan konflik lahan yang merugikan masyarakat. Mekanisme Islam ini hanya bisa dilaksanakan oleh negara yang berideologi Islam yaitu Khilafah Islamiyah. Untuk itu saatnya kita mencampakkan sistem demokrasi kapitalisme dan menggantinya sistem Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah.

Wallahu’alam bi shshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak